DI PULAU SIBERUT uma atau rumah adat tradisional Mentawai sudah banyak yang hilang. di Dusun Butui hanya tinggal tujuh uma. Itu pun karena Butui ditetapkan sebagai kawasan wisata tradisional sehingga uma dipertahankan dan ada yang dibangun baru. Sementara di tiga pulau lainnya di Kepulauan Mentawai, yaitu Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora, uma sudah tidak ada lagi.
Pelarangan Arat Sabulungan, kepercayaan tradisional Mentawai oleh pemerintah pada 1954 ikut berperan menghilangkan uma. Semua simbol budaya Mentawai, seperti memakai ‘kabit’ (cawat) menato, memiliki rambut panjang yang disanggul, serta semua ritual yang dilakukan sikerei di uma dilarang karena dianggap bagian dari Arat Sabulungan. Pelarangan tersebut berlangsung hingga pertengahan 1980-an.
Aman Laulau Manai, sikerei di Butui, masih ingat dengan pelarangan di wilayah Sarereiket, Siberut Selatan, di mana Butui bagian dari wilayah adat tersebut. Aman Laulau adalah tokoh budaya Mentawai yang meninggal pada Februari 2023. Setahun sebelum meninggal, saya berjumpa dengan Aman Laulau di umanya di Butui.
“Waktu itu penghancuran budaya Mentawai sangat gawat, semua peralatan sikerei dibakar polisi, di Matotonan terjadi pembakaran uma oleh dua orang polisi, pemilik uma meraung-raung menangis ke hutan,” katanya.
Peristiwa itu pertengahan 1980-an, ia sudah menjadi sikerei dan memiliki uma di Butui. Seorang polisi bernama Buncu setelah membakar uma di Matotonan, lalu mendatangi umanya. Tapi Aman Laulau menghadangnya.
“Di halaman uma saya katakan, kalau kamu berani mengganggu uma saya, saya akan menghadapimu, lalu dia tidak berani masuk,” kata Aman Lalau. Polisi itu lalu pergi, tapi Aman Laulau diliputi rasa cemas.
Kebetulan waktu itu ada fotografer berkebangsaan Kanada, Charles Lindsay. Lindsay datang ke Siberut untuk memotret budaya Mentawai untuk GEO Magazine terbitan Jerman. Selama di Siberut ia sering tinggal di uma Aman Laulau dan membuat aktivitas keluarga Aman Laulau.
Aman Laulau ingat Lindsay datang ke umanya dan berkata, “Mereka akan membakar peralatan kereimu.” Lalu Aman Laulau balik bertanya, “Siapa yang mau membakar, apakah si Buncu? Kalau sempat dia membakar rumah saya maka langsung saya habisi orang itu.”
“Charlie memperingatkan saya supaya tidak melakukan itu sebab nanti dihukum,” kata Aman Laulau.
Ia melanjutkan, “Saya membantah perkataannya, saya harus melakukan itu, sebab apa alasannya dia akan membakar rumah saya. Mengapa ada orang yang seenaknya membakar rumah orang, jika ada orang yang melakukan itu kepada saya maka pasti saya habisi dia.”
Kemudian, kata Aman Laulau, Charlie menjawab, “Aman Laulau jangan melawan seperti itu.”
Lalu saya, kata Aman Laulau, ia bertanya lagi kepada Charlie, bagaimana bagusnya. Setelah Charlie berpikir, ia memutuskan besoknya mereka harus ke Padang bertemu Gubernur Sumatera Barat.
Setelah saya memikirkan ajakannya, saya katakan kepadanya, kalau kita ke Padang nanti, jika ada yang berani menggunting rambut saya, pasti orang itu akan saya hajar,” kata Aman Laulau.
Ketika sampai di Muara Siberut, pusat Kecamatan Siberut Selatan, Charles Lindsay menelepon seseorang. Ia mengatakan akan membawa satu orang Mentawai datang ke kantor gubernur.
“Setelah itu kami berangkat ke Padang. Itu pertama kalinya saya keluar dari Siberut,” kata Aman Laulau.
Sampai di Kantor Gubernur Sumatera Barat di Padang, ia dan Charles Lindsay dikawal satpam ke ruangan gubernur di lantai tiga.
“Kemudian orang yang di dalam kantor itu mengatakan kami harus datang ke kantor gubernur lagi jam tiga sore, sebab ia akan menelepon Bupati Padang Pariaman untuk hadir dalam pertemuan itu. Tepat pukul tiga sore kami naik lagi masuk ke ruang gubernur, terbukalah pintu ruangan gubernur, kami masuk, pintu ditutup. Kami hanya berempat di ruangan itu, yakni saya, Charlie, gubernur, dan seorang pegawai kantornya.”
Kemudian, kata Aman Laulau, Charlie menceritakan masalah yang ia hadapi di Siberut kepada gubernur.
“Gubernur orangnya baik, dia mengatakan tidak ada masalah dengan budaya Mentawai yang kami jalani. Gubernur prihatin dengan apa yang telah kami hadapi. Lalu dia mau berfoto dengan saya berdua dan Charlie memotret kami sedang bersalaman,” katanya.
Gubernur Hasan Basri Durin, kata Aman Laulau, kemudian memerintahkan membuat surat untuk Aman Laulau yang ditembuskan kepada Bupati Padang Pariaman dan Camat Siberut Selatan di Siberut. Aman Laulau juga diberikan tembusannya. Ia masih menyimpan surat dari Hasan Basri Durin. Surat yang diketik dengan mesin tik itu tertanggal 31 Maret 1988 yang ditujukan kepada Bupati Padang Pariaman.
Dalam surat itu gubernur mengatakan telah mendapat informasi ada tindakan dari beberapa pejabat dan alat pemerintah di Kepulauan Mentawai di Siberut terhadap masyarakat asli yang kurang dapat diterima oleh masyarakat itu sendiri, seperti antara lain larangan berambut panjang, larangan tinggal di rumah asli mereka di hutan-hutan, larangan upacara ritual menurut tradisi dan kepercayaan mereka, sehingga hal itu menimbulkan keresahan dan kekecewaan masyarakat.
Dalam surat itu Gubernur Hasan Basri Durin meminta agar Bupati Padang Pariaman Dapat mengecek sejauh mana kebenarannya. Ia menyampaikan bahwa masyarakat Mentawai tidak dilarang hidup menurut norma-norma dan tradisi asli mereka.
Aman Laulau mengatakan, setelah sampai di Siberut dengan surat dari gubernur tersebut, para pejabat kantor camat dan polisi di Siberut tidak berani lagi mendatangi umanya.
“Mereka tidak mengganggu kami lagi di Sarereiket, takut mereka kalau bertemu, mereka seperti anak kecil,” katanya.
Namun Aman Laulau menyesalkan pelarangan yang pernah terjadi, sebab banyak aktivitas budaya di Kepulauan Mentawai dan benda-benda budayanya lenyap, termasuk uma.
“Sekarang yang ingin belajar budaya mesti datang jauh-jauh ke sini, ke Siberut, ke uma saya di Butui untuk belajar budaya Mentawai,” kata Aman Laulau.
Charlie Lindsay yang saya wawancarai lewat email masih mengingat peristiwa itu.
“Saat itu saya prihatin dengan beberapa dari polisi dari Maura Siberut yang kadang-kadang datang ke Butui dan Ugai dan desa-desa lain di Siberut mengatakan mereka ingin minta sesatu seperti ayam dan hal-hal kecil seperti itu, atau mereka akan membakar desa-desa Mentawai,” kata Charles Lindsay, penulis buku Mentawai Shaman, Keeper of the Rain Forest itu.
“Keluarga Aman Lau Lau telah tinggal cukup jauh di dalam hutan, tetapi pada saat itu mereka khawatir tentang hal-hal seperti itu. Ketika saya datang dan menghabiskan waktu bersama di Mentawai dan tertarik dengan budaya asli mereka, itu adalah sesuatu yang sangat baru bagi mereka,” kata Carles Lindsay.
Ia mengatakan, sebelumnya beberapa orang luar yang datang ke Mentawai sangat bermasalah. Mulai dari pedagang yang tidak bermoral, misionaris, polisi, transmigrasi, dan penebang hutan. Begitu banyak interaksi orang Mentawai dengan orang luar yang terlihat sangat jelas memiliki prasangka yang sangat negatif terhadap orang Mentawai.
“Jadi saya berusaha sangat keras untuk menjadi teman sejati di keluarga Aman Laulau setelah beberapa tahun dan saya membuat keputusan dengan Aman Lau Lau untuk pergi ke Padang, ke Sumatera Barat, untuk bertemu dengan Gubernur Sumatera Barat Hasan Basri Durin,” katanya.
Menurut Lindsey gubernur sangat baik dan murah hati. “Saya foto ia sedang menjabat tangan Aman Laulau, dengan foto itu di tangan setidaknya Aman Lau Lau tidak mengalami gangguan kecil yang sama oleh polisi Indonesia seperti sebelumnya,” ujar Lindsey.
Ia mengatakan gubernur benar-benar prihatin dengan nasib orang Mentawai dan ekosistemnya. “Dia adalah orang yang sangat baik dan dia tertarik pada Mentawai setelah itu sehingga itu adalah pengalaman yang sangat positif bagi Aman Lau Lau dan untuk saya sendiri, juga untuk gerakan lingkungan,” kata Charles Lindsay. (Febrianti/ Uggla.id)