Keistimewaan Kuali Nomor 30 di Siberut

siberut

Kuali alak toga (mas kawin) di dinding uma di Desa Matotonan, Siberut. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

KUALI besi yang berjejer rapi itu menjadi hiasan dinding yang terlihat ganjil di uma dan rumah-rumah keluarga Mentawai di Siberut. Di mana-mana tergantung kuali. Di ruang tamu, di tonggak rumah, hingga di dinding dapur. Ukurannya mulai diameter setengah meter hingga yang paling besar satu meter.

Kuali-kuali itu dilengkapi dengan periuk besi berwarna hitam dan periuk aluminium berwarna perak yang juga digantung berjejeran di dinding, namun jumlahnya tidak sebanyak kuali. Di sebuah uma tempat saya bermalam di Sangong, Dusun  Salappak, Siberut Selatan, ada 37 kuali dan 17 periuk yang tergantung di dindingnya.

“Apakah semua sudah dihitung, di gudang masih ada beberapa kuali lagi,” kata Bai Sabaogok.

Istri Aman Sabaogok, yang empunya rumah menyebutkan itu sembari tertawa bersama teman-temannya, para ibu-ibu muda. Mereka tertawa melihat saya sibuk menghitung kuali dan periuknya.

Lampiran Gambar
Bai Sabaogok (duduk) dengan deretan kuali berbagai ukuran tergantung di umanya. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

Mereka merasa heran melihat saya selalu tertarik menghitung jumlah kuali yang mereka punya di setiap rumah. Saya ikut tertawa, mendapati banyaknya alat memasak itu di rumah mereka.

Mereka lebih tercengang lagi saat saya katakan di rumah kami hanya ada dua kuali dan tidak punya periuk.

“Ti.... bagaimana kalau sedang punen atau untuk alak toga?“ kata mereka tak percaya.

Bagi mereka  di Siberut, dua peralatan rumah tangga ini ternyata tak sekadar tempat memasak, tapi jauh lebih penting, yaitu untuk mas kawin atau alak toga saat anak laki-laki mereka menikah.

Jauh hari Bai Sabaogok mulai menabung kuali untuk tiga anak lelakinya dan keponakan lelaki suaminya. Kuali ini juga semacam lambang status atau persitise , karena semakin banyak kuali yang tergantung dianggap semakin sukses, sebab sebuah kuali saja harganya sampai Rp600 hingga Rp1 juta.

Alak Toga ini mas kawin dari lelaki untuk perempuan dan akan menjadi milik calon mertua perempuan. Alak Toga biasanya tujuh macam, sebuah kuali nomor 15 atau 30 (penomoran ini dikenalkan pedagang, kuali ukuran sedang nomor 15 dan kuali besar nomor 30).

Lampiran Gambar
Deretan kuali sebagai mas kawin (alak toga) di salah satu uma di Pulau Siberut. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

Kemudian seekor babi, satu hektare ladang sagu, lima batang pohon durian, sebatang pohon kelapa, satu mata kampak, dan sekayu kelambu. Kadang-kadang bisa ditambah periuk.

Tetapi kuali nomor 30 tetap istimewa. Bila tidak punya ladang sagu, bisa diganti satu kuali nomor 30, babi, pohon durian, pohon kelapa juga bisa diganti dengan kuali nomor 30.

Bila alak toga tidak sesuai permintaan, pengantin perempuan yang sudah tinggal di rumah keluarga laki-laki akan ditarik kembali ke rumah orang tuannya dan perkawinan bisa batal.

“Alak toga ini akan berputar di situ saja, kami memberi alak toga untuk tiga anak lelaki, dan kami juga akan mendapatkan alak toga untuk tiga anak perempuan kami,” kata Bai Sabaogok.

Saat perkawinannya dulu, ia juga mendapat alak toga yang sama dari Aman Sabaogok suaminya, yang diberikan kepada orang tuanya. Di antaranya kuali nomor 15, pohon durian, dan ladang sagu. Itu juga untuk jaminan hidup bagi kaum perempuan. Jika berpisah atau bercerai dari suaminya, dia akan kembali ke rumah orang tuanya.

Bai Sabaogok mengatakan, pohon durian itu masih ada. Jika sedang musim durian orang tuanya juga mengajaknya bersama keluarganya menikmati buah durian dari alak toga itu.

Lampiran Gambar
Aman Alangi Kunen dengan latar gantungan kuali di dinding umanya di Matotonan, Siberut. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

Walaupun orang tua sepertinya diuntungkan memiliki banyak anak perempuan karena akan mendapat banyak alak toga, namun dalam budaya Mentawai yang mengganut sistem patriarki, anak lelaki tetap dianggap penting karena semua harta warisan akan jatuh ke tangannya.

Bila satu keluarga tidak punya anak lelaki, semua warisan keluarga, termasuk perolehan dari alak toga, akan jatuh kepada saudara laki-laki sang ayah.

Sedangkan periuk, kadang-kadang juga dijadikan alak toga, tetapi tidak sepenting kuali. Periuk lebih banyak berfungsi saat punen atau pesta adat. Hidangan utama saat punen adalah daging babi yang direbus dalam kuali dan periuk. Lalu daging dan kuahnya dimasukkan ke masing-masing periuk untuk tempat hidangan.

Kalau sehari-hari periuk-periuk itu digunakan untuk menyimpan air, tempat wadah air cuci piring dan tempat merendam biji-bijian bibit pohon yang akan ditanam. Periuk tidak digunakan untuk memasak sagu. Sebab memasak sagu lebih disukai dengan cara dibakar dalam tabung bambu atau sagu kapurut yang dibakar dalam jalinan daun sagu. (*)

Baca Juga

babi siberut
Babi-Babi yang Dimantra di Hutan Siberut
sampan bojakan
Tradisi Membuat Sampan di Bojakan, Siberut
Mentawai
Sikerei Mentawai yang Berdamai dengan Agama 
kirekat
Kirekat di Pohon Durian
Mentawai
Kalung Manik Mentawai, Kerajinan Tangan Generasi Muda Saibi
Bojakan Taman Nasional
lroni Desa Bojakan Karena Berada di Kawasan Taman Nasional Siberut