Babi-Babi yang Dimantra di Hutan Siberut

babi siberut

Babi-babi milik Teu Takbabalen sedang makan di halaman Umak Sainak. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

BABI punya arti penting bagi masyarakat Mentawai. Semua punen atau pesta adat dan denda menggunakan babi, seperti punen perkawinan, punen kelahiran, punen membuat sampan, dan punen pengangakatan sikerei.

Di Siberut, babi banyak dipelihara di pinggir hutan atau di hutan. Babi-babi itu dikandangkan pada malam hari dan dilepas pada pagi hari. Ada mantra-mantra khusus untuk menjaga babi agar tidak sakit atau hilang.

Dalam perjalanan dengan berjalan kaki dari Desa Bojakan ke Desa Simatalu di Siberut, kami melewati Sinindiu di Siberut Barat yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Siberut. Di sana kami singgah di sebuah Umak Sainak, yaitu rumah ladang untuk beternak babi. Kami menumpang beristirahat dan bermalam.

Umak Sainak itu milik Teu Takbabalen dan Sikalabai, istrinya. Mereka warga dari Dusun Lubaga, Desa Simatalu, Siberut Barat dan memelihara babi serta ayam di tengah hutan mereka di Sinindiu.

Lampiran Gambar
Teu Takbabalen memberikan makan ternaknya. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

Tinggi lantai Umak Sainak yang terbuat dari kayu itu sekitar 1,5 meter dari tanah. Ada beranda yang cukup luas, sebuah kamar, dan dapur.

Umak Sainak milik Teu Takbabalen mirip uma, rumah tradisional orang Mentawai. Di berandanya, di atas pintu masuk tergantung beberapa tengkorak kepala babi, juga beberapa tengkorak kepala monyet dan burung.

Di sekeliling pondok dipagari dengan kayu agar babi tidak lepas. Babi juga akan tidur di bawah kolong umak sainak.

Ayam punya kandang khusus yang lebih tinggi, tapi pada malam hari dimasukkan ke dalam keranjang. Di tempat itu terdapat anak sungai yang jernih. Juga ada sebuah pancuran untuk sumber air bersih. Di hilir anak sungai terdapat tempat pengolahan sagu milik Teu Takbabalen.

Teu Takbabalen menceritakan, Sinindiu yang berlokasi di hulu sungai Muara Sikabaluan itu dulunya tempat biasanya orang Simatalu bertemu pedagang yang membawa barang-barang dari Muara Sikabaluan.

Lampiran Gambar
Teu Takbabalen di beranda Umak Sainak miliknya. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

Mereka melakukan transaksi di tengah hutan karena saat itu belum ada perahu dengan mesin tempel yang bisa ke Simatalu melalui jalur laut karena ombaknya yang tinggi.

Kini pasar hutan di Sinindiu itu tidak ada lagi, karena perahu pedagang sudah bisa masuk ke Simatalu lewat laut. Tetapi di Sinindiu, tetap tempat perlintasan orang ke Simatalu lewat jalur darat, meski melalui setapak menembus hutan.

Teu Takbabalen sudah 14 tahun tinggal berdua dengan istrinya di rumah kandang babi di tengah hutan itu. Mereka menetap di hutan Simatalu yang masuk kawasan Taman Nasional Siberut itu setelah anak-anak mereka besar dan berkeluarga.

Dua minggu sekali Teu Takbabalen dan istrinya pulang ke Lubaga untuk bertemu dengan keluarga besar mereka. Sekaligus membeli persediaan seperti gula, kopi, dan rokok.

Lampiran Gambar
Teu Takbabalen di beranda Umak Sainak miliknya. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

Saat ini tidak semua orang di Siberut beternak babi dalam jumlah besar seperti Teu Takbabalen yang memiliki lebih 100 ekor. Karena itu untuk keperluan pesta seperti pesta perkawainan mereka akan membelinya kepada peternak seperti Teu Takbabalen.

Untuk keperluan pesta pekawinan di Mentawai membutuhkan babi belasan hingga tiga puluh ekor. Seekor babi untuk pesta harganya Rp1 juta hingga Rp3 juta.

Untuk makanan sehari-hari Teu Takbabalen dan istrinya banyak tersedia di hutan Sinindiu. Ada banyak pohon sagu, keladi, pisang, dan ikan sungai. Tentu juga ada ayam dan babi yang mereka pelihara. Jadi, malam itu saya cukup mengeluarkan gula dan kopi untuk tambahan makan malam kami.

Kami makan sagu yang dibakar dalam bambu dan sup ayam yang enak masakan sikalabai. Setelah mengobrol panjang mendengar kehidupan mereka, kami semua tidur di beranda.

Babi adalah hewan yang tak henti-hentinya makan. Suara mulut mereka yang makan di bawah kolong berisik sepanjang malam.

Saya yang tidur di atas Umak Sainak harus ektra hati-hati agar barang-barang tidak ada yang terjatuh melalui celah lantai kayu. Jika itu yang terjadi jangan harap benda itu akan bisa diselamatkan, karena babi akan memakannya.

Dulu di sebuah Umak Sainak lain di Pulau Siberut pernah sabun mandi saya jatuh dan langsung dimakan babi di bawahnya.

Lampiran Gambar
Teu Takbabalen dan istrinya di beranda Umak Sainaknya. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

Babi yang Tak Pernah Hilang

Esoknya, dalam keremangan pagi, Teu Takbabalen dan Sikalabai sudah bekerja di halaman. Teu Takbabalen mengangkat batang sagu yang direndam dalam sungai tak jauh dari rumah kandang babi mereka

Ia memanggulnya dari sungai dan membelah batang sagu itu menjadi belahan kecil. Batang sagu yang dibelah itu diberikan kepada babi yang ada di halaman berpagar kayu.

Lebih seratus babi yang kecil dan besar menyerbu batang sagu yang ditaruh Teu di atas tanah. Babi-babi itu berebutan memakan batang sagu yang berwarna putih. Mengendus, mengguik, dan saling seruduk.

Babi kecil terpaksa mengalah karena diseruduk babi yang lebih besar. Teu Takbabalen kembali membawa batang sagu yang baru agar semua babi mendapatkan makanan.  Ada babi yang warnanya hitam, ada yang berbulu hitam putih seperti sapi, dan ada yang putih. Beberapa telinganya ada yang mekar, karena saat kecil sengaja disayat sebagai penanda.

Lampiran Gambar
Saya dan istri Teu Takbabalen . (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

Sikalabai, istri Teu Takbabalen, memberi makan ayam yang masih bertengger di kandangnya yang tinggi. Ayam juga diberi batang sagu yang dibelah. Daging sagu yang berwarna putih itu langsung dipatuk semua ayam di kandang.

Arah belakang rumah kandang babi Teu Tubalen adalah hutan lebat dengan  pohon-pohon besar. Itu kadalah kawasan hutan Taman Nasional Siberut.

Ke arah belakang tidak ada pagar pembatas. Begitu selesai menyantap sagu, babi-babi itu akan masuk ke dalam hutan mencari makanan lain hingga sore hari.

“Mereka akan kembali lagi ke sini dan makan sagu. Pasti kembali semua, tidak ada yang hilang,” kata Teu Takbabalen.

Saya langsung bertanya kenapa babi-babi itu bisa kembali lagi. Apakah tidak melarikan diri ke hutan.

“Karena babi-babi itu sudah dimantrai,” katanya yakin.

Teu Takbabalen adalah seorang Sikerei dari Simatalu.

Menurutnya, babi yang diternak itu sudah diikat secara ritual agar tahu tempatnya dan kembali ke tempat itu. Babi sudah dijinakkan dari kecil dan mereka diberi tanda dengan potongan di daun telinga. Itu juga melalui ritual.

Lampiran Gambar
Sungai tak jauh dari Umak Sainak milik Teu Takbabalen yang berada di areal Taman Nasional Siberut. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

“Saat membuat kandang babi baru, ada punennya dan juga banyak pantangannya,” kata Teu Takbabalen.

Sebelum ia mulai memelihara babi, ia dan keluarganya dulu melakukan ritual kecil untuk mencegah babi dimakan oleh ular, dicuri oleh orang lain, dan dari penyakit yang dapat melenyapkan semua babi sekaligus.

Dalam ritual itu ada daun-daun tertentu yang dikumpulkan. Ada mantra yang diucapkan untuk melindungi babi dari ular atau wabah penyakit. Juga agar babi tidak dicuri atau dipanah orang ketika mereka berkeliaran di hutan.

“Ini semua dilakukan agar babinya jauh dari penyakit, bisa berkembang biak dan tidak hilang,” ujarnya. (Febrianti/ Uggla.id)

Baca Juga

siberut
Keistimewaan Kuali Nomor 30 di Siberut
sampan bojakan
Tradisi Membuat Sampan di Bojakan, Siberut
Mentawai
Sikerei Mentawai yang Berdamai dengan Agama 
kirekat
Kirekat di Pohon Durian
Mentawai
Kalung Manik Mentawai, Kerajinan Tangan Generasi Muda Saibi
Bojakan Taman Nasional
lroni Desa Bojakan Karena Berada di Kawasan Taman Nasional Siberut