Oleh: Riko Nelson Aurelius
SAYA naik kapal antarpulau “Mentawai Fast” pukul 7 pagi di Pelabuhan Tuapeijat, Pulau Sipora pada 28 Agustus 2025. Tujuan saya adalah Pokai di Siberut Utara, Pulau Siberut untuk bergabung dengan teman-teman Mentawai Mengajar Indonesia (MMI). Saya dilibatkan sebagai salah satu panitia penyelenggara di bidang kesehatan.
Begitu mendarat di Pelabuhan Pokai, Wina Rizki, ketua umum Yayasan MMI sudah menunggu saya. Wina tinggal di Pokai. Ia sudah lima tahun aktif memimpin anak-anak muda yang tergabung di MMI, organisasi nirlaba di bidang sosial dan pendidikan di Mentawai.
Mentawai Mengajar Indonesia telah menunjukkan komitmen mengabdi di pedalaman Kepulauan Mentawai. Tahun ini, program tahun keempat, diadakan di Dusun Terekan Hulu, Desa Malancan, Kecamatan Siberut Utara pada 4-17 September 2025.

Ada 24 relawan terpilih yang ikut menyelesaikan misi di Terekan Hulu. Mereka berasal dari Mentawai, Padang, Pasaman, Kerinci, dan Palembang. Mereka akan datang pada 4 September 2025.
Karena sudah pukul 12 siang, saya dan Wina bergegas menuju ke rumahnya untuk beristirahat makan siang. Sambil menunggu informasi dari Ketua Pelaksana MMI Simon Sakerengan terkait apa saja yang akan kami kerjakan selama kegiatan, Wina mengajak saya berkeliling Pokai dan Sikabaluan.
Setelah hampir dua jam berkeliling, dari kejauhan tampak Simon menuju ke arah kami. Ia berkostum olahraga dengan celana pendek dan sepatu. Kami akhirnya menemani Simon ke lapangan voli.
Usai Simon bermain voli, kami bertiga duduk santai mendiskusikan apa saja yang perlu disiapkan dan harus dilengkapi untuk kegiatan MMI nanti.
Sebagai panitia, kami melanjutkan persiapan. Pada Senin, 1 September 2025, saya dan Wina pergi ke Puskesmas Sikabaluan.
Di sana kami berdiskusi dengan Kepala Puskesmas Sikabaluan Desmawati Sakerebau mengenai gambaran kondisi kesehatan yang sering ditemukan pada masyarakat Terekan Hulu. Kemudian program kesehatan yang akan kami lakukan dan peminjaman alat kesehatan yang dibutuhkan di lokasi pengabdian nanti.

Selesai di puskesmas kami lanjut ke Kantor Basarnas untuk menindaklanjuti pendampingan kami selama kurang lebih 15 hari di lokasi pengabdian. Diskusi berjalan lancar dan petugas Basarnas setempat menanggapi dengan senang hati niat baik kami.
Menuju Dusun Terekan Hulu
Pada 4 September 2025 hari yang dinanti pun tiba. Rombongan volunter yang berangkat dari Padang tiba di Pelabuhan Pokai pada pukul 8 pagi. Kami mengajak mereka ke posko tempat kami berkumpul untuk beristirahat dan makan siang.
Setelah beristirahat beberapa jam, kami mulai berbagi tugas. Ada yang belanja untuk tambahan keperluan selama pengabdian dan ada yang bertugas membungkus ulang barang- barang yang dibawa dari Padang supaya aman saat di perjalanan menuju Terekan Hulu nanti.
Setelah semua beres, pada pukul 2 siang kami berangkat dari Pokai menuju Terekan Hulu menggunakan dua pikap. Hamparan kebun pisang, pinang, dan kelapa milik penduduk terlihat sepanjang perjalanan.
Kami juga melihat sebuah bangunan menjulang tinggi dengan dinding seng, berdiri dengan sombongnya di antara rimbun kebun pisang dan pinang.
"Itu rumah burung walet," celetuk salah seorang dari kami saat melihat kerumunan burung walet mengelilingi bangunan itu.

Sekitar satu jam perjalanan, kami tiba di Dusun Sirilanggai. Dari sini jalan tidak bisa dilalui mobil ke Terekan Hulu, jadi kami harus berjalan kaki membawa semua perlengkapan. Tapi di Dusun Sirilanggai kami sudah ditunggu Pak Sujiman, kepala Dusun Terekan Hulu. Ia siap memandu kami pergi ke dusunnya yang menjadi lokasi pengabdian kami.
Semua barang di pikap kami turunkan dan mengatur pembagian tugas membawanya selama perjalanan ke Terekan Hulu. Setelah berdiskusi dan membagi tugas, dengan pertimbangan kondisi jalan, kondisi fisik, dan banyaknya barang yang mau dibawa, maka diputuskan beberapa barang bawaan ditinggal dulu di rumah salah satu warga di Sirilanggai.
"Barang-barang yang berat seperti beras dan buku ditinggal saja dulu di rumah warga, besok saya suruh orang untuk menjemput," kata Pak Dusun menenangkan kami.
Akhirnya kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju Dusun Terekan Hulu. Jalannya penuh lumpur dan licin. Kami menelusuri jalan di kawasan perladangan penduduk dan sesekali bertemu atau berpapasan dengan warga. Perjalanan masih normal dan kami masih saling bertukar cerita.
Setelah beberapa jam, perjalanan menjadi hening dan membosankan. Satu persatu dari kami mulai mengeluarkan botol air minum karena kehausan. Langkah kaki makin melambat dan kadang ada yang mesti duduk di pinggir jalan untuk beristirahat sejenak.

Sepanjang perjalanan saya memantau dan mengecek kondisi teman-teman satu-persatu. Jalur yang licin, ada juga yang berbatu, sesekali mendaki dan menurun, membuat kondisi fisik kami mulai lelah dan muncul putus asa. Bahkan mulai ada yang mengeluh betapa jauh dan sulitnya akses ke lokasi pengabdian.
Hari mulai sore, kicau burung seolah mengajak kami untuk melangkah lebih cepat.
"Nanti kalau sudah di puncak kita beristirahat sebentar," kata Pak Dusun.
Begitu tiba di puncak bukit yang dimaksud, kami langsung mengambil posisi yang nyaman, melepas tas dan barang bawaan. Bahkan ada yang langsung rebahan untuk sekadar melepas lelah.
Di sekitar tempat kami beristirahat tampak jejeran bagunan kayu setinggi dua meter seperti tempat berjualan. Tempat ini disebut Pururukan, tempat biasanya hasil hutan dan kebun masyarakat seperti manau, pinang, dan pisang dikumpulkan sebelum para pengepul dari kecamatan datang membeli. Itupun kalau mobil pengepul itu bisa lewat.
Bangunan dari kayu itu tempat pisang masyarakat ditaruh untuk menghindari kawanan babi. Pemukiman warga masih tiga kilometer lagi dengan kondisi jalan yang rusak dan harus melewati sungai.
Betapa Vitalnya Sebuah Jembatan
Kami melanjutkan perjalanan menuruni bukit yang berbatu dan licin. Dari atas bukit tampak rumah-rumah kecil yang masih samar. Akhirnya, kami sampai di pinggir sungai. Sungai yang jernih dan terbentang luas. Beruntung hujan tidak turun sehingga air sungai tidak meluap.

Kami mulai menyeberangkan tas dan barang bawaan lainnya dengan membentuk barisan memanjang ke seberang untuk memudahkan memindahkan barang-barang.
Perjalanan kami belum tuntas setelah menyeberangi sungai tersebut. Miris juga melihat kondisi jalan melewati sungai yang belum ada jembatannya itu. Padahal jalan itu akses utama masyarakat untuk mengeluarkan hasil bumi, selain jalan penghubung dusun ke pusat kecamatan.
Akses yang sampai sekarang belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah setempat. Sungai terbentang luas tanpa jembatan penghubung itu, jika pada musim hujan otomatis air sungai meluap dan deras sehingga akan susah untuk dilewati.
Kini kami harus melanjutkan perjalanan menuju permukiman warga dengan kondisi jalan yang berlumpur. Kami mulai melewati perladangan penduduk, di kiri dan kanan tampak kebun singkong masyarakat tumbuh dengan subur. Sesekali kami bertemu warga yang sedang membersihkan ladangnya.
Akhirnya kami sampai di permukiman warga. Rumah-rumah sederhana berbaris rapi di kiri-kanan jalan. Inilah Dusun Terekan Hulu, sebuah dusun kecil yang tumbuh terpisah jauh dari desa dan kecamatan.
Waktu menunjukkan pukul 18.30 WIB. Setelah kami bersapa dengan warga dan anak-anak yang menyambut kami dengan heran, kami dibawa Pak Dusun menuju rumah tempat kami akan tinggal. Rumah itu milik Bapak Bartolomeus, kepala SD di sana, yaitu SD Negeri 20 Malancan.
Kami disambut hangat oleh keluarga Pak Bartolomeus yang langsung menyuruh kami masuk, meletakkan barang-barang, dan beristirahat.

Keesokan harinya kami mempersiapkan acara pembukaan kegiatan yang berlokasi di gedung sekolah. Pembukaan kegiatan mendapat perhatian dari masyarakat. Acara diawali dengan pemaparan kegiatan yang akan kami bawakan dengan empat program utama, yaitu divisi pendidikan, kesehatan, ekonomi kreatif, dan sosial lingkungan.
Selesai acara pembukaan, sesi foto, dan bersilahturahmi dengan masyarakat setempat, kami keliling perkampungan untuk mengenal lebih dekat tempat pengabdian kami.
Murid Tak Pernah Melihat Komputer, Tapi Harus Ikut ANBK
Selama seminggu kami lalui bersama masyarakat Dusun Terekan Hulu. Ada banyak kehangatan dan banyak senyum yang tercipta selama kami di sana.
SD Negeri 20 Malancan di Dusun Terekan Hulu memiliki 41 murid. Gedung sekolah yang minim fasilitas belajar dan guru yang terbatas tidak menyurutkan semangat anak-anak untuk sekolah.
Kantor sekolah jauh layak, sebuah ruangan kecil yang terdiri dari beberapa meja guru dan berdinding polos. Tak ada tergantung foto presiden dan wakil presiden, atau poster para pahlawan seperti yang sering kami temui di dinding sekolah lain.
Ruang kelas juga terlihat sama, terkesan seadanya dengan dinding polos tanpa hiasan serta kursi dan meja yang sebagian sudah tidak layak pakai.

"Besok saya akan turun bersama anak-anak ke Desa Malancan untuk mengikuti kegiatan ANBK, Asesmen Nasional Berbasis Komputer,” kata Kepala Sekolah.
“Begitulah di sini,” tambahnya, “Anak-anak akan turun jalan kaki menuju pusat Desa Malancan untuk mengikuti kegiatan ANBK. Ya, untung-untung ada cukup motor untuk membawa anak-anak.”
Tidak cukup sampai di situ masalahnya. “Bagaimana mungkin anak-anak dapat melaksanakan kegiatan ANBK, sementara mereka belum pernah melihat dan memegang komputer,” kata Pak Kepsek.
Sebab, sampai di depan komputer, anak-anak itu bingung bagaimana cara mengoperasikannya.
“Untuk memikirkan itu saja waktu sudah habis, makanya harapan saya kepada pemerintah pusat agar memberikan solusi kepada kami, khusus di dusun yang tertinggal, yang minim informasi dan fasilitas sekolah, baik itu buku bacaan maupun komputer, apakah tidak ada cara lain bagi kami untuk mengikuti ANBK,” ujarnya.
Kami yang mendengarnya tertegun. Kami terdiam mendengar cerita Pak Bartolomeus. Bagaimana sulit dan kebingungannya anak-anak di Dusun Terekan Hulu untuk mendapatkan akses pendidikan yang layak seperti yang dirasakan anak-anak lainnya yang ada di kota.

Salah satu kegiatan yang kami lakukan Dusun Terekan Hulu adalah program ekonomi kreatif. Kegiatannya memanfaatkan batang pisang untuk dijadikan benang rajutan dan menghasilkan beberapa karya rajutan.
Sedangkan yang bergerak di Divisi Kesehatan, seperti saya, bekerja sama dengan nakes setempat menjalankan program pola hidup bersih, kesehatan gigi mulut untuk anak-anak, dan cek kesehatan gratis.
Teman-teman yang yang bergerak di bidang sosial lingkungan membawa program pengolahan sampah, seperti melakukan ecoenzim, ecobrick, dan ecoprint.
Anak-Anak Tidak Mau Melepaskan Tangan Kami
Kami telah hidup bersama masyarakat Dusun Terekan Hulu kurang lebih 15 hari. Berat rasanya untuk mengucapkan selamat tinggal. Ada banyak cerita, semangat, dan harapan yang jelas akan tertinggal dalam setiap ingatan.
Saya ingat betul bagaimana anak-anak tidak mau melepas tangan kami, menangis. Saya ingat betul bagaimana masyarakat menitipkan pesan kepada roh leluhur untuk keselamatan kami.
Kami mulai berjalan melewati perumahan warga, singgah sekadar izin pamit dan saling menguatkan. Pada hari kepergian kami pukul 3 sore, Dusun Terekan Hulu diguyur hujan dan sungai tanpa jembatan itu meluap. Air yang jernih berubah keruh.

Karena itu akses utama keluar dusun ini, kami harus tetap menyeberang. Cara satu-satunya, kami harus menyeberangi sungai dengan menggunakan sampan. Satu-persatu kami naik ke atas sampan yang sudah ada dipinggir sungai. Kami coba untuk atur supaya muatan tidak terlalu banyak karena arus sungai cukup deras.
Setelah muatan sampan cukup, kami mulai mendorong sampan perlahan menyusuri tepi sungai agar bisa menyeberang dengan aman. Kami sampai di seberang dengan selamat dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki dengan kondisi jalan yang becek dan licin ke Sirilanggai.
Sampai di atas bukit, kami duduk dan beristirahat. Di sana sudah ada warga yang sedang asyik teleponan dengan anaknya. Saya tidak tahu entah dari mana mereka mendapatkan sinyal, yang penting itu sangat membantu masyarakat di sana.
Kami menyebut tempat itu “Bukit 4G”. Bukit yang menyediakan jaringan 4G entah dari mana. Kami mengeluarkan ponsel masing-masing dan segala jenis notifikasi masuk tanpa henti. Tiba-tiba dari layar ponsel saya muncul panggilan dari nomor yang tidak dikenal. Saya segera menekan tombol jawab dan menyapa pelan dengan “Halo”.
Jawaban sangat tergesa-gesa dan panik. Ternyata itu adalah telepon dari kelompok kami yang berada di belakang. Salah sseorang teman kami terjatuh akibat kelelahan dan tidak bisa melanjutkan perjalanan. Mereka mencoba mencari tempat peristirahatan yang ada sinyalnya.
Tanpa pikir panjang, saya dan kelompok bergegas lebih cepat mencari bantuan. Tidak jauh dari tempat
Kami beristirahat tampak sebuah sepeda motor parkir dipinggir jalan. Kami mencari pemiliknya di sekitar ladang dan berteriak memanggilnya.
Dari seberang jalan terdengar sahutan yang jaraknya tidak terlalu jauh. Kami mendekatinya dan bertemu bapak pemilik kendaraan itu. Ia mengizinkan kami meminjam motornya.

Sembari menunggu kelompok yang masih dalam perjalanan, saya mencoba mengarahkan teman-teman yang lain untuk beristirahat dulu di rumah warga sambil menunggu mobil datang. Selang beberapa jam dari jauh tampak sebuah cahaya lampu motor sedang menuju ke arah kami. Ternyata itu teman kami yang meminta bantuan karena ada yang sakit kelelahan.
Kami membawanya ke Sirilanggai. Sesampainya di Pustu (Puskesmas Pembantu) teman kami itu mendapatkan pengobatan oleh nakes di sana. Perasaan gelisah dan cemas perlahan berkurang.
"Di belakang masih ada empat orang lagi," kata salah satu dari kami.
Itu kelompok terakhir yang menunggu bantuan tadi. Saya butuh teman satu orang untuk menyusul mereka. Tiba-tiba dari jauh tampak cahaya senter ponsel mendekat ke arah kami. Ternyata itu adalah teman-teman yang tadinya mau kami susul.
Saya menarik napas lega kemudian bergegas membantu menurunkan tas dan barang-barang mereka. Setelah mendapatkan perawatan dari nakes setempat, kondisi teman kami yang sakit belum juga ada perubahan. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Pokai.
Ada beberapa warga yang menyarankan agar teman kami segera diturunkan dan diobati terlebih dahulu sebelum dibawa ke Pokai. Berbagai jenis ramuan obat tradisional mereka coba untuk mengobat. Ada yang berupa daun- daunan yang beraroma khas, ada juga yang berupa minyak dalam botol.
"Kalian harusnya pulang jangan terlalu sore, apalagi malam. Kami saja yang warga lokal kadang tidak berani jalan sore atau malam," kata seorang warga.
Kami hanya terdiam mendengarkan. Kini kondisi teman kami perlahan mulai membaik. Kami pun sudah mendapat izin dari warga sekitar untuk kembali melanjutkan perjalanan ke Pokai.
Perjalanan dari Sirilanggai menuju Pokai menggunakan mobil Bumdes. Sesampai di Pokai saya coba kembali mengecek kondisi teman kami yang sakit, kondisinya sudah membaik.
Keesokan harinya, kami harus melepas beberapa teman kami menuju ke Padang di dermaga. Lambaian demi lambaian saling berbalas seakan tidak mau berpisah.
"Bertemu di pelabuhan dan berpisah di pelabuhan pula," kata salah seorang dari kami saat melihat kapal yang kian menjauh, mengecil, dan meninggalkan pelabuhan. (Kiriman: Riko Nelson Aurelius/ Editor: Febrianti, Uggla.id)