Arat Sabulungan dan Gempuran Agama dalam Kenangan Sikerei

sikerei siberut

Sikerei bersama anak-anak di Desa Matotonan, Siberut, Mentawai. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

ENTAKAN kaki empat orang sikerei yang sedang muturuk (menari) terdengar keras di lantai papan di dalam uma. Mata mereka terpejam, tangan menari, dan mulut mengumandangkan urai.

Nyanyian urai itu terdengar magis memanggil roh para leluhur agar bergabung dalam pesta besar Puliaijat yang sedang berlangsung.

Seorang sikerei membawa piring seng berisi bunga-bunga dan daun untuk menarik roh leluhur agar mendekat. Ia terus bernyanyi seolah merasakan kehadiran roh dan menghiburnya agar tetap bertahan bersama mereka.

Lalu ritual pemanggilan roh selesai dalam satu entakan kaki terakhir yang keras.

Gendang gajeuma dipanaskan pada api tungku yang menyala di tengah uma untuk menegangkan kulit biawak supaya suaranya nyaring. Cahaya api tungku menyapu wajah yang hadir.

Cahaya itu juga menerpa tubuh delapan ekor babi yang tergantung terbalik di tiang-tiang uma. Babi-babi itu telah ditusuk lehernya dengan bambu runcing sore tadi.

Sikerei silih berganti menari, ada yang kesurupan hingga memanjat tiang uma. Ada juga kelompok sikerei yang membawakan tarian dengan bambu “gila” yang bisa bergerak liar saat mereka pegang.

Sikerei  terus menari dalam entakan kaki  dan gerakan tubuh yang meliuk mengikuti gendang gajeuma yang ditabuh denga irama cepat.

Lampiran Gambar
Sikerei menari saat pesta besar Puliaijat di Desa Matotonan, Siberut. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

Usai tarian memanggil roh, para sikerei lanjut dengan tarian hiburan untuk warga yang hadir. Gajeuma ditabuh dengan penuh semangat. Sikerei bergantian menari untuk tetap menjaga agar roh-roh leluhur tetap bersama mereka. Tapi hanya para sikerei yang bisa merasakannya.

Pesta besar Puliaijat berlangsung di Desa Matotonan selama tiga hari tiga malam untuk merayakan hari jadi desa itu pada 10 Agustus. Perayaan dilakukan setiap tahun sejak 2020.

Matotonan terletak di hulu Sungai Rereiket di Siberut Selatan, Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai.

Dalam tradisi orang Mentawai, puliaijat adalah pesta ritual yang diadakan suatu suku dalam satu kelompok uma. Pesta ini digelar untuk menghilangkan hal buruk ketika ada peristiwa yang dianggap luar biasa menimpa uma.

Namun kali ini berbeda, Puliaijat dilakukan khusus untuk ulang tahun desa. Sebanyak 12 suku besar di Matotonan terlibat dan 29 sikerei ikut melakukan ritual.

Beberapa ritual dilangsungkan selama Puliaijat dan semuanya adalah ritual dalam Arat Sabulungan, kepercayaan atau “agama lokal” di Mentawai yang masih dipegang teguh oleh orang-orang Mentawai di lembah Sarereiket, seperti di Matotonan.

“Semua yang dilakukan dalam ritual Puliaijat seperti paeruk sainak, lia gouk-gouk, dan pasibitbit, landasan semuanya adalah Arat Sabulungan. Tidak bisa kami tinggalkan, itu adat Mentawai,” kata Suarno Saurei, 70 tahun, seorang sikerei senior.

Di Matotonan sikerei masih memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Selain sebagai penyembuh, sikerei juga menjalankan ritual adat karena dialah yang akan menjadi penghubung dengan roh.

Semua yang dilakukan sikerei berdasarkan Arat Sabulungan, kepercayaan lama Mentawai yang percaya kepada roh-roh.

Lampiran Gambar
Babi untuk persembahan pada pesta besar Puliaijat di Desa Matotonan, Siberut. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

Pernah Dilarang Pemerintah

Suarno Saurei sudah mengalami pahit-getir menjadi sikerei. Seperti daerah lainnya di Kepulauan Mentawai, ritual sikerei yang menjadi bagian dari Arat Sabulungan pernah dilarang pemerintah dengan keras. Sikerei dan pemimpin suku atau sikebukat uma dihukum.

Suarno masih mengingat kejadian saat polisi datang ke desanya Matotonan dengan perahu lewat sungai Rereiket pada 1972. Polisi-polisi itu datang dengan senjata.

“Mereka menembakkan senapannya dari jauh, tentu kami takut semua, dan polisi itu semua orang Mentawai,” katanya.

Lalu polisi-polisi itu membakar peralatan sikerei dan peralatan ritual yang ada di dalam uma. Bahkan juga membakar jejeneng, lonceng sikerei.

“Mereka bakar kalung, mereka gunting rambut pria yang memiliki rambut panjang, rambut saya juga digunting, mereka bakar tempat persembahan bakkat katsaila, mereka bakar tengkorak hasil buruan, semua alat dan perlengkapan sikerei mereka injak-injak dan hanguskan,” kata Suarno.

Tak sampai di situ, Suarno dan puluhan warga Matotonan, baik laki-laki maupun perempuan dibawa ke Muara Siberut, ibu kecamatan Siberut Selatan. Mereka dihukum karena masih melakukan acara pesta adat dan mengobat warga yang sakit secara tradisional. Mereka juga dilarang menato tubuh dan memanjangkan rambut.

Ia dan sikerei lainnya beserta istri mereka ke Muara Siberut dengan mendayung sampan sendiri selama dua hari perjalanan. Bahan makanan untuk bekal selama ditahan juga mereka bawa sendiri, seperti pisang, keladi, dan sagu. Yang menyedihkan, selama sebulan ditahan mereka dihukum kerja paksa oleh bangsa sendiri.

“Setiap hari kami harus menebang pohon bakau untuk bangunan, sedangkan para perempuan dihukum bekerja membersihkan jalan,” kata Suarno.

Lampiran Gambar
Suarno Saurei. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

Pelarangan dan hukuman seperti itu membuat banyak sikerai tak lagi berani melakukan ritual secara terbuka. Bahkan tidak berani melanjutkan menato tubuh meski itu identitas seorang Mentawai.

Tetapi beberapa sikerei secara diam-diam masih melakukan ritual pengobatan, terutama di uma-uma yang jauh di hulu sungai dan sulit dikontrol polisi yang berkantor di Muara Siberut.

Sebenarnya waktu itu Suarno dan banyak warga di Matotonan sudah memeluk agama Bahai. Saat kecil ia ikut sekolah yang didirikan penyiar Bahai di Matotonan dan diajar membaca dan menulis.

Namun setelah Bahai dilarang, Suarno beralih memeluk Islam seperti warga lainnya.

“Walau sudah ada agama, tapi Arat Sabulungan tetap kami dulukan, agama yang datang harus mengikuti adat, kalau tidak roh-roh bisa marah kepada kita,” ujarnya.

Di Matotonan mayoritas masyarakatnya sekarang sudah memeluk Islam, tapi adat Mentawai yang berlandaskan Arat Sabulungan juga masih dipeluk dengan erat. Tak hanya ritual percaya kepada roh-roh, tetapi juga keharusan ada babi sebagai persembahan dan dihidangkan saat pesta.

Dalam pesta Puliaijat di Matotonan, selain menyediakan 20 ekor babi untuk ritual, pada hari ketiga panitia juga menyediakan seekor sapi untuk warga yang tidak mau memakan babi. Kehadiran sapi adalah bentuk pembaruan dalam tradisi Mentawai.

“Kalau tidak ada sainak (babi), itu tidak punen, jadi babi sangat penting dalam kehidupan kami di sini. Semua punya babi, apa-apa harus dibayar dengan babi, untuk punen, untuk alak toga (mas kawin), untuk pengobatan, itu semua dibayar dengan sainak,” kata Suarno.

Pendapat Suarno sama dengan pendapat sebagian besar sikerei yang sudah memeluk Islam di Matotonan.

“Saya masuk Islam dulu karena ustad membangun masjid yang besar di sini, kata ustad untuk apa masjid besar hanya ustad seorang, tidak ada yang menemani, akhirnya saya masuk Islam,” kata Aman Alangi Kunen, sekirei berusia 60 tahun.

Lampiran Gambar
Pesta besar Puliaijat di Desa Matotonan, Siberut. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

Meski begitu, menurutnya adat Mentawai harus tetap dijalankan dan agama harus mengikutinya.

“Kalau saya sebagai sikerei tidak mungkin untuk ritual tidak memakan sainak (babi), kalau anak saya, ya tergantung dia, dia sudah sekolah, kalau sudah dekat dengan agama, ya tidak apa-apa, kalau tidak mau makan babi lagi, atau kalau mau makan babi, juga tidak apa-apa, kalau dia tidak mau lagi sekolah akan saya suruh menjadi sikerei,” katanya.

“Ladang” Islamisasi

Antropolog Mentawai Juniator Tulius mengatakan Desa Matotonan, Saliguma, Sigappokna, dan Simalegi di Pulau Siberut pernah menjadi “ladang” Islamisasi pada 1980-an, 1990-an, dan 2000-an.

“Banyak anak-anak muda dibawa ke Padang untuk masuk ke pesantren dan panti asuhan,” kata doktor Universitas Leiden tersebut.

Generasi-generasi yang lahir pada 1980-an dan 1990-an, jelasnya, mengikuti jejak senior mereka untuk mendapatkan pendidikan dan fasilitas gratis. Dukungan dana dari Dakwah Islamiyah membuat Matotonan makin terdepan.

Dibangunnya Islamic Centre di Maileppet menjadikan proses itu semakin kuat sehingga masyarakat di daerah Rereiket pindah keyakinan kepada agama Islam.

Hal itu, katanya, bersamaan dengan melemahnya misi Katolik membantu masyarakat dan Gereja Protestan juga sekadar layanan keagamaan.

“Bantuan pangan dan sandang tidak menjadi prioritas untuk menggenggam jemaat gereja sehingga banyak orang Mentawai yang semula Protestan dan Katolik beralih ke Islam,” ujarnya.

Lampiran Gambar
Sikerei dan anak-anak di Desa Matotonan, Siberut. (Foto: Febrianti/ Uggla.id)

Contoh dari anak muda yang sudah menjadi sarjana karena bantuan dari Dakwah Islamiyah, katanya, membuat generasi baru memutuskan masuk Islam. Generasi muda yang sudah menjadi sarjana itu menjadi pengarah buat generasi baru.

“Orang-orang tua mereka mungkin juga ada yang memeluk Islam, tetapi sekadarnya,” katanya.

Kalau mereka kembali ke kampung, apalagi ke kandang babi untuk memelihara babi, mereka kembali memakan babi dan menjalankan ritual Mentawai.

Pada 1980-an dan 1990-an, kata Tulius, pernah ada istilah, “Islam Matotonan”, yang artinya berislam saat hari raya dan kembali memakan babi saat di kampung.

Menurut Tulius, dulu agama Islam diterima masyarakat, tetapi peranan orang tua mereka masih kuat sehingga adat masih bertahan. Namun dalam 20 tahun sampai 30 tahun terakhir cerita sudah lain.

“Generasi tua walaupun masih cukup dominan, generasi muda sedang naik daun dan mendominasi kehidupan sosial di Matotonan, mereka tidak tetarik menjalani kehidupan tradisional,” ujarnya.

Generasi muda tersebut, lanjut Tulius, cukup tertarik dengan kulit luar saja, seperti memakai pakaian adat yang dimodifikasi, memakai ngalou dan atribut kebudayaan lainnya sejauh tidak bertentangan dengan agama Islam.

Hanya saja, tambahnya, upacara perkawinan suatu saat nanti akan lebih Islami daripada pangurei, pernikahan Mentawai.

“Saat satu generasi tua berlalu, generasi baru membentuk corak kebudayaan baru, kita akan melihat kebudayaan Mentawai yang dimodifikasi, ritual-ritual akan berkurang, akan juga berkurang generasi muda yang menjadi sikerei, dan generasi muda juga tidak akan bertato,” katanya. (*)

Baca Juga

babi siberut
Babi-Babi yang Dimantra di Hutan Siberut
siberut
Keistimewaan Kuali Nomor 30 di Siberut
sampan bojakan
Tradisi Membuat Sampan di Bojakan, Siberut
Mentawai
Sikerei Mentawai yang Berdamai dengan Agama 
kirekat
Kirekat di Pohon Durian
Mentawai
Kalung Manik Mentawai, Kerajinan Tangan Generasi Muda Saibi