SEBATANG pohon durian yang amat besar berdiri menjulang di tengah kepungan hutan sagu. Kami berhenti di depannya, berdiri di belakan Pak Malaikat Sarokdok, yang membawa kami ke tengah hutan sagu di Dusun Rogdok, Siberut Selatan yang terletak di Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Pak Malaikat yang berdiri di depan batang durian itu lalu berbicara pelan seperti sedang menyapa. Tangannya menyibak daun-daun bunga yang tumbuh di sekeliling batang durian yang memiliki akar banir yang besar seperti dinding papan yang menapak dengan kokoh ke dalam tanah.
Saya terpana melihat gambar sepasang telapak kaki yang terukir di pohon durian itu. Guratnya begitu halus mengikuti alur garis telapak kaki manusia. Itulah kirekat.
Kirekat adalah tanda kenangan terhadap orang yang meninggal. Kirekat berupa ukiran cetakan telapak kaki dari orang yang telah meninggal di batang pohon durian di tengah hutan.
Kirekat dibuat dengan cara garis-garisnya digambar langsung dari telapak kaki atau telapak tangan orang yang baru meninggal ke pelepah batang sagu. Pelepah sagu itu diiris sesuai gambar dan menjadi cetakan untuk ditoreh di batang durian.

Pohon durian yang digunakan untuk mengukir kirekat harus dari pohon durian yang paling baik. Pohonnya besar, buahnya banyak, dan rasa buahnya enak. Pohon durian yang sudah jadi Kirekat tidak boleh ditebang dan tidak boleh dijadikan “alak toga” atau mas kawin untuk perempuan.
Di pohon durian yang menjadi kirekat yang ada di depan kami itu, selain ukiran telapak kaki, juga dibuat penanda untuk postur tubuh. Caranya dengan menandai pohon dengan lubang kecil untuk posisi lutut, pinggang, bahu, dan kepala.
Itu adalah kirekat kerabat Pak Malaikat yang meninggal dunia. Bila rindu, keluarganya akan datang ke tempat itu.
Wajah Pak Malaikat tampak sendu saat berbicara kembali ke arah pohon dengan suara lirih dalam bahasa Mentawai. Dalam perjalanan pulang saya tanyakan arti ucapannya.
“Saya katakan kepadanya, kami datang padamu bukan ingin mengganggu, tetapi karena rindu padamu,” katanya.
Ia bercerita, pohon durian itu adalah pohon durian kesayangannya, karena buahnya sangat lebat dan rasanya enak. Pohon itu warisan dari ayahnya.

Tetapi tanpa sepengetahuannya, belasan tahun lalu pohon durian itu dijadikan saudaranya sebagai alak toga atau mas kawin untuk pengantin wanita.
“Ketika tahu, saya sangat kecewa, kenapa pohon itu yang diserahkan, lama kemudian pohon itu saya tebus kembali dengan menawarkan penggantinya dengan satu kuali ,” ujarnya.
Kuali besi merupakan benda berharga yang juga dijadikan mas kawin di Mentawai.
“Saya datangi mereka mau menebus pohon durian itu, saya tawarkan kuali nomor 15. Mereka tidak mau, lalu saya tawarkan lagi kuali nomor 30, mereka masih tidak mau, lalu saya tawarkan kuali nomor 40, lama mereka diam, akhirnya setuju,” katanya.
Kuali nomor 40 adalah kuali besi yang paling besar dan paling mahal. Kuali nomor 40 ini bahkan juga bisa mengganti alak toga yang lain, seperti ladang sagu, babi, atau pohon durian.
Selain diukir di pohon di dalam hutan, kirekat juga bisa diletakkan di dalam uma (rumah). Ukiran tangan atau telapak kaki dari anggota keluarga yang meninggal itu juga diukir di pelepah sagu dan digantung di dinding uma. Ini saya temukan di beberapa uma atau rumah tradisional Mentawai di Siberut Selatan seperti di sebuah uma di Desa Matotonan.

Di Uma milik seorang sikerei bernama Aman Alangi Kunen, dua bilah papan dengan ukiran kirekat ditempel di dinding menjadi hiasan yang terlihat ganjil sekaligus sakral.
Kirekat itu berupa ukiran tangan dan telapak kaki ayah Aman Alangi Kunen yang meninggal pada 2006. Di bawahnya ada papan dengan kirekat gambar tangan dan telapak kaki ibu Aman Alangi Kunen yang meninggal pada 2022.
“Selain di uma, kirekat ini juga kami ukir pada batang durian milik kami yang paling bagus dan paling besar pohonnya di dalam hutan, dan pohon itu tidak boleh ditebang, kalau ditebang akan dikenai tulou atau denda yang paling besar,” kata Aman Alangi Kunen.
Besarnya denda untuk orang yang menebang pohon yang sudah dijadikan kirekat, menurut Aman Alangi, karena kirekat itu sangat berarti bagi keluarga yang ditinggalkan, sebagai kenang-kenangan untuk mengingat yang meninggal.
“Kalau pohon kirekat itu ditebang, berarti kerabat kami bisa dikatakan meninggal dua kali, karena itu tulou yang paling besar akan berlaku, karena telah menghilangkan tanda kenangan,” katanya. (Febrianti/ Unggla.id)











