DI PERAPIAN di tengah uma, Bai Lepon terlihat sedang membakar kapurut, makanan yang terbuat dari tepung sagu dan kelapa yang dibungkus dengan daun sagu. Lidah api menyala-nyala menyebarkan rasa hangat dan menghalau udara dingin yang sepanjang malam masuk dari sela lantai kayu.
Di depan tungku di tengah Uma, sambil menunggu air yang menggelegak di dalam periuk besi, Bai Karo yang duduk di sebelahnya nampak bersantai menggulung tembakaunya dengan kertas rokok dalam gulungan kecil, lalu mengisap rokoknya dengan gaya anggun. Kedua perempuan itu sedang menyiapkan sarapan.
Orang-orang di Kepulauan Mentawai kebanyakan perokok berat sejak dulu, laki-laki maupun perempuan. Para sikerei, ahli pengobatan dan pemimpin semua upacara ritual, bahkan punya rokok dari tembakau yang digulung dengan daun pisang.
Saya keluar dari kelambu nilon, bergabung dengan Bai Lepon dan Bai Karo, duduk di depan tungku. Saya sedang berada di Uma Salakirat milik keluarga Aman Laulau di lembah Butui, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai.
“Mari, kapurutnya baru masak, enak,” kata Bai Karo.
Saya mengambil satu dan membuka lilitan daun sagu yang masih panas. Kapurut dari campuran tepung sagu dan kelapa itu terasa lembut dan kenyal, karena baru dimasak. Kalau sudah dingin, makanan itu bisa sekeras kayu.
Seharian kemarin saya dan beberapa teman mengarungi Sungai Rereiket dari Muara Siberut hingga ke Butui selama lima jam perjalanan naik pompong, perahu kecil dengan mesin tempel 4 PK. Perjalanan lancar karena air sungai sedang tinggi. Hanya sengatan matahari yang membuat kepala terasa sakit. Tak terbayangkan jika sedang kemarau naik pompong melewat sungai Rereiket yang sedang dangkal, tentu lebih sering kami menyeret pompong dibandingkan menaikinya hingga ke Butui.
Saat matahari mulai muncul, saya beranjak ke beranda uma. Beranda kayu terbuka itu cukup lebar. Berdiri di atasnya seperti sedang berada di atas panggung. Kabut putih masih menyelimuti bukit di kejauhan di seberang sungai. Hutan yang ada di belakang uma sebagian masih diselimuti kabut.
Pandangan bisa leluasa melihat lembah Butui yang pagi itu menampakkan keindahannya. Sungai Butui di depan uma mengalir dengan tenang. Airnya jernih kehijauan, berasal dari anak-anak sungai yang mengalir dari bukit. Sungai Butui ini akan bertemu dengan Sungai Rereikei dan mengalir ke Muara Siberut.
UMA BESAR DENGAN BIAYA BESAR
Bai Laulau sedang menjemur panel surya di halaman. Panel itu ia butuhkan untuk satu bola lampu yang menjadi penerangan satu-satunya di dalam uma pada malam hari. Ia mengenakan rok merah dan kalung manik. Tato Mentawai di dada dan punggungnya tampak menarik, membuat tampilannya menjadi indah.
Ia kemudian memarut daging kelapa dengan parutan dari pelepah sagu yang berduri. Kelapa itu untuk makanan anak ayam dan induknya yang sedang ribut mencicit di dalam keranjang rotan.
Saya meniti tangga dari sebatang pohon yang ditakik untuk turun dari uma. Dari halaman depan, uma itu terlihat sebagai rumah panggung yang megah. Tinggi hingga puncak atapnya sekitar enam meter. Dari kejauhan bangunannya tampak seperti tenda panjang yang ditutup dengan atap daun sagu hampir sampai menutup bangunan hingga ke tanah.
Panjang uma itu, lanjutnya, sekitar dua puluh depa dengan lebar lima depa orang dewasa. Aman Laulau menjelaskan sambil merentangkan kedua tangannya. Setelah diukur, lebar umanya 8,5 meter dan panjang ke belakang 23,5 meter.
Di belakangnya ada hamparan pohon sagu yang tumbuh di rawa-rawa. Pohon sagu itu sebagai sumber makanan pokok yang tidak pernah habis. Di belakangnya terdapat hutan dan bukit, tempat Aman Laulau sekeluarga mengambil semua kebutuhan hidup. Pohon untuk membuat rumah dan sampan, tanaman obat, dan tempat berburu rusa, babi hutan, dan monyet.
Ketinggian umanya sekitar 1,2 meter dari atas tanah, ditopang tonggak-tonggak kayu yang kokoh yang dibenamkan ke dalam tanah.
Menurut Aman Lepon, uma itu mereka kerjakan bersama di keluarga uma Salakirat. Biaya mengerjakan uma itu sangat besar, berupa puluhan ekor babi dan ayam untuk makanan untuk kerabat yang membantu mengerjakan uma.
“Ini uma sabeu (uma besar), membuat uma ini lamanya satu setengah tahun, setelah bahannya terkumpul baru dibuat, lalu istirahat lagi, cari biaya lagi, dan setelah ada dibuat lagi hingga selesai,” kata Aman Lepon.
Banyak pohon besar yang harus ditebang untuk membuat umanya. Pohon itu diambil dari hutan miliknya di punggung bukit yang jauh di Matotonan, desa tetangga Butui. Pohon ditebang dan digergaji di dalam hutan menjadi kayu balok dan papan, lalu dibawa ke sungai dan dihanyutkan hingga ke Butui. Tapi masih jauh dari lokasi uma, sehingga kayu-kayu tersebut harus digotong lagi.
Semuanya dikerjakan oleh Aman Lepon dan dua adik lelakinya Aman Godai dan Aman Karo.
Mereka juga menyewa tukang potong kayu yang memiliki gergaji mesin atau chansaw di Matotonan untuk memotong kayu.
Upak tukang chanshaw diberi lima batang durian yang paling besar di dalam hutan milik keluarga, juga diberi pohon sagu, satu buah kuali paling besar, dan satu parang.
Untuk membuat atap semua anggota uma dikerahkan mengumpulkan daun sagu yang akan dirangkai menjadi tobat (atap). Jumlah tobat daun sagu yang digunakan untuk umanya sebanyak 5.750 lembar. Jumlah yang sangat banyak, karena saat dipasang di uma atapnya disusun rapat agar tidak mudah bocor dan tahan lama. Pengumpulan daun dan pembuatan tobat memakan waktu delapan bulan.
SULITNYA MENCARI KAYU
Aman Lepon masih ingat sulitnya mencari kayu untuk mendirikan uma. Ia dan dua saudara laki-lakinya harus masuk hutan yang jauh milik ulayat mereka di bukit-bukit yang tinggi di Matotonan.
“Menumbangkan pohon, lalu membawanya keluar hutan, naik-turun bukit, dan dibawa melalui sungai itu sangat sulit sekali,” kata Aman Lepon.
Ia menunjuk ke salah satu tonggak uma di bagian depan yang bulat dari pohon dibbu.
“Seharusnya dari pohon yang lebih besar lagi, tapi tidak kuat mengangkatnya. Ini jenis pohon yang kayunya paling kuat seperti besi, sudah jarang pohon ini, di hutan Buttui sudah tidak ada lagi,” katanya.
Uma adalah bangunan yang terbuka dan luas. Beranda uma yang luas disebut gare sebagai tempat untuk persiapan punen atau pesta adat, seperti tempat meletakkan peralatan untuk punen, juga tempat memotong babi. Sisi depan uma ditutup dengan dinding dari daun sagu yang dijepit dengan kayu bambu yang menjadi ornamen yang menarik.
Dinding itu terbentang dari atas hingga ke bawah hingga batas 1,5 meter dari lantai sebagai pintu masuk ke uma. Di bagian dalam, di atas pintu masuk itu berderet puluhan tengkorak babi yang kepalanya menghadap ke dalam uma menandakan babi peliharaan. Tengkorak babi itu dari sisa punen yang pernah diadakan di uma tersebut.
Ruangan pertama di dalam uma dinamakan patitikat. Ruang itu tidak berdinding sehingga lebih leluasa memandang keluar dan udara segar juga masuk ke dalam uma. Di sisi kanan dan kiri dipasang bangku-bangku panjang menempel ke sisi uma untuk tempat duduk. Di situlah tempat penghuni uma atau tamu berkumpul dan berbincang. Sesuai namanya, patitikat, di ruang itu juga tempat membuat titi atau tato. Juga tempat sikerei baru belajar menyanyi.
Antara ruang depan dan ruang tengah ada tiga pintu lebar yang dinamakan sau-sau, terbuat dari kulit kayu. Pintu sau sau itu dilipat ke atas. Jika diturunkan bisa menjadi dinding yang membatasi ruang tengah dan ruang dalam. Di ruang depan hingga ruang tengah terkesan luas karena dan tidak ada. Kamar akan dipasang pada malam hari berupa kelambu nilon.
Di tengah uma ada tungku perapian. Perapian itu menjadi sumber penerangan saat pesta punen di malam hari. Juga tempat memanaskan gendang gajeuma yang terbuat dari kulit ular dan kulit biawak agar bunyinya lebih nyaring.
Perapian juga tempat ritual untuk sikerei baru yang akan diangkat menjadi sikerei. Selain itu di perapian itu juga tempat memasak hasil buruan atau merebus daging babi saat punen.
Di dekat tungku perapian ada lantai khusus tempat sikerei menari. Lantai tari itu disusun dari papan lebar. Saat sikerei menari di atasnya, suara entakan kakinya akan terdengar keras seirama dengan tabuhan gendang gajeuma. Di ruang tengah itulah tempat punen diadakan.
Yang menarik, di atasnya ada pajangan kenang-kenangan hasil perburuan yang terpasang pada balok yang melintang. Pada barisan paling atas berjejer 18 tengkorak rusa dengan tanduknya. Di bawahnya tergantung puluhan tengkorak monyet endemik Mentawai seperti Joja, Bokoi, dan Simakou. Juga belasan tengkorak babi hutan.
Tengkorak itu dihiasi dengan ikatan daun sagu yang kering dan burung kayu yang menyembul di tengah puluhan tengkorak. Semua tengkorak itu menghadap ke depan, ke arah hutan, dan lembah di luar uma.
TEMPAT SAKRAL DI UMA
Ruang berikutnya di balik dinding bagian kanan uma adalah tempat yang sakral. Ada tabung bambu berisi bakat katsaila, sekelompok tumbuhan berdaya magis yang sudah mengering dan diambil saat punen. Awal acara ritual yang dipimpin sikebukat uma diadakan di sana. Di dekat bakat katsaila juga ada beberapa gong. Sebagian gong tua terlihat sudah menghitam dan beberapa gong kuningan baru yang masih berkilat.
Di antara gong yang digantung itu ada sebuah piring keramik kuno yang besar yang ditaruh dalam wadah dari anyaman rotan, juga digantung di dekat gong. Piring itu pemberian orang Belanda yang berkunjung puluhan tahun lalu.
Di ruangan bakat katsaila itu di bagian atas juga terdapat para-para untuk menaruh barang-barang uma. Juga beberapa peti kayu untuk menaruh parang masing-masing anggota uma. Masing-masing anggota uma hanya boleh memegang dan mengeluarkan parangnya dan tidak boleh menyentuh parang milik anggota keluarga lainnya, termasuk parang istri dan anak atau sebaliknya.
Di ruang itu juga terbentang sejumlah kelambu untuk tidur para perempuan. Aman Laulau sebagai sikebukat uma punya kamar sendiri di ruangan itu. Hanya dia yang satu-satunya punya kamar yang permanen.
Bagian paling belakang adalah dapur dengan tungku perapian tempat memasak sagu dan keladi. Ada Bai Lepon di sana sedang memarut tepung sagu, dibantu Bai Godai yang sedang memasukkan tepung sagu yang sudah diayak ke dalam bambu. Mereka sedang menyiapkan obuk, sagu yang dibakar dalam bambu untuk makan siang nanti.
Uma adalah rumah besar untuk klan Aman Lepon dari garis ayah keturunan suku Salakirat. Suku ini tidak terlalu besar dan merupakan pecahan dari suku Saruruk di Ugai, desa tetangga Butui.
Karena ada pertengkaran dalam uma yang lama, kakek Aman Lepon membawa keluarganya membangun uma baru di Butui dengan nama suku yang baru, yaitu Salakirat. (Febrianti/Uggla.id)