Kehidupan Nelayan Pasie Nan Tigo: “Laut Sekarang Berbeda”

Nelayan

Nelayan Pasie Nan Tigo, Kota Padang mendorong perahu hendak melaut, Minggu, 5 Oktober 2015. (Foto: Yolanda Syafitri)

Oleh: Yolanda Syafitri

HAWA dingin menyelimuti suasana pagi pada Minggu, 5 Oktober 2025. Saya dan seorang teman memulai perjalanan pada pukul 6 pagi ke daerah Pasie Nan Tigo di kawasan Pantai Pasir Jambak, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang.

Kami ke sana melakukan observasi untuk tugas mata kuliah Foto Jurnalistik. Dari pusat Kota Padang butuh waktu sekitar 10 hingga 15 menit untuk sampai ke kawasan pantai Pasir Jambak. 

Pantai Pasir Jambak salah satu destinasi wisata yang ada di Kota Padang. Ternyata, di sekitar pantai itu terdapat pasar ikan yang menjual berbagai jenis ikan laut dan aneka seafood.

Nama pasar ikan itu “Pasa Banda Aia”, terkenal karena harga hasil tangkapan nelayannya lebih terjangkau dibandingkan pasar lain. Harga lebih murah mungkin karena pasar itu berada di pantai dan langsung memasarkan hasil tangkapan nelayan sekitar. Selain harganya yang murah, kualitas kesegaran ikan lautnya juga terjamin.

Lampiran Gambar
Penjual ikan di Pasar Banda Aia, Pasie Nan Tigo, Kota Padang sedang melayani pesanan Eni, Minggu, 5 Oktober 2025. (Foto: Yolanda Syafitri)

Tapi tujuan utama kami bukan ke pasar itu, melainkan ke perkampungan nelayan Pasie Nan Tigo. Saat tiba di sana, kami disambut angin laut, udara asin yang menempel di kulit, suara ombak, dan sinar mentari pagi yang membuat suasana hangat menyelimuti kawasan pesisir itu.

Sekelompok nelayan sedang bersiap untuk melaut. Kami mendekat untuk meminta izin memotret aktivitas mereka. Sembari teman saya sibuk memotret, saya mengajak beberapa nelayan mengobrol.

Gery, 29 tahun, salah seorang nelayan mengatakan nelayan di Pasie Nan Tigo biasa berangkat sekitar pukul tujuh atau delapan pagi, dan baru pukul dua siang kembali.

“Terkadang kami berangkat sore, nanti pulangnya sekitar subuh,” ujarnya.

Gery menjelaskan, setiap akan melaut dilakukan beberapa persiapan, seperti menyediakan solar untuk mesin perahu, serta batu es dan baskom untuk wadah hasil tangkapan. Begitu sampai di laut lepas, barulah jaring pukat disebarkan secara melingkar mengelilingi air.

“Kami sebar pukat melingkungdi laut lepas sampai gulungannya habis, lalu menunggu sekitar setengah sampai satu jam, baru jaring pukat diangkat,” katanya.

Proses itu dilakukan berulang-ulang selama setengah hari hingga matahari mulai meninggi dan tubuh mereka terasa lengket oleh garam laut.

Tapi hasil laut tak pernah bisa ditebak para nelayan. Terkadang mereka pulang dengan perahu penuh ikan. Namun terkadang hanya terisi beberapa baskom aja.

“Tergantung kawanan ikan yang kita temui di laut, jadi hasilnya tidak menentu,” ujar Gery.

Lampiran Gambar
Penjual ikan di Pasar Banda Aia, Pasie Nan Tigo, Kota Padang, Minggu, 5 Oktober 2025. (Foto: Yolanda Syafitri)

Tantangan terbesar mereka bukan sekedar hasil tangkapan yang tak pasti, tapi juga faktor cuaca. Gery pernah mengalami badai saat sedang melaut.

“Waktu itu kami sedang memukat, tiba-tiba angin kencang, terpaksa kami mencari pulau terdekat menunggu badai reda, bahkan sampai besok pagi baru bisa pulang, dengan minimnya stok makanan, ya, beginilah hidup nelayan,” katanya.

Ketika Laut Tak Lagi Sama

Nelayan lainnya, Marzufrial, menjelaskan kelompok nelayan mereka sudah ada sejak puluhan tahun lalu dan dilakukan secara turun-temurun. Dalam sistem kelompok nelayan ini, siapa saja bisa ikut bergabung.

Menurut Marzufrial yang berusia 67 tahun, setelah puluhan tahun melaut, ia melihat perubahan besar di laut tempatnya mencari ikan.

“Kalau dulu ikan banyak sekali di sekitar pantai, cukup melaut di seberang pulau, sampan sudah terisi penuh ikan,” katanya.

Kini, lanjutnya, keadaan berubah. Untuk bisa mendapatkan sembilan hingga sepuluh baskom ikan, nelayan harus melaut lebih jauh, hingga ke Bungus.

“Laut sekarang berbeda, susah untuk mendapatkan ikan, dulu tak perlu jauh-jauh, sekarang jika tak menelusuri tengah lautan, hasil tangkapan sedikit,” ujarnya.

Lampiran Gambar
Penjual ikan dengan aneka ikan yang dijual di Pasar Banda Aia, Pasie Nan Tigo, Kota Padang, Minggu, 5 Oktober 2025. (Foto: Yolanda Syafitri)

Perubahan alam membuat mereka harus bekerja lebih keras, karena hanya laut yang mereka kenal sebagai jalan hidup.

Menjelang siang, satu per satu kapal nelayan kembali ke pantai dan berderet di pasir. Di dalamnya, ikan-ikan segar masih berkilau di antara bongkahan es. Sebelum dijual, hasil tangkapan disortir dan dihitung. Lalu dilakukan pembagian hasil sesuai kesepakatan kelompok.

“Sistem pembagian hasil tangkapan berdasarkan jumlah modal bersama yang dikeluarkan, seperti dari membeli minyak, es, dan peralatan lainnya. Nanti akan dibagi dua, setengahnya akan dibagikan kepada pemilik kapal dan setengahnya lagi dibagikan kepada anggota nelayan lainnya,” kata Marzufrial.

Beberapa ikan langsung dibawa ke pasar. Sebagian lagi terkadang ditunggu beberapa pedagang ikan. Para pedagang itu adalah penghubung antara laut dan masyarakat kota. Mereka memastikan hasil jerih payah nelayan tidak berhenti di dermaga.

Pasar Banda Aia

Suasana di Pasar Banda Aia sudah ramai oleh suara ibu-ibu yang menawar, tawa pedagang, dan keriuhan pasar ikan. Penjual ikan sedang menyusun daganganya, seperti ikan tongkol, teri, dan berbagai jenis ikan lainnya. Ada juga  cumi-cumi, kepiting, dan ikan capa. Semua ikan masih segar, ditandai mata yang jernih dan daging yang kenyal.

Pasar Banda Aia menjadi pusat hidup masyarakat sekitar. Bukan hanya tempat jual beli, tapi juga ruang pertemuan, tempat cerita, bahkan tumpuan ekonomi keluarga.

Lampiran Gambar
Beberapa jenis ikan hasil tangkapan nelayan yang dijual di Pasar Banda Aia, Pasie Nan Tigo, Kota Padang, Minggu, 5 Oktober 2025. (Foto: Yolanda Syafitri)

“Pasar ini penting sekali bagi saya, dari sinilah saya menggantungkan roda perekonomian keluarga saya,” kata Tasrudin.

Tasrudin sudah puluhan tahun berjualan di Pasar Banda Aia. Ia menampung ikan dari nelayan sekitar pagi-pagi saat nelayan pulang dari laut.

“Harga jual tergantung harga pasaran dan berapa kita beli dari nelayan. Kalau modal naik, harga ikut naik,” katanya.

Saat menelusuri beberapa pedagang ikan yang ada di Pasar Banda Aia, saya bertemu Eni yang datang ke pasar bersama suami dan anak-anaknya. Ia membeli ikan di salah satu lapak yang berada di ujung pasar. Eni mengaku selalu berbelanja setiap Minggu pagi.

“Biasanya saya beli ikan untuk stok seminggu, di sini ikannya selalu segar karena dekat dengan laut,” ujarnya. (*)

(Kiriman: Yolanda Syafitri, mahasiswi Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Padang. Tulisan ini hasil kegiatan Workshop Penulisan Opini Editorial (Op-Ed) “Green Voice Matter” yang terselenggara berkat kerja sama Program Studi Ilmu Komunikasi UNP dengan Pulitzer Center. Tulisan ini telah diedit oleh editor Uggla.id)

Baca Juga

Bojakan Taman Nasional
lroni Desa Bojakan Karena Berada di Kawasan Taman Nasional Siberut
sipora
Menyelamatkan Pulau Sipora yang Kaya
Mentawai
Primata Endemik Mentawai di Ujung Senapan dan Tergerusnya Habitat
Siberut
Kekayaan Alam Bojakan, Siberut Terancam Hutan Tanaman Energi
Mentawai
Pengalaman Menjadi Relawan Mentawai Mengajar di Pedalaman Siberut
ASDP KMP Gambolo
Kapal ASDP Andalan Masyarakat di Kepulauan Mentawai