Saya bersama Kakek dan Nenek berangkat menuju hulu Sungai Beriulou di Sipora Selatan, Kepulauan Mentawai pada tengah hari, 17 Mei 2024. Kami berangkat dengan sampan dayung untuk memetik samung di ladang yang jauh di hulu. Pohon samung di ladang Kakek dan Nenek, yang saya panggil Gae sedang berbuah dan harus segera dipanen.
Kami bertiga mendayung sampan kayu itu. Saya duduk di depan, nenek saya Porman Samangilailai di tengah, dan kakek saya Hasael Samangilailai di belakang sebagai juru mudi yang bertugas mengendali laju sampan.
Dalam perjalanan, kedua Gae saya itu bercerita tentang ladang di samping kiri dan kanan sungai yang kami lalui. Dari asal-muasal ladang hingga siapa yang menggarap saat ini. Ladang di hulu sungai ada yang milik pribadi dan ada yang masih milik kaum.
Ladang kedua Gae saya yang akan kami tuju namanya “Bakba”. Di ladang itu ada pohon durian, manggis, samung, langsat, sagu, pisang, dan pinang. Menurut Kakek pohon buah-buahan seperti durian, manggis, samung, dan sagu sudah ditanam oleh orang tua di ladang itu.
Bagi masyarakat Sipora, ‘mone’ atau ladang buah itu sangat penting, sama dengan tabungan untuk anak dan cucu kelak agar tidak kelaparan. Kini kami bisa menikmati musim buah setiap tahun, kadang bisa dua kali setahun.
Akhirnya pada pukul 13.20 WIB kami sampai di ladang. Terlihat pohon samung kami sedang berbuah lebat. Pohon durian juga sedang berbuah, tapi buah terakhir karena musimnya sudah hampir berakhir. Kini buahnya tinggal hitungan jari. Tapi nenek menemukan sebuah durian runtuh yang cukup besar, sudah matang dan aromanya sangat menggoda. Sambil beristirahat di kerindangan pohon samung, kami menikmati buah durian itu sampai habis.
Setelah makan durian, saya mulai memanjat pohon samung dengan membawa orek atau keranyang rotan di bahu sebagai wadah buah samung. Tiba di atas dahan paling tinggi, kakek meminta saya untuk mencoba samung. Tanpa berpikir panjang saya langsung menikmati buah samung yang rasanya sungguh manis dan buahnya sudah rata menguning. Buahnya besar-besar. Saya menurunkan sekeranjang buah samung untuk dinikmati kakek dan nenek yang menunggu di bawah.
Saya melanjutkan panen samung, sementara kedua Gae saya membersihkan ladang. Dari atas pohon nampak mereka berdua secara perlahan membersihkan ladang dari semak belukar yang sudah meninggi.
Setelah selesai memetik samung, saya membantu kakek dan nenek memasukan buah-buahan itu ke dalam karung. Hasilnya cukup banyak, bisa memenuhi sebagian sampan kami.
Kami beristirathat sejenak sembari menikmati buah samung sambil bercerita. Kakek dan nenek saya memiliki 5 anak dan 11 cucu. Salah satu anak perempuannya adalah ibu saya. Saya sendiri adalah cucu pertama mereka. Saya sangat akrab dengan kedua Gae saya ini. Sering saya mendapat berbagai nasihat dari mereka. Salah satunya saat kami sedang menikmati samung di bawah pohon samung kali ini.
“Sangamberi nia siureman buat kaju ka monetta nene ibauliu nia repdemen mui, ibauliu nia tularat mai ka gogoi sibabara (semua jenis tanaman buah yang ada diladang ini menjadi kenangan tangan kami pada masa yang akan datang),” kata kakek kepada saya. Saya hanya terdiam dan mengangguk.
Kemudian nenek menambahkan, “Tak kuobak kai kuitco numalaje kam buat kaju, maigi kasita buat kajutta kalulut taan momoi kupasikeli kai nia bailiu tai pubuanangan (kami tidak mau melihat anak cucu kami kelaparan akan buah-buahan hanya karena usia yang membatasi gerak kami untuk merawat pohon buah ini),” ujarnya.
Kami terus bercerita di ladang sambil menikmati buah samung. Sore hari kami pulang dengan muatan lebih banyak, sebagian sampan penuh dengan samung. Saat mendayung sampan, tiba-tiba sebuah durian yang kuning dan besar terapung terbawa arus di samping sampan kami, dengan sigap saya ambil. Kami tertawa karena dalam sehari ini sudah dua kali dapat durian runtuh. (Sumario Tatubeket/Editor: Febrianti)