RULLY Puja Santiago menenteng sekantong sampah ketika meloncat dari perahu mesin ke dermaga kecil di belakang Penginapan Kristine di Tuapeijat pada Selasa, 29 Juli 2025.
“Sampah mulai banyak, karena pengunjung ke pulau-pulau kecil juga mulai banyak, ada yang meninggalkan sampahnya, terpaksa kami angkut agar tak mencemari pulau kecil di sana,” kata Puja.
Rully Puja Santiago bersama Ben Sakoikoi membuka paket wisata untuk turis asing dan turis domestik menikmati perairan di pulau-pulau kecil di depan Tuapeijat, ibu kota Kepulauan Mentawai yang terletak di Pulau Sipora.
Di pulau-pulau kecil itu wisatawan bisa berjemur, melakukan snorkeling, atau stand up paddling di sela hutan mangrove dari pagi hingga sore.
Hari itu, kedua pemuda Mentawai tersebut baru saja pulang membawa sejumlah turis asing dan seperti biasa mengantarkan tamu mereka ke dermaga kecil di belakang Penginapan Kristine. Penginapan itu terletak tak jauh dari Dermaga Tuapeijat.
Begitu perahu merapat, satu keluarga turis asing keluar dari perahu dan melompat ke dermaga. Kulit mereka terlihat kecokelatan terbakar matahari dan butiran halus pasir pantai terlihat masih menempel pada kaki mereka.

Wajah mereka gembira dan dari dalam perahu, Puja dan Ben melambaikan tangan dan mengucapkan selamat berpisah. Begitu tamunya pergi, Ben meloncat ke dermaga untuk mengikatkan tali tambatan perahu. Sedangkan Puja membawa sekantong sampah itu.
“Kami tidak ingin gambaran Mentawai sebagai surga tropis hilang karena dikotori sampah,” kata Puja.
Kepulauan Mentawai memang salah satu lokasi favorit di Indonesia sebagai tujuan surfing bagi turis mancanegara.
Di kepulauan yang terletak di pantai barat Provinsi Sumatera Barat yang menghadap Samudera Hindia itu tersedia aneka jenis ombak surfing, mulai dari mereka yang ingin belajar surfing dari nol hingga para peselancar profesional.
Karena itu, setiap tahun Mentawai menjadi tujuan surfing. Sedikitnya 7.000 peselancar dari berbagai negara datang ke spot-spot ombak di Kepulauan Mentawai. Termasuk keluarga yang membawa anak-anak mereka. Tak terkecuali ke Pulau Sipora.
Selain itu, wisatawan yang menikmati keindahan pantai dan laut Mentawai juga meningkat. Mereka tak hanya wisatawan asing, tetapi juga wisatawan dalam negeri, terutama dari Jakarta. Mereka datang untuk menikmati alam Mentawai dengan menyelam, menombak ikan, dan main kayak di sela hutan bakau seperti paket yang dikelola Ben Sakoikoi.

Sambil mengantar tamunya menyelam di perairan Pulau Putoutogat, Puja juga menyelam mengambil sampah plastik yang mengendap di dasar hutan mangrove. Ia juga menyelam mengambil sampah yang tersangkut pada terumbu karang.
“Sampah terbanyak itu di kawasan perairan yang dekat dengan bibir pantai yang banyak didatangi wisatawan, kalau di sela-sela gugusan mangrove tempat tamu snorkling atau main paddle, masih bebas sampah,” ujarnya.
Jika Puja memungut sampah di laut, Ben memungut sampah di pantai yang ditinggalkan pengunjung. Mereka memasukkan sampah ke tong sampah yang mereka sediakan di atas perahu.
“Kadang ada tamu yang abai dengan sampahnya, habis makan tisunya berceceran, itu yang sengaja saya pungut di depan tamu, setelah itu mereka jadi sadar dan mulai mengemasi sampahnya sendiri,” kata Ben.
Menyuruh Turis Brasil Mengambil Botol yang Dibuang
Semakin banyaknya wisatawan yang datang, maka semakin banyak pula sampah bertebaran. Itulah fenomena yang tak bisa dihindari. Namun untuk objek wisata pulau-pulau kecil seperti di Kepulauan Mentawai, sampah itu langsung memenuhi perairan dan sangat sulit memungutnya. Jika itu terjadi, dampaknya juga kepada masa depan objek wisata tersebut.
Hal inilah yang disadari Puja dan Ben. Karena itu, mereka berdua langsung turun tangan memungut sampah yang mereka temui di lokasi dan membawanya ke Pelabuhan Tuapeijat. Di pusat Kabupaten Kepulauan Metawai itu mereka membuangnya ke bak kontainer sampah yang disediakan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Pemkab Mentawai.

“Persoalan sampah plastik ini harus cepat ditangani sebelum Mentawai seperti Bali,” ujar Ben.
Selasa itu, hasil pungutan sampah Puja dan Ben di Pulau Putotojat beragam. Puja mendapat beberapa sampah kemasan makanan ringan yang terbenam pada akar mangrove.
Sedangkan Ben memungut botol bekas oli mesin motor perahu, botol air kemasan, kaleng bir, dan beberapa sandal. Juga sampah kemasan makanan dan minuman dari enam tamu yang mereka bawa.
Menurut Ben, wisatawan asing paling sensitif dengan masalah sampah.
“Semua sampah mereka, mulai dari kemasan makanan hingga puntung rokok dimasukkan ke plastik dan dikantongi hingga ketemu tong sampah untuk dibuang,” ujarnya.
Namun, tambah Puja yang juga sudah empat tahun menjadi pemandu wisata surfing dan bawah laut di Mentawai, orang-orang Mentawai yang terlibat dalam bisnis wisata seperti ia dan Ben jauh lebih peduli.
“Saya pernah punya pengalaman membawa tamu asal Brazil berselancar di spot ombak Pulau Sipora, tamu dari Brazil itu setelah meminum Aqua langsung membuang botolnya ke laut, mungkin karena dia lelah habis surfing, teman saya operator boat langsung memarahi dia dan meminta tamu itu mengambil lagi botol itu. Ia akhirnya berenang mengambil botol itu dan kemudian meminta maaf,” kata Puja.
Tapi, lanjut Puja, kejadian seperti itu sangat jarang terjadi, karena turis asing sangat peduli dengan kebersihan lingkungan.

“Ada juga tamu asing saya yang komplain saat mau menombak ikan, ternyata ada botol plastik yang mengapung, ia protes mengatakan kenapa ada yang buang sampah di tengah keindahan alam Mentawai,” ujar Puja.
Kru Kapal Menganggap Laut Adalah Tong Sampah
Menurut Ben, sumber sampah lainnya di perairan Tuapeijat adalah dari kapal yang langsung dibuang krunya ke laut.
Putra pemilik Penginapan Kristine yang hanya berjarak 100 meter dan berhadapan dengan Pelabuhan Tuapeijat itu mengaku kerap melihat kru kapal-kapal yang bersandar di pelabuhan membuang sampah kapalnya ke laut.
“Terutama kapal yang membawa BBM (Bahan Bakar Minyak), itu krunya setiap sandar selalu membuang sampahnya langsung ke laut, kapal antar pulau juga pernah saya lihat membuang sampahnya ke laut, laut dianggapnya tong sampah,” ujarnya.
Selain itu, kata Ben, pedagang makanan di pelabuhan umumnya juga langsung membuang sampah mereka ke laut.
Karena itu, Ben berharap Pemkab Mentawai menyediakan banyak tong sampah di pelabuhan agar sampah dari kapal tidak dibuang ke laut.

“Saat ini tak satupun ada tong sampah di Pelabuhan Tuapeijat, hanya ada satu kontainer untuk menampung seluruh sampah, baik dari perumahan dan penginapan maupun sampah dari resor-resor yang dikelola warga negara asing di pulau-pulau kecil,” katanya.
Pagi itu, di selokan yang berada di Pelabuhan Tuapeijat terlihat sejumlah sampah botol minuman dan bungkus makanan ringan mengapung. Selokan itu terhubung ke laut di depan pelabuhan. Sampah-sampah plastik itu, jika tidak dihanyutkan arus dari teluk di Pelabuhan, tentu langsung dibuang orang ke selokan itu.
Petugas Kewalahan
Hasim dan Nelson terlihat pagi itu mengangkut sampah dari bak sampah becak motor Viar ke kontainer sampah di Pelabuhan Tuapeijat. Mereka adalah petugas sampah dari Dinas Lingkungan Hidup Pemkab Mentawai.
Setiap hari keduanya bertugas mengangkut sampah dari rumah-rumah penduduk dan warga negara asing di kawasan pantai Tuapeijat ke kontainer di Pelabuhan. Mereka bertugas pagi dari pukul 6 hingga pukul 10 dan sore dari pukul 4 hingga menjelang Magrib.
Sampah yang mereka bawa tidak hanya sisa makanan rumah tangga dan sisa kemasan plastik, tapi juga potongan kayu. Dalam sehari mereka membawa sekitar 4 ton sampah.

“Kami kewalahan, karena untuk melayani lebih enam ribu warga kota di Tuapeijat ini hanya empat betor dan delapan petugas kebersihan. Harusnya ditambah,” kata Nelson.
Menurut Nelson, di permukaan masalah sampah sepertinya tidak terlihat oleh banyak orang, padahal sebenarnya sampah di Tuapeijat sangat banyak.
“Sehari saja tidak diambil, langsung jadi masalah besar bagi warga di Tuapeijat,” ujarnya.
Pada Juni lalu (2025) Pemkab Mentawai merumahkan Nelson dan rekan-rekannya yang sehari-hari mengoperasionalkan empat betor sampah karena tidak adanya anggaran untuk gaji mereka yang berstatus honorer.
“Begitu kami berhenti, dalam sehari sampah bertumpukan, masyarakat ribut minta sampah mereka diambil, dan kami dipekerjakan kembali, hanya sehari kami dirumahkan,” ujarnya.
Nelson dan Hasim juga memilah sampah yang akan dimasukkan ke kontainer. Pagi itu dari mengambil sampah di rumah-rumah warga negara asing (WNA) yang umumnya pengusaha resor yang tinggal di Pantai Jati, mereka mendapati ada belasan kaleng bekas bir di dalam plastik yang terpisah dari sampah lain.
“Kaleng bir ini kami pipihkan dan bisa dijual lagi ke penampung, harganya Rp10.000 per kilogram, lumayan untuk beli sarapan,” kata Hasim.
Selain kaleng bir, mereka juga menyisihkan botol air kemasan dan botol plastik lainnya untuk dijual ke pengepul.
“Jadi tidak terlalu banyak sampah yang dibawa truk ke TPS,” ujarnya.
Sekolah yang Berinisiatif Memanfaatkan Sampah
Menariknya, di Tuapeijat juga ada sekolah yang berinisiatif melakukan inovasi dalam memanfaatkan sampah. Inovasi yang dilakukan dalam kegiatan kerajinanan siswa itu ada di SMA Negeri 2 Sipora dan SMA Swasta Penabur Berkat.

Ketika Uggla.id berkunjung ke SMA Negeri 2 Sipora, di di ruang guru sudah ada dua set kursi sofa empuk tanpa sandaran berwarna merah dan hitam hasil kerajinan siswa dari sampah plastik.
“Ini kursi ekobrik buatan siswa, di dalamnya dari susunan botol plastik ukuran 1,5 liter yang diisi penuh dengan potongan sampah plastik hingga padat,” kata Amos Pasaribu, guru yang juga pembina OSIS SMA Negeri 2 Sipora.
Pembuatan kursi dari ekobrik tersebut, kata Amos, sudah berlangsung dua tahun melalui salah satu mata pelajaran yang diikui siswa dalam Kurikulum Merdeka, yaitu P5 (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila). Semua bahan pembuatan kurssi disediakan di sekolah, seperti triplek, busa, dan pembungkus kursi.
“Siswa hanya membawa sampah plastik dan botol air kemasan ukuran 1,5 liter saja, diutamakan sampah plastik yang ada di sekolah dan membuatnya juga di sekolah,” ujarnya.
Menurut Amos kegiatan kerajinan ekobrik yang telah membuat tiga set kursi ini mampu mengurangi jumlah sampah plastik di sekolah.
Selain membuat kursi, siswa juga mengolah sampah organik seperti kulit buah menghasilkan ekoenzim yang bisa dijadikan sabun pencuci piring.
“Minyak jelantah juga dimanfaatkan menjadi lilin aromaterapi, ini dari campuran minyak jelantah dan parafin dan dicampur dengan krayon bekas yang dihaluskan dan dicampur sebagai pewarna,” kata Porsian, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMAN 2 Sipora yang mengajarkan siswa membuat lilin aromaterapi.
Masih dalam semangat Go Green di sekolah, tiap siswa juga dilarang membawa minuman kemasan. Sekolah selalu menyediakan air minum galon dan siswa tinggal membawa tumbler dari rumah.
“Ini juga berdampak pada pengurangan sampah botol minuman sekali pakai,” kata Amos.
Pengelolaan Sampah di Mentawai Seperti ‘Zaman Purba’
Kabupaten Kepulauan Mentawai memiliki 10 kecamatan. Kecamatan-kecamatan itu terletak di empat pulau yang terpisah. Tuapeijat yang merupakan ibu kabupaten terletak di Pulau Sipora dan di pulau ini terdapat dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sipora Utara (tempat Tuapeijat berada) dan Kecamatan Sipora Selatan.

Kabupaten Kepulauan Mentawai berdiri pada 4 Oktober 1999. Meski hampir 26 tahun berdiri, kabupaten ini belum memiliki Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah, apalagi TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu).
Jangankan di tiga pulau lainnya (Siberut, Pagai Utara dan Pagai Selatan), di Pulau Sipora saja sebagai lokasi ibu kabupaten belum ada fasilitas ini.
Hingga kini sampah dari Tuapeijat hanya diangkut ke Desa Sido Makmur, sekitar 12 kilometer dari Pelabuhan Tuapeijat. Sampah-sampah itu ditumpuk di TPS (Tempat Pembuangan Sementara) yang berada di perladangan warga yang bersebelahan dengan hutan.
Status lokasi TPS ini pun masih menumpang di lahan perladangan milik warga yang berjarak 700 meter dari permukiman.
Di sana sebagian sampah itu dibakar, sedangkan sebagian lain, kebanyak sampah plasstik, dibuang begitu saja ke dalam jurang yag terletak di pinggir jalan yang berbatasan dengan hutan.
Kepala Bidang Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Kepulauan Mentawai Yanti Oktavia Hutapea mengakui layanan pengelolaan sampah di Kabupaten Kepulauan Mentawai masih sangat minim.
Ia menyebutkan pengelolaan sampah oleh pemerintah daerah saat ini hanya dilakukan di kota Tuapeijat yang melayani tiga desa, yatu Desa Tuapeijat, Desa Sipora Jaya, dan Desa Bukit Pamewa dengan jumlah penduduk 9.855 jiwa.
“Sarana dan prasarana juga sangat minim,” katanya.
Yanti menjelaskan, hanya ada enam becak motor (betor) yang mengambil sampah masyarakat dari titik tertentu ke kontainer. Itupun dua di antaranya rusak sehingga yang beroperasi hanya empat betor.

Kemudian satu unit truk akan menjemput sampah ke kontainer dan membawanya ke tempat penampungan sampah sementara di satu kawasan di Desa Sido Makmur, karena belum ada Tempat Pengolahan Sampah Terpadu.
“Jadi kita hanya memindahkan sampah saja tanpa melakukan pengolahan, dipindahkan dan dibuang ke tempat pembuangan sampah sementara, jadi mungkin masih seperti pengelolaan sampah zaman purba,” ujarnya kepada Uggla.id pada Jumat, 11 Juli 2025.
Ia sangat berharap segera ada TPST Tuapeijat. “Agar kami bisa melakukan pengelolaan sampah,” katanya.
Yanti memperkirakan sampah dari kota Tuapeijat yang dibawa setiap hari ke TPS sebanyak enam kontainer. Ia tidak bisa memperkirakan berapa ton sampah per hari.
“Berat sampahnya kan beda-beda, kami tidak ada alat penimbang sampah, jadi tidak bisa diperkirakan berapa ton sampah yang dihasilkan setiap hari di kota Tuapeijat,” ujarnya.
Bupati Berjanji Bangun TPST
Bupati Kepulauan Mentawai Rinto Wardana Samaloisa mengatakan tahun ini akan membangun Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) di Dusun Berkat, Desa Tuapeijat pada lahan seluas 5 hektare.
“Sudah dalam proses tender dan akan mulai dikerjakan, tetapi baru bisa difungsikan tahun depan,” kata Rinto yang ditemui di Tuapeijat pada Rabu, 16 Juli 2025.
Selain itu, katanya, juga akan dibangun tempat-tempat sampah di kota-kota pesisir pada keempat pulau di Kepulauan Mentawai.

“Tetapi anggaran masih terbatas,” ujarnya.
Selain di Tuapeijat, ia berencana membangun TPST di Kecamatan Sikakap di Pulau Pagai Utara. Di sana sudah ada lahan milik Pemkab Mentawai seluas 2 hektare untuk TPST.
“Sedangkan di Pulau Siberut belum ada lahan, kami harapkan ada lahan hibah, karena dalam kondisi efisiensi sepert sekarang tidak ada anggaran untuk membeli lahan,” kata Rinto.
Rinto Wardana juga menyayangkan kebiasaan masyarakat Mentawai yang masih membuang sampah ke laut. Hal ini sudah menjadi kebiasaan dari dulu karena rumah mereka berada di pinggir laut.
“Laut di sekitar permukiman sudah tercemar, karena rumah warga, karena pantai itu milik mereka, dapur mereka juga menghadap laut, air mandi, limbah dapur, juga dibuang ke laut, padahal lautnya sebagus itu,” ujarnya.
Untuk mengubah kebiasaan itu, kata Rinto, tidak bisa dalam waktu sekejap.
“Minimal untuk awal kita minta mereka untuk tidak membuang sampahnya ke laut,” katanya.
Bupati berencana dalam waktu dekat mulai mengkampanyekan pembersihan laut di kota Tuapeijat dari sampah.
“Saya mau ajak tim penyelam untuk menarik sampah yang ada di dalam laut dan itu diumumkan dulu ke masyarakat bahwa akan dilakukan penyelaman, pembersihan laut, supaya mereka melihat, kalian buang kami akan menyelam mengambil itu,” ujarnya.
Rinto berencana membentuk satgas khusus yang terdiri dari penyelam untuk mengambil sampah di laut di sekitar Tuapeijat, sekaligus sebagai kampanye kepada warga agar tidak membuang sampah mereka ke laut.
“Kita punya laut sebagus ini, harus dijaga,” katanya. (Febrianti/ Uggla.id)