Bokkoi (Macaca siberu), satu dari empat primata endemik Mentawai yang hidup di Pulau Siberut mendekatkan wajahnya ke kamera trap. Ia berkali-kali menjulurkan wajahnya dengan rasa penasaran menyelidik kamera. Sikapnya seperti melakukan swasfoto alias selfie. Terlebih ketika di belakangnya terlihat beberapa ekor Bokkoi lainnya.
Kejadian itu di hutan Malupetpet di Gunung Tiop, Desa Katurei, Kecamatan Siberut Barat Daya, Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai pada 21 Maret 2024. Pemilik kamera adalah tim “Malinggai Uma”, komunitas lokal penggiat konservasi dan budaya yang berpusat di Puro, Siberut Selatan. Kegiatan mereka kolaborasi dengan SwaraOwa.
Dalam video yang terekam pukul 11 pagi itu awalnya terlihat tujuh ekor Bokkoi sedang makan. Dua ekor di antaranya duduk di atas kayu tempat menaruh sagu dan nangka hutan. Beberapa ekor terlihat duduk di tanah.
Bokkoi pertama yang yang mendekati kamera diperkirakan berjenis kelamin jantan. Awalnya ia sedang memakan sagu yang diletakkan tim Malinggai Uma di atas kayu berjarak sekitar tiga meter di depan kamera trap.
Usai makan sagu, Bokkoi itu mendekati kamera trap. Wajahnya berwarna hitam dengan rambut putih di pipi. Matanya terlihat penasaran menatap ke kamera dan berkali-kali mendekatkan wajahnya sehingga tidak fokus tertangkap oleh lensa.
Kamera trap sedikit terguncang dan suaranya membuat bokkoi lain di belakangnya lari. Namun mereka kembali lagi. Bahkan sekeor bokkoi lainnya yang diperkirakan betina juga mendekat ke kamera trap seperti sedang selfie.
Kamera trap itu dipasang oleh tim Malinggai Uma untuk mengamati kelompok Bokkoi di Malupetpet.
Damianus Tateburuk, ketua Malingai Uma mengatakan Malinggai Uma sejak Juni 2023 sedang mendokumentasikan primata endemik Mentawai di Siberut. Lokasi pemasangannya di hutan Malupetpet di Gunung Tiop, Siberut Barat Daya dan di Hutan Moupu, Siberut Selatan secara bergantian. Dipasang bergantian di dua lokasi karena Malinggai Uma hanya memiliki satu kamera trap. Selain kamera trap juga dipasang satu perekam suara untuk merekam suara primata dan burung.
“Kami ingin mendata di mana saja keberadaan primata endemik itu, di hutan mana mereka masih ada, bagaimana tingkah lakunya, apa kebiasaannya, karena selama ini pertemuan secara langsung dengan primata endemik ini cukup sulit, karena mereka sering diburu,” kata Damianus Tateburuk kepada Uggla.Id.
Yang baru terekam adalah Bokkoi dan Joja, karena kedua primata endemik itu biasa turun ke tanah. Ini berbeda dengan Bilou dan Simakobu, dua jenis primata endemic lainnya yang biasa hidup di atas pohon. Selain Bokkoi, Joja terekam kamera trap yang dipasang di Hutan Malupetpet pada 20 Maret 2024.
“Bokkoi yang terekam sedang selfie terjadi dua kali pada Maret dan April 2024, lokasinya di hutan Malupetpet. Sedangkan di Hutan Moupu tidak ada Bokoi yang terekam sedang selfie,” katanya.
Bokkoi Mendekati Kamera, Joja Tidak
Menurut Damianus, Bokkoi mendekati kamera trap karena tim Malinggai Uma sengaja memasang kamera di tempat terbuka yang bisa terlihat oleh Bokkoi di hutan Malupetpet. Sedangkan di hutan Moupu kamera trap dipasang tersembunyi.
“Kami ingin melihat tingkah laku Bokkoi, begitu terlihat ada benda asing seperti kamera trap mereka sangat tertarik mendekat ke kamera, bahkan kamera trap itu pernah diguncang-guncang oleh Bokkoi. Untung sudah kami ikat dengan tali sling baja ke pohon,” ujarnya.
Hanya Bokkoi yang tertarik mendekati kamera, sedangkan Joja dalam rekaman kamera hanya terlihat duduk, makan, dan pergi.
Di depan lokasi kamera trap diberi umpan berupa makanan untuk primata, seperti batang sagu yang telah dibelah dan sudah direndam selama seminggu, pisang, dan peigu nangka hutan. Bokkoi memakan ketiga jenis makanan itu, sedangkan Joja hanya memakan pisang dan nangka.
Makanan itu akan habis selama seminggu atau dua minggu. Kelompok Bokoi akan datang pada pagi hari sekitar pukul 7.30 WIB dan kembali datang pukul 14.00 WIB. Di setiap lokasi tim Malinggai Uma akan memasang kamera trap selama dua minggu.
“Dari pengamatan kami, di Moupu terdapat 4 sampai 5 kelompok Bokkoi, sedangkan di Malupetpet terdapat 3 sampai 4 kelompok Bokkoi, satu kelompok terdiri dari 8 sampai 10 individu,” katanya.
Menurut Damianus di Maopu masih banyak kelompok Bokkoi lainnya pada radius lebih dari dua kilometer dari lokasi pemasangan kamera trap, karena hutan di Maopu masih primer. Sayang, Malinggai Uma memiliki kamera trap yang terbatas, hanya satu unit. Jadi kamera tidak bisa dipasang di banyak tempat.
Walaupun hanya merekam Bokkoi dan Joja, Damianus memastikan di hutan Moupo dan Malupetpet keempat primata endemik Mentawai yang hidup di Pulau Siberut ada di hutan itu. Ini terdengar dari suara dan terlihat di atas pohon.
“Keempat primata endemik Mentawai yang ada di Pulau Siberut ada semua di Maopu dan Malupetpet,“ katanya.
Primata Endemik yang Terancam
Tim Malinggai Uma sedang berusaha menyelamatkan enam jenis primata endemik di Kepulauan Mentawai dari ancaman kepunahan.
Keenam jenis primata endemik yang hanya ada di Kepulauan Mentawai itu adalah Bilou (Hylobates klossii), Bokkoi (Macaca siberu), Siteut (Macaca pagensis), Atapaipai (Presbytis potenziani), Joja (Presbytis siberu), dan Simakobu (Simias concolor).
Namun status konservasi keenam primata yang tersebar di empat pulau besar di Kepulauan Mentawai ini semuanya terancam punah, Simakobu bahkan sudah masuk kategori kritis. Jika tidak segera diselamatkan, keenam primata asli Kepulauan Mentawai itu akan segera punah.
Ancaman terhadap primata itu terjadi karena makin berkurangnya habitat mereka akibat penebangan hutan skala besar oleh sejumlah perusahaan melalui izin pemerintah. Selain itu juga akibat pembukaan ladang dan perburuan.
“Di Siberut perburuan sudah bergeser dari panah tradisional ke senapan angin dengan peluru yang diberi racun sehingga primata mati lebih cepat. Perburuan itu juga bukan untuk pesta adat, tapi hanya kesenangan, itu persoalan yang harus kita hadapi,” katanya.
Ia berharap lembaga pemerintah yang menangani konservasi seperti Taman Nasional Siberut dan BKSDA Sumatera Barat ikut membantu upaya pelestarian keenam primata endemik Mentawai seperti melakukan pelarangan perburuan primata.
“Sekali primata ini punah, selamanya kita akan kehilangan primata yang di dunia hanya ada di kepulauan Mentawai,” kata Damianus Tateburuk. (Febrianti/Uggla.id)