PERAHU kayu yang membawa kami dari dermaga mulai menyusuri rawa yang terbentang seluas seribu hektare. Sesekali perahu menyibak tumbuhan eceng gondok yang subur memenuhi kanan kiri jalur perahu. Sekelompok burung kuntul putih yang kebetulan berada di atas eceng gondok berhamburan ketika perahu kami melintas.
Cuaca siang itu cukup cerah. Gunung Kerinci di bagian barat mulai terlihat saat awan yang sedari tadi menutupinya tersibak. Di timur terdapat kawasan Gunung Tujuh. Itu kumpulan tujuh gunung yang mengelilingi sebuah danau bernama Danau Gunung Tujuh. Rawa Bento menjadi hamparan rawa tertinggi di Sumatera, karena terletak 1.375 meter dari atas permukaan laut (mdpl).
Rawa Bento merupakan fenomena geologi yang unik. Dari sejarah geologisnya rawa ini sisa dari danau purba. Akibat sedimentasi dari aliran sungai yang mengelilinginya, danau purba itu mengalami pendangkalan sehingga akhirnya ditutupi rumput bento dan menjadi hutan rawa kerdil.
Di sepanjang rawa mengalir dua sungai, yaitu Sungai Rumpun dan Sungai Sangir yang mengalir ke arah Air Terjun Telun Berasap di utara. Selanjutnya mengalir ke arah Kabupaten Solok Selatan di Provinsi Sumatera Barat. Dari sana, selanjutnya mengalir untuk bertemu dengan Sungai Batang Hari, sungai terpanjang di Pulau Sumatera.
Semakin ke tengah rawa, pemandangan hutan yang khas mulai terlihat. Pohon hutan hujan yang terjebak di rawa tampak lebih kerdil dari pohon yang ada di hutan.
Akar Pohon Menjadi Sarang Ikan
Rawa Bento memiliki ekosistem yang khas dengan vegetasi hutan rawa yang didominasi jenis pohon empening putih (Quertus umalocos) dan balangeran (Shorea balangeran). Kemudian pohon empening hitam (Castanopsis acuminatissima), balam suntai (Palaquium walsurifolium), gelam (Melaleuca Leucadendron L.), medang (Litsea spp.), Eugenia spicata, Palaquium sp., Syzygium sp., Elaeocarpus sp., dan Ficus spp.
Akar pohon yang terbenam di rawa itu menjadi sarang ikan. Warga lokal yang sering memancing ada yang membuat pondok kecil di dekat pohon itu sebagai tempat mengail ikan. Mereka mencari ikan semah, pareh, saluang, dan belut.
Rawa Bento berada di Desa Jenih Jaya, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Saat ini Rawa Bento dikelola 25 pemuda desa dengan nama Kelompok Ekowisata Rawa Bento. Pengelolaan di bawah naungan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Wisata berperahu menjadi salah satu yang mereka tawarkan.
“Pengamat burung migran Asian Waterbird Census setiap tahun mengamati burung di Rawa Bento, karena tempat ini persinggahan burung migran,” kata Dozer Holizar, ketua Kelompok Ekowisata Rawa Bento.
Rawa Bento juga menjadi habitat puluhan jenis burung air, termasuk burung belibis, burung endemik Pulau Sumatera. Selain itu, juga terdapat satu jenis primata simpai yang tinggal di atas pohon.
Menonton Kerbau Liar
Satwa besar yang menarik di Rawa Bento adalah kerbau liar. Mereka berkelompok dan merumput di tepi sungai. Kerbau liar itu ada sejak dulu dan hidup alami di hutan Rawa Bento. Namun tetap ada pemiliknya, yaitu warga di desa sekitar Rawa Bento.
“Meski liar kerbau itu tidak berbahaya, tidak pernah menyeruduk orang atau tenda kemping, kerbau itu bisa berenang di sungai untuk pindah, mereka hidup dan berkembang biak di hutan rawa, diambil pemiliknya hanya saat akan dijual,” kata Dozer.
Tidak ada bangunan lain di hutan rawa, karena kawasan Rawa Bento ini berada di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Di tempat pemberhentian perahu, di dekat pohon besar ada plang bertuliskan “Anda Memasuki Kawasan TNKS”.
Selama 30 menit perjalanan pengunjung bisa turun di titik pemberhentian. Titik pemberhentian itu berupa lapangan rumput luas yang dikelilingi pohon yang biasa digunakan sebagai tempat berkemah dan menikmati pemandangan Gunung Kerinci dan Gunung Tujuh
Namun pada akhir Desember 2023 itu perahu tidak bisa mendekat karena di sana sedang banjir. Padang rumput tertutup air yang sedang tinggi. Pengunjung hanya bisa menyusuri rawa dari atas perahu.
“Sekarang memang sedang musim hujan, air naik dan kita tidak bisa turun, namun tetap bisa menikmati pemandangan rawa dari atas perahu,” kata Dozer.
Menurut Dozer awal tahun ini TNKS berencana akan membuat beberapa gazebo dan menara pengamatan burung di tengah hutan Rawa Bento.
“Hutan Rawa Bento inilah satu-sataunya hutan yang masih terjaga, coba lihat di kanan-kiri kita, di Gunung Kerinci dan Gunung Tujuh, sudah banyak hutan yang dibuka,” ujarnya.
Denda Adat untuk Penangkap Burung
Ia mengatakan, dulu masih banyak perburuan dan penebangan liar di hutan Rawa Bento. Namun sejak dijadikan untuk ekowisata, perburuan dan penebangan pohon dilarang.
“Sudah ada peraturan Desa Jernih Jaya pada 2017 yang melarang perburuan hewan, termasuk menangkap burung, juga penebangan pohon, ada sanksinya juga sebesar Rp5 juta, itu denda adat,” katanya.
Dozer menjelaskan Kelompok Ekowisata Rawa Bento saat ini dikelola 25 orang anak muda dari Desa Jernih Jaya yang berusia 15-30 tahun. Sebagian dari mereka adalah pelajar yang menyambi sebagai pemandu wisata jika ada pengunjung.
Kelompok ekowisata ini memiliki bangunan posko di dermaga Rawa Bento di Desa Jernih Jaya. Ada beberapa bangunan gazebo dan taman bunga tempat pengunjung bisa menikmati suasana lembah Rawa Bento dengan latar Gunung Kerinci dan Gunung Tujuh. Di lokasi itu juga ada lokasi berkemah (camping ground) dan tempat kegiatan alam terbuka.
Yang menjadi hambatan paling besar kegiatan ekowisata ini, menurut Dozer, adalah pembersihan jalur perahu di Rawa Bento. Sebab rawa dipenuhi tanaman eceng gondok yang tumbuh dengan cepat menutupi rawa. Suburnya eceng gondok membuat perahu tidak bisa lewat.
“Perlu banyak mengerahkan tenaga dan dana untuk membersihkan eceng gondok, karena tumbuhnya sangat cepat, apalagi di musim hujan,” ujarnya.
Selain itu menurutnya masih ada pengunjung yang datang ke Rawa Bento malah ingin berburu burung.
“Ada yang bawa senapan angin mau berburu burung, senapannya kami tahan tidak boleh dibawa masuk, mereka marah dan ngotot karena merasa sudah membayar perahu, tapi tetap kami jelaskan Rawa Bento kawasan konservasi, kalau ada yang nekat masuk kami langsung lapor ke petugas TNKS yang ada di Posko R10 Gunung Kerinci,” kata Dozer.
Penghargaan Kalpataru
Pada 6 Juni 2023 Dozer dan Kelompok Ekowisata Rawa Bento mendapat penghargaan Kalpataru Kategori Penyelamat Lingkungan dari Bupati Kerinci. Kelompok Ekowisata Rawa Bento juga mewakili Provinsi Jambi sebagai Kandidat Kalpataru Nasional.
“Tapi hasinya belum keluar,” kata Dozer 26 Desember 2023.
Dozer menjelaskan banyak peneliti yang sudah melakukan berbagai penelitian di Rawa Bento. Mula dari penelitian tentang burung air hingga tentang ikan dan hutan rawa. Tamu asing juga sudah banyak yang datang bekunjung. Rata-rata pengunjung yang datang ke Rawa Bento dalam satu bulan 200-300 orang, dari dalam dan luar negeri.
“Kata tamu asing yang datang, Rawa Bento adalah tempat yang eksotis, bisa melihat hutan rawa dengan latar Gunung Kerinci, vulkano tertinggi di Sumatera,” ujarnya.
Kepala Seksi Pelayanan dan Pemanfaatan Balai Besar TNKS Andri Naldi mengatakan sejak dulu Rawa Bento punya potensi besar dikelola sebagai ekowisata. Menurutnya Rawa Bento adalah habitat penting bagi burung air, termasuk burung air migran. Ada 46 spesies burung, 14 di antaranya adalah jenis burung air dan 6 di antaranya jenis burung air migran. Juga terdapat 6 jenis burung raptor dan 26 jenis burung perbukitan.
“Lokasi ini menjadi lokasi tetap sensus burung air asia sejak 2019 sampai sekarang,” katanya.
Menurutnya sejak awal TNKS ikut mendorong pengelolaan ekowisata Rawa Bento yang dilakukan pemuda Desa Jernih Jaya. Pada 2019 TNKS melakukan penyusunan desain tapak dan site plan dengan Kelompok Wisata Rawa Bento untuk pengelolaan wisata Rawa Bento. TNKS juga memberi bantuan perahu untuk mendukung ekowisata kepada Kelompok Ekowisata Rawa Bento.
“Ke depan, karena pengunjung sudah mulai ramai, TNKS saat ini sedang mempersiapkan master plan untuk pengelolaan Rawa Bento bersama Kelompok Eko Wisata Rawa Bento,” kata Andri Naldi. (Febrianti/Uggla.id)