Oleh: Lia Satoko
Kalung manik Mentawai yang disebut “inu” atau “ngalou” sangat penting dalam budaya Mentawai di Pulau Siberut.
Pada setiap punen atau pesta adat, para perempuan dan laki-laki akan menghiasi leher mereka dengan kalung manik dengan warna-warni yang menarik. Kalung-kalung itu dirangkai sendiri oleh kaum perempuan.
Tapi di desa kami di Saibi Samukop, Siberut Tengah, kalung manik itu sudah lama tidak dipakai. Dulu, ceritanya kenapa di kampung kami tidak memakai kalung manik-manik Mentawai, penyebabnya salah satu karena keyakinan dari agama yang melarang memakai atribut budaya Metawa. Orang yang boleh memakai hanya Sikerei (tabib).

Jadi, kalau kami memakainya pasti kami diejek dan akan disebut Sikerei. Bahkan saya sendiri sebagai pengrajin manik-manik disebut Sikerei. Namun itu tidak menjadi persoalan bagi saya. Seiring berjalannya waktu secara perlahan ejekan itu berkurang dan mereka mulai menyukainya.
Sedikit sejarah yang saya ketahui tentang kalung manik Mentawai, menurut informasi dari orang tua-tua, masuknya bahan baku manik-manik kaca di Siberut dibawa oleh orang Belanda pada masa penjajahan.
Pada saat itu, orang tua tidak sembarangan membuat perhiasan dari manik-manik itu. Sebelum mereka membuatnya, mereka akan mengadakan ritual atau pesta adat terlebih dahulu. Harus disembelih ayam atau babi sebagai persembahan sebagai bagian dari keyakinan yang dianut pada saat itu, yaitu Arat Sabulungan.
Setelah itu barulah dibuat perhiasan dari manik, seperti kalung atau “unuk luat” atau “sorot” untuk hiasan di kepala. Proses pembuatannya juga sangat sakral. Orang yang memakai kalung itu juga hanya tertentu, seperti sikerei dan istri sikerei.

Saat ini kalung manik dari bahan-bahan manik-manik yang indah dibawa orang Belanda dulu itu di Saibi tidak ada lagi yang tersisa atau yang menyimpannya. Sebab ketika sikerei atau istri sikerei yang memakainya dulu meninggal dunia, kalung-kalung itu dipakaikan kepada mereka saat dikubur.
Tapi bahan baku manik-manik sekarang hampir mirip dengan yang dipakai pada zaman Kolonial Belanda dulu yang diberikan orang-orang Belanda kepada orang Mentawai.
Saat ini juga sudah banyak orang di Mentawai yang mengenakan manik-manik ini sebagai bagian dari kebanggaan identitas sebagai orang Mentawai.
Apalagi memakai manik-manik sudah bisa tanpa ritual menyembelih ayam atau babi. Kecuali manik-manik yang dipakai Sikerei, itu sudah dimantra-mantrai dengan adat budaya Mentawai. Jika kita bukan Sikerei kita tidak boleh memakai manik-manik itu, karena bisa sakit.

Cara saya untuk menyadarkan generasi muda agar budaya kami Mentawai tidak punah adalah dengan merangkul anak-anak sekolah dari Dusun Kaleak dan Dusun Sibudda Oinan untuk membantu saya membuat kalung manik. Mereka adalah pelajar SD hingga SMA yang berjumlah 14 orang.
Bahan baku saya beli di Padang dan proses pembuatannya lumayan lama. Saya membuat motif kalungnya, kemudian anak-anak meniru motif yang saya buat.
Dalam pembuatan motif kalung manik tersebut tidak mudah, butuh ketenangan dan perasaan yang Bahagia. Kalau tidak, tidak akan tercipta motif yang bagus. Terkadang salah merangkai manik, kemudian saya buka kembali dan minta mereka ulang kembali. Tetapi saya selalu memastikan mereka tidak lelah.
Awal-awal saya membuat kerajinan kalung manik itu sangat rumit, karena tidak gampang membuatnya. Ketika saya membuat motif harus benar-benar fokus untuk mendapatkan motif kalung yang diinginkan, agar tercipta hasil karya manik-manik yang cantik.

Setelah selesai, saya mulai mencoba untuk menawarkan kepada beberapa kawan-kawan dan saudara yang ingin membeli dan Puji Tuhan ada yang membelinya.
Kerajinan kalung manik ini mulai saya tekuni setahu lalu, saat saya kembali menetap di kampung halaman saya di Saibi Sumukop, setelah menuntaskan kuliah di Padang. Dulu saya juga sudah mulaI belajar membuat kalung manik sejak 2015.
Membuat kalung manik bukan sekedar hanya ingin menjual, namun saya ingin kembali memulai membuka kesadaran masyarakat Saibi Samukop untuk mencintai budaya Mentawai. Salah satunya dengan memakai kalung sebagai salah satu identitas kami orang Mentawai. (Lia Satoko dengan nama Facebook “Lia Satoko Manai Saibi” tinggal di Desa Saibi Samukop, Siberut Tengah, Kepulauan Mentawai/ Editor: Febrianti)











