Sikerei Mentawai yang Berdamai dengan Agama 

Mentawai

Aman Boroiogok di depan umanya di Desa Muntei, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

SEBUAH uma di tepi Desa Muntei, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai itu tampak menyatu dengan alam sekitarnya, bangunan kayu yang beratap daun sagu.

Di depannya terpasang plang “Welcome to Uma Aman Boroiogok”, menandakan pemiliknya sudah bergaul dengan turis asing yang datang ke Siberut melihat budaya Mentawai lebih dekat.

Uma itu milik Aman Boroiogok, seorang sikerei senior yang terkenal di wilayah Sarereiket, Siberut Selatan. Aman Boroiogok lebih dikenal sebagai ikon sikerei Mentawai yang fotonya sering terpampang dalam brosur wisata Mentawai hingga flyer yang mempromosikan Mentawai di bandara.

Aman Boroiogok sering tampil pada Festival Budaya Mentawai dan memimpin sikerei lain melakukan muturuk atau menari.

Sore itu, Aman Boroiogok tetap hangat menyambut kedatangan kami yang datang tiba-tiba di berandanya. Di dalam umanya seorang antropolog perempuan dari Jerman sedang belajar membuat subet. Subet adalah makanan khas Mentawai dari keladi dan pisang rebus yang dihancurkan dan dibulatkan dengan kelapa parut.

Kami duduk di berandanya. Seorang teman dari Tuapeijat, Frenky Andi yang sudah akrab dengan Aman Boroiogok langsung membuka percakapan yang dengan cepat berubah menjadi obrolan yang seru.

“Saya ini sikerei Siberut, kadang menjadi sikerei Bali, sikerei Jakarta,” kata Aman Boroiogok tertawa.

Ia menceritakan kesehariannya, ke ladang dan kadang menerima tamu asing yang ingin belajar budaya Mentawai seperti hari itu.

Dua Kategori Roh Orang Mentawai

Obrolan kami yang awalnya ringan mulai serius saat saya bertanya tentang agama dan Arat Sabulungan. Arat Sabulungan adalah agama lama Mentawai yang dilarang pemerintah pada 1954.

“Agama bagi saya sama dengan orang memberikan rokok kepada saya. Orang datang ke sini memberi rokok, lalu saya ambil,” kata Aman Boroiogok, seperti seorang filsuf.

Arat Sabulungan menurutnya sudah dibawa dari lahir, ajaran nenek moyang, tidak mungkin ditinggalkan.

Lampiran Gambar
Aman Boroiogok tampil pada Festival Pesona Mentawai 2018 di Desa Muntei, Siberut Selatan. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

“Tuhannya tetap sama, Tuhan Allah di Islam, Tuhan Yesus di Kristen, dan Ulau Manua di Arat Sabulungan,” ujarnya.

Baginya Arat Sabulungan tidak bisa dipisahkan dari orang Mentawai, tetap hidup dan dijalankan sehari-hari.

“Sabulungan itu adalah cara berterima kasih kepada alam yang telah menghidupi kami, berterima kasih kepada tanah, gunung, kepada nenek moyang yang telah menjaga kami sampai kami sehat-sehat saja. Yang terakhir berterima kasih kepada penjaga langit dan sang pencipta, itu Ulau Manua, agar kami sehat-sehat saja,” kata Aman Boroiogok.

Dalam kepercayaan masyarakat Mentawai, roh-roh dapat dikategorikan dua sifat, yaitu roh yang baik dan roh yang jahat. Roh yang baik dapat menolong manusia, misalnya menjaga ternak babi dan tanaman di ladang.

Sedangkan roh yang jahat bisa mencelakakan manusia dengan mengganggu jiwa atau roh manusia. Namun roh jahat akan mengganggu manusia karena dia merasa terganggu oleh perbuatan manusia. 

Ada roh yang mengatur alam semesta, roh hutan, roh laut, roh langit, ada roh nenek moyang dan roh pada diri masing-masing manusia. Di atas semua roh itu ada Ulau Manua yang diyakini sebagai penjaga alam semesta.

Untuk menjaga agar roh-roh tidak marah, mereka melakukan sesuatu dengan hati-hati dan selalu meminta izin kepada roh melalui punen atau pesta ritual.

Sikerei seperti Aman Boroiogok adalah orang yang memimpin upacara adat karena dialah yang akan menjadi penghubung dengan roh. Arat Sabulungan dipelihara turun-menurun melalui tradisi lisan.

Pelarangan Arat Sabulungan Era Soekarno

Arat Sabulungan pernah dilarang pemerintah Indonesia pada zaman Presiden Soekarno, yaitu pada 1954. Bagi orang Mentawai, itu masa yang paling pahit.

Semua berawal sejak Perdana Menteri Republik Indonesia Ali Sastroamidjojo mengeluarkan Surat Keputusan No. 167/PROMOSI/1954 tentang pembentukan Panitia Interdepartemental Peninjauan Kepercayaan-Kepercayaan di dalam Masyarakat (Panitia Interdep Pakem).

SK ini muncul bukan khusus untuk menangani Mentawai, tetapi seluruh aliran kepercayaan, baik tradisional maupun baru yang banyak terdapat di Indonesia. Tujuan utamanya pun untuk menertibkan adat perkawinan yang bermacam rupa yang dinilai banyak tidak sesuai dengan agama resmi Indonesia, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha.

Namun dampak dari pelaksanaan SK tersebut di Mentawai luar biasa. Pemerintah Sumatera Barat dan Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman yang membawahi empat kecamatan di Kepulauan Mentawai bekerja sama dengan penyebar Protestan di Mentawai.

Mereka membentuk kegiatan yang disebut “Rapat Tiga Agama” yang diselenggarakan di tiap-tiap ibu kecamatan (Muara Siberut, Muara Sikabaluan, Sioban, dan Sikakap).

Rapat tiga agama, yaitu Islam, Protestan dan wakil dari Arat Sabulungan sendiri. Namun keputusan yang dihasilkan bertujuan menghancurkan Arat Sabulungan, antara lain: Arat Sabulungan harus dihapuskan, bilamana perlu menggunakan kekerasan dengan bantuan tenaga polisi.

Kemudia, dalam tempo tiga bulan diberikan kebebasan kepada penduduk asli untuk memilih salah satu agama, Islam atau Kristen Protestan.

Jika berakhir masa tempo yang diberikan, ternyata mereka tidak juga melakukan pilihan, semua alat keagamaan Arat Sabulungan akan dibakar oleh polisi, bahkan diancam hukuman. Pada 1955 secara resmi penduduk Mentawai yang belum beragama terpaksa memasuki salah satu agama yang ada.

Lampiran Gambar
Aman Boroiogok saat bercerita di umanya di Desa Muntei, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

Arat Sabulungan kemudian dilarang dengan melibatkan polisi untuk menghentikan semua aktivitasnya. Di antara yang dihentikan adalah memanjangkan rambut bagi laki-laki, melakukan semua ritual yang melibatkan sikerei, menato tubuh, dan meruncing gigi.

Pemerintah pun melakukan program trasmigrasi lokal untuk menjauhkan orang Mentawai dari budaya lama. Akibatnya, Arat Sabulungan yang menjadi jantung kebudaya Mentawai pun menghilang.

Di empat pulau besar di Kepulauan Mentawai yang dihuni (Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan), hanya di Pulau Siberut Arat Sabulungan masih tersisa. Di tiga pulau lain sudah lenyap.

Arat Sabulungan bisa bertahan di sebagian Pulau Siberut, selain karena pusat kebudayaan Mentawai, juga karena susah dijangkau.

Pada awal 1980-an, pedalaman Siberut banyak dikunjungi turis asing yang ingin melihat kebudayaan Mentawai. Saat itu, kepolisian dan aparat kecamatan di Siberut masih melangsungkan pelarangan ritual budaya.

Aman Boroiogok Memprotes

Aman Boroiogok ketika itu tinggal di Sakaliau. Seorang pemandu wisata membawanya untuk menemui pejabat Pemda Provinsi Sumatera Barat untuk memprotes pelarangan ritual budaya Mentawai.

"Saya dibawa Toyon, guide pertama di Siberut ke Padang, karena orang sini (pemerintah kecamatan) marah-marah ke kami. Sikerei dilarang, budaya dilarang, kalau ada tato ditangkap, ada yang pakai tudak (kalung sikerei) ditangkap. Kami mau tanya yang di pusat, mau apa sebenarnya?“ kata Aman Boroiogok.

Ia dan beberapa sikerei lain dibawa bertemu dengan petinggi pemerintah Provinsi Sumatra Barat di Padang. Namun, Aman Boroiogok tidak dapat mengingat sosok yang ia temui.

“Saat bertemu dengan pemerintah, mereka tertawa dan mengatakan tidak pernah melarang budaya kami. Orang yang di sini (Siberut) saja yang melarang,” ujar Aman Boroi Ogok.

Jawaban itu membuatnya lega. Namun, para kerabatnya di Sakaliau menyambutnya dengan rasa heran karena mereka mengira dia dan sikerei lainnya sudah ditangkap atau dibunuh karena berani menentang pemerintah.

“Saat kami kembali ke Sakaliau, terkejut semua orang. 'Tidak ada mereka dibunuh mereka, tidak ada mereka dihukum',” kata Aman menirukan komentar kerabatnya.

Akhirnya, masyarakat kembali menjalankan tradisi budayanya. Mereka tidak lagi takut pada larangan petugas kecamatan dan polisi di Siberut.

“Saya katakan pada orang kecamatan, 'kalian ini hanya ranting dari sebuah pohon. Saya sudah temui pangkal pohon yang besarnya di Padang'. Dan tidak ada mereka melarang kami,” ujar Aman Boroiogok.

Aman Boroiogok Mencari Agama

Karena sering dibawa mengikuti pertunjukan wisata keluar Mentawai, Aman Boroiogok harus memiliki KTP. Masalahnya kolom agama di KTP wajib diisi, akhirnya Aman Boroiogok pun mencari agama yang cocok untuknya.

Lampiran Gambar
Aman Boroiogok di depan umanya di Desa Muntei, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

“Kalau tidak mengambil agama, nanti saya dikatakan sombong,” katanya.

Dia mulai mengamati agama-agama yang ada di Siberut saat itu. Bahai, Katolik, Protestan, dan Islam.

Dia mencoba mengikuti ritual Katolik. Ikut beribadah hari Minggu di gereja Katolik. Tetapi melihat gereja yang banyak, dia merasa heran.

“Di mana-mana ada Tuhan, di tiap gereja ada Tuhan. Kalau di Arat Sabulungan, kalau saya mengadakan pesta, yang saya datangi kerabat saya dan roh nenek moyangku. Kalau di sini, gereja banyak sekali. Ke gereja mana Tuhan datang setiap hari Minggu?” ujarnya.

Dia juga mengamati Protestan.

“Kalau di agama Protestan, sebelum makan berdoa. Saking lamanya berdoa, datang kucing, dilarikannya makanan yang ada di depan kita. Tapi, kita masih berdoa juga sambil tutup mata. Doanya habis, makanan sudah dibawa kucing. Kalau di Islam, sebelum makan cukup baca Bismillah,” katanya

Dia akan memilih Islam, tetapi batal.

“Di Islam itu harus potong ujung, sunat, enggak mau saya,” ujarnya tertawa.

Dia mengatakan, dulu di dekat kampungnya, Madobak, hidup seorang pendakwah. Pemuka agama itu memintanya masuk Islam dengan iming-iming akan banyak bantuan. Sebagai tanda jadi, Aman Boroiogok dihadiahi sarung.

Oleh sang pendakwah, beberapa orang yang akan masuk Islam diminta pergi ke Muara Siberut, ibu kota Kecamatan Siberut Selatan. Aman Boroiogok juga pergi ke tempat disebut. Dia naik sampan bersama beberapa orang tetangganya, termasuk tiga anak laki-lakinya.

Sampai di Muara Siberut, oleh seorang mantri ketiga anaknya disunat, lalu keluar satu per satu menggunakan sarung sambil berjalan tertatih-tatih. Mereka juga mendapat baju baru.

“Saya terkejut, dan saya katakan, 'diapakan anakku, nanti mati mereka',” ujar Aman mengenang. Mantri yang ditanya malah memintanya maju.

“Tidak apa-apa," kata Aman menirukan sang mantri, "Sekarang giliranmu, tidak akan sakit, nanti dibius juga seperti anak-anak itu".

Ia langsung menolak. “Ndak mau saya dipotong ujung, itu yang paling penting dalam hidup, itu pula yang dihilangkan. Pulanglah saya membawa anak-anak yang sudah disunat,” ujarnya terbahak-bahak.

Akhirnya, sang sikerei memilih Katolik. Tapi, dia tidak dipermandikan.

“Kata orang gereja dosa saya sudah banyak, tidak perlu dipermandikan,” katanya tertawa.

Namun, dia mengaku jarang ke gereja.

“Hari minggu saya lebih baik mengambil sagu, kalau tidak sedang mengambil sagu, tidak juga ke gereja, lebih baik saya istirahat,” ujarnya.

Belakangan ketiga anak lelakinya yang Islam juga beralih ke Katolik.

“Bagi saya agama apa saja tidak masalah, keluarga dekat saya ada yang Islam, Katolik, Protestan juga ada, agama itu sama,“ kata Aman Boroiogok.

Walaupun sudah punya agama baru, dia tetap menjalankan aturan Arat Sabulungan. Aman Boroiogok tidak ingin melepaskan ajaran leluhurnya.

“Saat ini semua budaya Mentawai dan Arat Sabulungan tidak dilarang lagi oleh polisi atau orang pemerintah. Saya sekarang banyak berteman dengan polisi. Kalau saya menari, mereka silahkan saya jalan ke pentas, bahkan juga minta berfoto-foto bersama,” ujarnya. (Febrianti/ Uggla.id)

Baca Juga

sampan bojakan
Tradisi Membuat Sampan di Bojakan, Siberut
kirekat
Kirekat di Pohon Durian
Mentawai
Kalung Manik Mentawai, Kerajinan Tangan Generasi Muda Saibi
Bojakan Taman Nasional
lroni Desa Bojakan Karena Berada di Kawasan Taman Nasional Siberut
Nelayan
Kehidupan Nelayan Pasie Nan Tigo: “Laut Sekarang Berbeda”
sipora
Menyelamatkan Pulau Sipora yang Kaya