Melihat Satwa Endemik Mentawai di Pulau Siberut

Mentawai

Celepuk mentawai, burung hantu endemik Mentawai di Hutan Toloulagok, Siberut Barat Daya, Mentawai. (Foto: Imam Taufiqurrahman/ Swaraowa)

MATA saya harus selalu awas melihat ke kiri dan ke kanan memasuki hutan di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Dari pengalaman sebelumnya, selalu ada ular bersembunyi di sela rumput, semak, ranting, atau batang sagu di pinggir jalan setapak yang dilewati.

Saya pernah beberapa kali berjumpa ular hijau berekor merah yang sangat berbisa. Tropidolaemus wagleri itu terlihat bergelung di pelepah batang sagu. Mungkin ia sedang menjaga telurnya. Pernah juga seekor terlihat sedang melata di tepi jalan setapak. Itulah perjumpaan dengan hewan melata yang menjadi bagian kekayaan hutan Siberut.

Wagleri itu tidak mengganggu, tetapi jika ia terganggu semburan bisanya sangat berbahaya. Meski penduduk Siberut mengatakan tidak ada orang yang pernah mati digigit ular, namun kata mereka luka gigitanya sangat sakit dan penyembuhannya lama.

Itu salah satu alasan kenapa kostum masuk hutan harus lengkap. Kemeja lengan panjang, celana panjang, kaos kaki panjang, topi lapangan, dan sepatu bot. Penduduk yang ke ladang di Pulau Siberut juga terlihat berpakaian seperti ini.

Di Siberut hanya ular, termasuk ular sanca yang besar yang pernah terlihat memuntahkan tengkorak monyet, dan buaya muara yang perlu diwaspadai. Selain itu tak ada satwa yang perlu dikhawatirkan. Selebihnnya, hutan Siberut masih memiliki banyak keragaman hayati yang menakjubkan.

Di hutan Pulau Siberut masih ada pohon-pohon besar dengan kanopi khas hutan hujan dan berbagai jenis anggrek. Pohon-pohon besar itu menjadi habitat aneka satwa yang unik, termasuk primata endemik dan beragam jenis burung.

Lampiran Gambar
Burung kadalan, burung endemik Mentawai di Hutan Toloulagok, Siberut Barat Daya, Mentawai. (Foto: Imam Taufiqurrahman/ Swaraowa)

Hutan Toloulaggok di Desa Katurei, Kecamatan Siberut Barat Daya salah satu hutan terbaik di Pulau Siberut. Disebut terbaik, karena masih menyimpan keragaman hayati hutan Siberut yang  pernah saya kunjungi. Hutan itu berada mulai dari pantai Teluk Katurei hingga pada ketinggian punggungan bukit di belakang Dusun Toloulaggok, Desa Katurei.

Suatu hari saya berkunjung ke Hutan Toloulaggok bersama tim pegiat konservasi dari Malinggai Uma. Lembaga lokal yang bermarkas di Siberut Selatan itu sedang mengamati primata dan burung di Mentawai. Selain melakukan pengamatan langsung, mereka juga memasang kamera jebak untuk mendata primata dan satwa di hutan itu.

Hutan Toloulaggo seluas 6.706 hektare berstatus sebagai hutan negara. Hutan itu terdiri dari kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 6.100 ha dan hutan produksi seluas 606 ha.

Pada pagi yang cerah, kami berjalan kaki ke Hutan Tololaggok yang berjarak hanya sekitar 700  meter dari permukiman. Hutan itu berada di ketinggian sekitar 90 hingga 130 meter di atas permukaan laut, tetapi di atasnya landai. Pohon-pohon besar masih banyak, hutan dipterocarpase khas hutan hujan.

Di tengah hutan kami duduk berdiam di spot tim Malinggai Uma sering berjumpa dengan primata. Benar saja, di atas pohon kruing setinggi 20 meter tiba-tiba terlihat dua ekor anak Simakobu berkejaran di atas dahan. Warna bulu mereka berbeda. Seekor berbulu keemasan dan yang lainnya berwarna hitam.

Lampiran Gambar
Simabulou, Simakobu berbulu kuning keemasan di Hutan Toloulagok, Siberut Barat Daya, Mentawai. (Foto: Imam Taufiqurrahman/ Swaraowa)

Saya terkesima melihat pemandangan indah itu. Ini kedua kalinya perjumpaan saya dengan Simakobu. Sebelumnya, pada 2006 saya melihat dua ekor Simakobu dewasa di Hutan Paleonan di Siberut Barat.

Pada pohon yang sama, induk Simakobu yang berwarna hitam kelabu duduk di tajuk pohon. Ia mengawasi kedua anaknya sambil menikmati pucuk daun kruing.

Kedua anak Simakobu itu berlarian dan bermain di atas tajuk pohon kruing yang tersambung ke pohon kruing di sebelahnya, menyajikan pertujukan yang menakjubkan. Keduanya berhenti bermain, lalu asyik memakan pucuk daun kruing.

Simakobu (Simias concolor) salah satu primata endemik di Kepulauan Mentawai yang masuk red list IUCN (International Union for Conservation of Nature). Statusnya “Endagered” atau terancam. Ancaman utama yang dihadapi Simakobu adalah perburuan dan deforestasi.

Ketua Malinggai Uma Damianus Tateburuk yang memimpin tim mengatakan Simakobu sering ditemukan di Hutan Toloulaggok.

“Simakobu berbulu keemasan itu di Mentawai dinamakan Simabulou, sangat jarang terlihat. Di sini ada, begitu juga tiga primata Mentawai endemik lainnya, Joja, Bilou, Bokkoi, semua ada di sini, tapi di lokasi yang berbeda,” katanya.

Lampiran Gambar
Simakobu, primata endemic Mentawai berbulu hitam di Hutan Toloulagok, Siberut Barat Daya, Mentawai. (Foto: Imam Taufiqurrahman/ Swaraowa)

Siberut memiliki empat primata endemik, yaitu Bokkoi (Macaca siberu), Joja (Presbytis siberu), Bilou (Hylobates klosii), dan Simakobu (Nasalis concolor). 

Selama di Toloulagok saya hanya bisa melihat Simakobu, karena lokasi primata lainnya lebih jauh lagi ke tengah hutan. Tetapi suara Bilou yang indah dengan pekikan nada tinggi sering terdengar, tapi ia tidak terlihat.

“Suara Bilou itu mengabarkan ke penghuni hutan ada orang masuk, jadi mereka bisa menghindar dan menjauh karena takut diburu,” kata Vincentius, pegiat Malinggai Uma.

Burung Endemik di Malam Hari

Malam hari kami mengamati satwa di sekitar permukiman Dusun Tololagok. Rombongan kecil kami dipandu Imam Taufiqurahman, peneliti burung dari Swara Owa, Yogyakarta, lembaga mitra Malinggai Uma. Imam salah satu penulis buku Burung-Burung Kepulauan Mentawai yang diterbitkan Swara Owa dan Malinggai Uma pada 2022.

Target utama pengamatan adalah burung Paruh kodok atau Celepuk Mentawai. Ini burung endemik Mentawai dengan nama latin Otus mentawi. Seperti burung hantu lainnya, burungnya nokturnal, aktif pada malam hari. Kami mengendap-endap dalam kegelapan tanpa cahaya di dekat pekuburan di pinggir Dusun Toloulagok. Lokasi itu dikelilingi pohon sagu, pohon durian, dan pohon pinang.

Kami mengikuti suara burung hantu dan akhirnya bertemu dengan burung hantu yang  terlihat di atas pohon sagu. Ukurannya kecil, sekitar 20 sentimeter. Burung hantu lainnya juga terlihat terbang meninggalkan lokasi dengan bersuara.

Lampiran Gambar
Ismael Saumanuk dan Imam Taufiqurrahmah sedang mengamati hasil memotret burung di Hutan Toloulagok, Siberut Barat Daya, Mentawai. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

Tidak hanya burung hantu endemik, kami juga melihat bajing terbang endemik Mentawai yang nama latinnya Iomy sipora. Ia sedang berada di atas pohon pinang. Sebenarnya bajing ini tidak terbang, tapi dari ketinggan ia meluncur turun sembari mengembangkan sayapnya agar mendarat dengan empuk.

“Kalau sekarang bajing terbang sudah tidak banyak terlihat, apalagi di dekat perladangan masyarakat, banyak diburu karena dianggap hama, padahal itu endemik Mentawai,” kata Vinsentius.

Bajing terbang itu, kata Vinsen, suka memakan pinang, durian, kelapa, dan buah-buahan seperti mangga dan rambutan.

“Makanan alaminya di hutan adalah buah pohon Boboklo. Dia sangat suka itu,” ujarnya.

Hutan Toloulaok juga kaya dengan berbagai jenis burung. Selain burung hantu Paruh kodok, burung Kadalan juga ada yang endemik Mentawai. Burung itu kami jumpai di tepi hutan di atas pohon durian pada pagi hari.

Dua ekor burung Kadalan terlihat sedang bertengger di atas pohon durian yang besar dan tinggi. Warna bulunya cokelat gelap yang mengkilap, dengan lingkaran di sekeliling mata berwarna merah cerah hingga di bawah paruh. Ukurannya cukup besar dengan panjang sekitar 30 sentimeter.

Lampiran Gambar
Imam Taufiqurrahmah dan Kurnia Ahmadin dari Swara Oea sedang mengamati burung di Hutan Toloulagok, Siberut Barat Daya, Mentawai. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

Selain Kadalan, satwa endemik yang terlihat di tepi Hutan Toloulagok adalah burung Madu hutan kecil yang sub endemik Mentawai. Juga burung Cinenen kelabu, Srigunting sumatera, Srigunting kelabu, Langural bido, Raja udang, dan Kepodang buduk hitam.

Imam Taufiqurahman menjelaskan di Tololaggok terdapat sekitar 50 jenis burung. Ada burung endemik Mentawai, ada yang sub endemik Mentawai, dan juga ada burung yang tidak endemik yang sebarannya luas di Pulau Sumatera.

“Dari 178 jenis burung di Kepulauan Mentawai, 50 jenis bisa kita amati di Toloulaggok,” katanya.

Imam mengatakan jenis burung di Kepulauan Mentawai cukup banyak, bahkan seekor burung Merpati hutan perak yang hampir punah pernah teramati dan terekam kamera oleh Ismel Saumanuk, pegiat Malinggai Uma.

“Itu burung yang dinyatakan hampir punah, sangat langka di dunia, diperkirakan hanya tinggal 250 ekor dan mendiami pulau-pulau kecil. Tidak disangka burung itu juga ditemukan di Siberut, terekam di video Ismael tiga tahun lalu di Siberut Selatan,” ujarya.

Uniknya, kata Imam, di Kepulauan Mentawai tidak akan dijumpai jenis burung semak, seperti Pelanduk dan Tepus atau burung penghuni lantai hutan seperti Ayam hutan, Kuau, dan Sempidan yang banyak di hutan Sumatera.

“Itu karena sejarah geologi Kepulauan Mentawai yang terpisah dari Sunda Besar sejak ribuan tahun silam sehingga burungnya kemungkinan tidak sempat menyeberang. Burung semak dan jenis ayam hutan terbangnya juga tidak  jauh dan lebih banyak berjalan,” katanya.

Selain itu, di Kepalauan Mentawai juga tak ada satupun perwakilan dari burung pelatuk, seperti burung Takur atau burung Kacamata yang termasuk burung semak.

Lampiran Gambar
Teluk Katurei dari Hutan Toloulagok di Desa Katurei, Kecamatan Siberut Barat Daya, Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

“Yang banyak di Mentawai itu jenis burung-burung yang bertengger, seperti Kadalan, Tuwur Asia, Elang, dan Pergam,” ujarnya.

Keragaman hayati yang ditemukan di Hutan Tolulaggok, selain burung juga ada berbagai jenis ular, katak, capung, kupu-kupu, bajing terbang, dan musang. Sedangkan floranya, terdapat tumbuhan beragam jenis anggrek, dari anggrek mini hingga anggrek berukuran besar yang banyak tumbuh di pohon.

“Sudah banyak peneliti yang datang ke Toloulaggok. Ada peneliti primata, anggrek, capung, kupu-kupu, ular, bahkan juga ada wisatawan asing yang datang hanya ingin melihat bajing terbang endemik dan musang endemik, satwa yang masih bisa ditemukan di Toloulaggok,” kata Damianius Tateburuk.

Menurut Daminius keragaman hayati di Hutan Toloulaggok bisa mewakili flora-fauna yang unik di Pulau Siberut. Bahkan untuk semua jenis mamalia endemic, seperti primata, musang, bajing terbang, dan burung endemik Mentawai.

Pulau Siberut, pulau seluas 4.030 meter persegi dan terbesar di Kepulauan Mentawai pernah dijuluki ahli sebagai Galapagos Asia. Pulau itu dianggap mirip dengan Pulau Galapagos di Samudera Pasifik yang terkenal karena keragamanhayatinya yang tinggi. Tingginya keragaman hayati di Pulau Siberut yang berhadapan dengan Samudera Hindia terkait dengan sejarah geologisnya.

Pulau Siberut dan rangkaian pulau-pulau lain di Kepulauan Mentawai memiliki sejarah geologis yang unik. Pada zaman Pleistocene atau Zaman Es, kira-kira satu juta hingga 10 ribu tahun silam, permukaan laut di kawasan Asia Tenggara lebih rendah 200 meter dari sekarang.

Daratan menghubungkan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, dan Benua Asia. Saat itu terjadi perpindahan bebas jenis-jenis hewan. Tak heran terjadi persamaan fauna ketiga pulau besar tersebut.

Namun pulau-pulau di Kepulauan Mentawai tetap terpisah dari daratan Pulau Sumatera saat pulau lain masih menyatu pada masa Pleistocene Tengah.

Lampiran Gambar
Penebangan hutan yang mengancam keragaman hayati Hutan Toloulagok di Siberut Barat Daya, Mentawai. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

Kepulauan Mentawai diperkirakan sudah menjadi pulau-pulau asli sejak 500 ribu tahun silam yang menyebabkan flora-faunanya terpelihara dari perubahan-perubahan evolusi dinamis, seperti yang terjadi pada lempengan daratan Sunda lainnya, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.

Keterpisahan tersebut menyebabkan Kepulauan Mentawai memiliki keunikan pada flora dan fauna yang menjadikan kepulauan itu kaya dengan keragaman hayati.

Siberut memiliki sekitar 65 persen dari 31 spesies hewan. Paling istimewa adalah empat dari enam spesies primata endemik yang ada di Kepulauan Mentawai terdapat di Siberut.

Keempat primata adalah Bilou (Hylobates klossii), Bokkoi (Macaca siberu), Joja (Presbytis siberu), dan Simakobu (Simias concolor). Dua lainnya, Siteut (Macaca pagensis) dan Atapaipai (Presbytis potenziani) terdapat di tiga pulau lainnya, yaitu Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora. Kemudian, sekitar 15 persen dari 896 spesies tumbuhan di pulau itu adalah endemik.

Sayang, keragaman hayati di Pulau Siberut terus terancam, terutama oleh deforestasi. Di Toloulagok hutannya juga menjadi sasaran penebangan ilegal untuk material pembangunan resort dan surfcamp yang dikelola turis asing di Siberut Barat Daya untuk tamu surfing mereka. Selain itu izin penebangan skala besar di Siberut juga masih dikeluarkan pemerintah. Deforestasi adalah ancaman terbesar bagi keragaman hayati di Pulau Siberut. (Febrianti/ Uggla.id)

#KEHATI

Baca Juga

Mentawai
Komunitas ‘Sinuruk Mattaoi’, Cara Anak Muda Mengangkat Budaya dan Produk Mentawai
Sekolah Adat
Siswa dari 5 Sekolah Adat di Siberut Tampilkan Seni Budaya Mentawai
primata
Pemuda Adat Mentawai Berusaha Selamatkan 6 Primata Endemik
Mentawai
Pesta Besar di Desa Budaya Mentawai
Siberut
Youth Climate Action Day di Mentawai: Aksi Anak Muda Padukan Agama dan Lingkungan
Pesta Adat
Pesta Besar Liat Eeruk Akan Kembali Digelar di Matotonan, Mentawai