MALINGGAI UMA, komunitas pemuda adat Mentawai di Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat saat ini berusaha menyelamatkan enam jenis primata endemik di Kepulauan Mentawai dari ancaman kepunahan.
Keenam jenis primata endemik yang hanya ada di Kepulauan Mentawai itu adalah Bilou (Hylobates klossii), Bokkoi (Macaca siberu), Siteut (Macaca pagensis), Atapaipai (Presbytis potenziani), Joja (Presbytis siberu), dan Simakobu (Simias concolor).
Empat di antaranya terdapat di Siberut, yaitu Bilou, Bokkoi, Joja, dan Simakobu. Status konservasi keenam primata yang tersebar di empat pulau besar di Kepulauan Mentawai itu terancam punah. Simakobu bahkan sudah masuk kategori kritis. Jika tidak segera diselamatkan, keenam primata asli Kepulauan Mentawai itu akan segera punah.
“Ancaman terhadap primata itu terjadi karena makin berkurangnya habitat mereka akibat perburuan, pembukaan hutan, dan penebangan hutan skala besar oleh perusahaan,” kata Damianus Tateburuk, ketua Malinggai Uma.
Sekretariat Malinggai Uma berada di uma Malinggai milik klan Tateburuk di Dusun Puro II, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan. Komunitas ini didirikan Damianus Tateburuk, 41 tahun, pada 5 September 2014.
“Malinggai Uma ini kami bentuk untuk sarana pelestarian dan berkembangnya kebudayaan serta konservasi keanekaragam hayati, satwa liar, dan primata Mentawai,” kata Damianus.
Ia mengenal kegiatan konservasi pada 1910 ketika terlibat kegiatan survei primata Mentawai yang diadakan FFI (Flora-Fauna International). Saat itu juga terlibat Arif Setiawan, peneliti primata yang kemudian mendirikan Swara Owa di Yogyakarta.
Swara Owa kini menjadi mitra Malinggai Uma dan kerap melakukan kegiatan bersama di Mentawai. Mereka telah menerbitkan buku panduan Primata Kepulauan Mentawai pada 2019 dan buku Burung-Burung Kepulauan Mentawai pada 2022.
Saat ini Damianus mengelola Malinggai Uma bersama tiga rekannya, Ismael Saumanuk, Vinsensius, dan Mateus Sakaliou. Beberapa anak muda di Puro juga ikut menjadi anggota Malinggai Uma.
Menurut Damianus, saat ini yang menjadi tantangan terbesar adalah menyadarkan masyarakat agar tidak lagi berburu primata. Walaupun jumlah primata di hutan sudah menurun drastis, tetapi masyarakat Mentawai sejak dulu sudah biasa berburu primata, selain untuk ritual sebagai penutupan sebuah pesta adat, juga untuk kebutuhan protein.
“Meminta masyarakat berhenti berburu itu sangat sensitif, kita harus hati-hati, itu sama dengan kita menyebutkan seperti tanaman pisang yang sudah kita tanam tidak boleh diambil, sama dengan mengatakan primata itu milik kita dan tidak boleh diambil. Itu nanti akan berbalik ke kita, mereka akan bertanya, apa primata itu punya kamu,” ujar Damianus.
Ia sangat khawatir ancaman yang dihadapi primata endemik Mentawai. Di Siberut primata terus berkurang karena perburuan dan pembukaan ladang. Malinggai Uma menghitung populasi primata di suatu kawasan, di antaanya dengan merekam suara dan kamera trap dan jumlahnya terus berkurang setiap kembali ke lokasi yang sama.
“Kita sering menghitung populasi, kadang primata itu sudah berpindah, kadang dia sudah berkurang, kita sangat khawatir,” katanya.
Ia melanjutkan, “Kita merasakan hal itu, kalau tidak bersuara lagi, artinya kita sudah kehilangan, sekali primata itu punah, selamanya kita akan kehilangan primata yang di dunia hanya ada di Kepulauan Mentawai.”
Apalagi, tambah Damianus, perburuan primata saat ini tidak lagi menggunakan panah, tapi senapan angin dan senapan tabung. Pelurunya tetap diolesi dengan racikan racun panah tradisional sehingga primata lebih banyak didapat pemburu dan lebih cepat mati.
“Perburuan liar itu untuk kebanggan mereka, dia berburu dengan bangga, bisa dapat primata, sedangkan perburuan untuk tradisi itu jumlah primatanya tidak ditarget, kalau dapat atau tidak dapat hasil buruan, tidak masalah,” ujarnya.
Ketertarikan Damianus di bidang konservasi karena merasa sudah menjiwai. Dulu ia juga berburu, terutama untuk ritual, karena bapaknya juga seorang sikebukat uma (pemimpin di uma) dan pamannya banyak yang sikerei sehingga kerap ada pesta adat di uma mereka di lembah Sarereiket, Siberut Selatan.
“Tapi setelah terjun ke konservasi, berawal ikut survei dulu, saya jadi tahu primata ini banyak manfaatnya untuk kita. Bisa menjadi pertanda dengan suaranya serta menyebarkan biji rotan dan buah-buahan di hutan,” katanya.
Memasang Kamera Jebak
Sejak pertengahan 2023 Malinggai Uma melakukan pendataan primata di Siberut Selatan dan Siberut Barat Daya. Mereka memasang kamera jebak untuk mengetahui jumlah dan jenis primata, serta habitat primata yang tinggal di suatu kawasan hutan.
Lokasi pemasangannya bergantian di hutan Malupetpet di Gunung Tiop, Siberut Barat Daya dan di hutan Moupu, Siberut Selatan. Dipasang bergantian di dua lokasi karena mereka hanya memiliki satu kamera trap. Selain kamera trap juga dipasang satu perekam suara untuk merekam suara primata dan burung.
“Kami ingin mendata di mana saja keberadaan primata endemik itu, di hutan mana mereka masih ada, bagaimana tingkah lakunya, apa kebiasaannya, karena selama ini pertemuan secara langsung dengan primata endemik ini cukup sulit, karena mereka sering diburu,” ujarnya.
Pada 1 September 2024 Malinggai Uma mendapat bantuan alat monitoring satwa dari Idea Wild, lembaga donor Amerika Serikat yang khusus memberikan peralatan kegiatan untuk penelitian. Selain itu, Malinggai Uma juga mendapat bantuan satu lensa tele 300 mm dari Swara Owa.
“Ini untuk membantu kegiatan monitoring dan pengembangan kapasitas tim Malinggai Uma di Mentawai,” kata Arif Setiawan, direktur Swara Owa yang membawa peralatan monitoring untuk Swara Owa ke Siberut, 1 September 2024.
Damianus mengatakan Malinggai Uma ke depan ingin mengembangkan ekowisata konservasi untuk mengamati primata di hutan. Menurutnya ekowisata pengamatan primata sangat diminati turis asing.
“Saat ini saya sedang magang di pusat rehabilitasi gibbon di Kuala Lumpur, Malaysia. Saya diundang Gibon Conservation Sociaty, mereka punya tempat rehabilitasi owa, dan saya magang di sana selama sebulan, saya jadi banyak belajar tentang owa dan juga tentang ekowisata owa yang juga mereka kelola,” katanya.
Ia berencana menerapkan ekowisata serupa di Siberut. “Agar memberi dampak keuntungan kepada masyarakat pemilik hutan, agar mereka tidak berburu lagi,” katanya. (Febrianti/Uggla.id)