Melawan Gempuran Kapal Penjarah

Pagai

Nelayan di Dusun Mangka Baga, Desa Sinaka, Pulau Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai sedang menyelamatkan perahu mereka di dermaga agar tidak terseret ombak yang sedang bergejolak akibat badai pada sore, 11 Maret 2025. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

Nelayan Desa Sinaka di Kepulauan Mentawai berjuang melawan kapal-kapal penjarah dari luar yang menguras sumber daya perikanan di perairan mereka. Peraturan desa pun dibuat untuk memproteksi dan memulihkan sumber daya alam.

--

RUANG tamu rumah kayu Sarti Danus, pengepul gurita dan ikan, di Dusun Korit Buah pada malam itu, 13 Maret 2025, dipenuhi belasan nelayan. Mereka bertemu dengan Kepala Desa Sinaka Tarsan Samaloisa.

Kepala desa datang ke dusun pesisir di pulau Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat itu karena mendapat kabar nelayan di Korit Buah pernah menahan tiga kapal nelayan dari Sibolga, Provinsi Sumatera Utara pada akhir November 2024 dan mendendanya. 

Padahal, sesuai Peraturan Desa Sinaka Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Tata Kelola Wilayah Perikanan Tradisional Berkelanjutan, penjatuhan sanksi untuk  kapal luar yang masuk tanpa izin ke wilayah Desa Sinaka merupakan kewenangan kepala desa setelah meminta masukan dari pemuka adat.

Karena genset rusak, ruangan hanya diterangi beberapa cahaya senter yang redup. Tapi para nelayan itu tetap bersemangat mengikuti pertemuan. Dan rapat berjalan dalam suasana cukup panas.

“Kami memang menangkap tiga kapal luar dan mendendanya, Pak Desa, tapi itu kami lakukan karena mereka berkali-kali datang dan mencuri teripang di tempat kami menyelam mencari teripang,” ujar seorang nelayan dengan lantang.

Lampiran Gambar
Nelayan Dusun Korit Buah, Desa Sinaka, Pagai Selatan, Kepulauan Mentawai menghadiri pertemuan dengan Kepala Desa Sinaka di rumah Sarti Danus pada 13 Maret 2025 membicarakan peristiwa penangkapan kapal dari Sibolga yang mereka lakukan karena mengambil teripang di perairan mereka pada akhir 2024. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

“Kami yang harusnya merasa sakit, karena hanya teripang yang sekarang jadi andalan, gurita tahun ini sedang tidak musim,” tambah nelayan lainnya.

Tarsan Samaloisa menampung keluhan-keluhan nelayan itu. Uggla.id yang hadir di ruangan itu melihat kepala desa menghadapi dengan tenang dan lebih banyak mendengarkan alasan dan keluh-kesah para nelayan.

Menurut nelayan Korit Buah, pencurian ikan masih sering terjadi di perairan mereka. Selain dilakukan kapal pencari teripang dari Sibolga, juga oleh nelayan kapal bagan dari Padang. Padahal Sibolga berjarak 568 km di utara dan Padang 248 km di timur laut.

“Kapal bagan ini, saat badai mereka datang ke Pulau Tanopo, alasannya berlindung dari badai, tapi malam hari mereka menangkap ikan menggunakan potas, yang mereka ambil ikan tongkol. Ikan-ikan kecil yang mati dan terjaring mereka buang,” kata seorang nelayan.

Mereka juga menyampaikan ada nelayan dari desa tetangga juga yang kerap mencari ikan kakap merah, diduga menggunakan potas, karena itu hasil tangkapan mereka banyak.

Setelah mendengar informasi dan alasan dari nelayan yang hadir, kepala desa lalu menanggapi.

Lampiran Gambar
Kepala Desa Sinaka Tarsan Samaloisa (duduk di kursi, kiri) menjelaskan kepada nelayan Dusun Korit Buah tentang kewenangan penanganan kapal luar berdasarkan peraturan daerah (perda) dalam pertemuan pada 13 Maret 2025. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

“Menangkap kapal yang masuk tanpa izin dari luar, apalagi mengambil hasil laut kita itu sudah benar, sesuai dengan Perdes kita, tetapi yang memutuskan memberikan hukumannya berupa denda itu tetap kepala desa. Jadi, setelah kapalnya ditangkap, kepala dusun harus segera telepon dan laporkan ke saya,” ujarnya.

Tarsan mengingatkan bahwa tindakan nelayan mendenda sendiri tidak sesuai dengan prosedur hukum. Akibatnya, pihak yang didenda bisa melaporkan tindakan itu kepada aparat keamanan dengan tuduhan pemalakan.

“Dan mereka sudah melaporkannya ke polisi di Sikakap bahwa mereka telah dipalak nelayan Korit Buah. Polisi menghubungi saya, karena mereka tahu di desa kita sudah punya Perdes, mereka serahkan kepada saya untuk menyelesaikannya,” kata Tarsan.

Nelayan yang hadir terlihat tidak puas. Kepala Dusun Korit Buah Jusril Saogo menceritakan, pada akhir November 2024 itu beberapa nelayan di dusunnya akan menyelam mencari teripang di Pulau Simunggu.

Ternyata di tempat itu sudah ada tiga kapal dari Sibolga. Awak ketiga kapal itu juga akan menyelam mencari teripang dan lobster dengan menggunakan kompresor.

Lampiran Gambar
Kapal-kapal dari luar Mentawai (belakang) yang bersandar di Pelabuhan Sikakap, Pagai Utara Kepulauan Mentawai saat badai pada 17 Maret 2025. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

“Padahal sebelumnya nelayan Sibolga itu sudah pernah diperingatkan agar tidak menyelam di sana. Karena nelayan kita sudah kesal, ketiga kapal itu mereka datangi,” ujarnya.

Satu kapal, lanjut Jusril, diseret ke dermaga Korit Buah dan dua kapal lainnya ditahan di Pulau Puroukat.

“Kapal itu akan mereka denda Rp5 juta. ABK-nya dibawa ke Korit Buah, ‘tekong’-nya (bos kapal) yang ada di Sikakap ditelepon oleh nelayan yang menangkap dan ia berjanji mengirimkan uang denda, tapi bisanya Rp3 juta per kapal,” katanya.

Lalu kapal dan ABK itu dilepaskan. “Ternyata janji itu tidak ditepati, uang tidak dikirimkan, dan hanya dikirimi roti kaleng dan sirup, karena waktu itu menjelang Natal,” kata Jusril.

Kepala desa mengingatkan, jika ada kapal luar yang masuk diusir saja.

“Kalau sudah dua kali diberi peringatan masih datang juga, ambil kapalnya, suruh mereka keluar dari kapal, orangnya jangan disakiti, dan sekali-kali harus kita karamkan kapalnya agar jera,” ujar Tarsan yang disambut teriakan puas nelayan yang hadir.

Di pertemuan itu, Pirdelin Berisigep, 40 tahun, menyampaikan bahwa pendapatan nelayan pada tahun ini jauh berkurang karena sedang tidak musim gurita.

Lampiran Gambar
Pirdelin Berisigep, 40 tahun (berbaju kuning) menyampaikan dalam pertemuan dampak kedatangan kapal-kapal luar ikut menangkap ikan di perairan Dusun Korit Buah menyebabkan pendapatan nelayan pada tahun ini jauh berkurang. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

Tahun lalu, selama dua bulan musim gurita pendapatannya bisa Rp400 ribu hingga Rp900 ribu per hari. Namun saat ini dari gurita hanya Rp200 ribu hingga Rp400 ribu dalam seminggu. Karena itu, ia beralih mencari teripang dan ikan.

“Saya sedang menanggung biaya dua anak remaja perempuan saya yang sedang sekolah di Sikakap, sebulan bisa Rp2 juta untuk biaya kos, beli beras, beli makanan, beli bedak dan sampo mereka. Jadi pencuri ikan, teripang, dan lobster yang datang dari luar akan sangat mengganggu pendapatan saya,” katanya.

Nelayan Pengebom dari Luar

Meski sudah ada peraturan desa atau perdes yang melarang nelayan luar masuk ke wilayah perairan Desa Sinaka, namun kapal dari luar masih tetap datang. Selain peristiwa yang dilaporkan nelayan Dusun Korit Buah, nelayan dari dusun lain juga melaporkan sering melihat kapal-kapal dari luar datang dan beroperasi.

Sutrisno Madogaho, nelayan Dusun Sinaka (nama dusunnya sama dengan nama desa) di Pulau Simatapi menyampaikan, pada Februari 2025 tiga kapal pengebom ikan datang ke perairan Sinaka di kawasan gosong (pulau pasir) untuk mengebom ikan.

Lampiran Gambar
Sutrisno Madogaho, 34 tahun, nelayan di Dusun Sinaka, Desa Sinaka memperlihatkan pancing gurita di beranda rumahnya. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

Laki-laki 34 tahun itu mengatakan kapal pengebom ikan mudah dikenali. Kapal mereka seperti kapal nelayan umumnya. Terbuat dari kayu dengan panjang sekitar 10-15 meter, tidak memiliki jala atau jaring, memiliki fiber tempat ikan, ada biduk kecil di atasnya, dan dilengkapi kompresor.

“Saat itu kami sedang melaut siang hari di dekat Pulau Tanopo, ada tiga kapal yang kami lihat. Kami tidak berani mendekat karena nanti bisa kena bom. Mereka orangnya nekat. Biasanya kapal bom itu dari Bengkulu,” kata Sutrisno.

Setelah mengebom nelayan di kapal itu menyelam dengan kompresor. Mereka hanya mengambil ikan jumbo yang di Mentawai dikenal dengan nama ikan toppak.

“Entah mengapa hanya ikan jumbo itu yang mereka ambil, ikan lain yang kena bom dibiarkan saja, bahkan banyak ikan mati terapung, terumbu karang juga rusak,” ujarnya.

Ikan jumbo atau ikan toppak itu adalah ikan ekor kuning (Caesionidae), salah satu ikan yang diekspor Indonesia ke Singapura dan negara lainnya.

Menurut Sutrisno kapal pukat cincin dan kapal pukat harimau sudah jarang datang ke perairan Sinaka. Sedangkan kapal bagan masih sering dengan alasan berlindung dari badai.

Lampiran Gambar
Kapal khusus penangkap teripang dari Sibolga, Sumatera Utara sedang bersandar di Pelabuhan Sikakap, Pulau Pagai Utara, Kepulauan Mentawai pada 17 Maret 2025. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

“Kemarin ada dua kapal bagan di depan Pulau Tanopo, malamnya mereka mencari ikan, menghidupkan lampu dan banyak ikan yang datang ke bagan mereka mencari cahaya, sehingga ikan-ikan kecil di sini juga ikut ke sana,” katanya.

Di sini yang dimaksud Sutrisno adalah teluk di depan Dusun Sinaka yang di depannya berjarak 10 km terdapat Pulau Tanopo dan beberapa pulau kecil.

Seharusnya, lanjut Sutrisno, si Jago Koat sabagai penjaga laut yang diamanatkan di Perdes dilengkapi dengan fasilitas pendukung agar bisa melakukan patroli di laut dan bisa mengusir kapal luar yang masuk ke perairan Sinaka.

Sutrisno bercerita, dulu nelayan di Sinaka cukup sering menangkap kapal-kapal nelayan luar yang datang, termasuk kapal pukat harimau, kapal pukat cincin, dan kapal bagan.

“Pada 2008 kami pernah menangkap dan mendenda kapal pukat harimau Rp2,5 juta karena tidak saja ikan, terumbu karang juga ikut terangkat oleh aktivitas mereka. Kapal bagan juga pernah kami ambil mesinnya,” ujarnya.

Sutrisno pernah dijuluki “Bapak Gurita” pada Maret 2023 karena berhasil memecahkan rekor menangkap 54 kilogram gurita dalam sehari. Dari hasil tangkapan itu ia memperoleh Rp1,9 juta dari hasil penjualan gurita.

Lampiran Gambar
Anto Saogo, nelayan yang juga kepala Dusun Sinaka, Desa Sinaka, Pulau Pagai Selatan memperlihatkan gurita hasil tangkapannya, 15 Maret 2025. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

“Maret tahun ini saya hanya bisa menangkap satu ekor gurita seberat 1 kg 4 ons, itu yang kemudian bikin saya patah semangat mencari gurita,” ujarnya.

Akhirnya ia beralih mencari teripang. “Syukurnya teripang cukup banyak, sebulan saya bisa dapat Rp2,5 juta dari teripang,” kata Sutrisno kepada Uggla.id di depan rumahnya di Dusun Sinaka pada 14 Maret 2025.

Namun menangkap teripang kini sering terkendala cuaca yang tidak menentu dan semakin sulit diprediksi.

“Kadang cerah, kadang hujan dari pagi sampai malam menyebabkan air laut keruh sehingga sulit menyelam mencari teripang. Kadang hujan baru berhenti pada tengah malam ketika saya sudah tertidur, ” katanya.

Nelayan di Dusun Mangka Baga juga terganggu dengan kapal dari luar yang mencuri ikan di perairan mereka. Marius Saogo, 45 tahun, nelayan Mangka Baga mengatakan sekali sebulan ada kapal trawl yang datang menangkap ikan di Pulau Tanopo dan Pulau Saumang yang teretak di depan dusun mereka. Kapal itu diperkirakan berasal dari Sibolga dan Lampung.

“Kapal trawl itu jaringnya sampai ke dasar, itu pukat harimau, begitu mengangkat jaring semua ikut terangkat, ikan kecil, ikan besar, lobster, terumbu karang juga terangkat, penyu juga, kadang penyu yang terjaring dan mati mereka buang ke laut,” ujarnya.

Lampiran Gambar
Kepala Dusun Mangkabaga (Desa Sinaka) Natalinus memperlihatkan hasil ikan tangkapannya untuk dikonsumsi, 12 Maret 2025. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

Menurutnya kapal bagan dan kapal yang membawa bom ikan juga kerap datang.

“Kalau kapal bom itu cirinya seperti kapal hantu. Nomor kapalnya ditutupi, punya perahu di atasnya, tidak punya jaring, dan membawa kompresor untuk mengambil ikan yang terapung dan ikan yang masih di dalam laut. Ikan yang mereka ambil ikan jumbo, ikan ekor kuning, ikan-ikan lainnya mereka biarkan saja mati,” kata Marius.

Kapal bom ikan, kata Marius, biasanya dari Sibolga.

Kepala Dusun Mangka Baga Natalinus mengatakan nelayan di Mangka Baga tidak berani mengusir kapal yang datang karena tidak memiliki kekuatan. Dusun Mangka Baga, katanya, hanya berpenduduk 99 jiwa dan 40 orang di antaranya nelayan.

Dulu Dusun Mangka Baga bersatu dengan Dusun Mangka Hulu. Kini Dusun Mangka Hulu berpenduduk 257 jiwa, di antaranya 40 nelayan. Saat kedua dusun bersatu jumlah penduduk lebih banyak dan berani mengusir nelayan dari luar.

“Pada 2003 saat Dusun Mangka Baga dan Mangka Hulu masih satu dusun, nelayan di sini kompak menangkap kapal luar yang datang, kami kejar dengan boat, kami bawa panah, takut mereka, kapalnya kami tarik ke kampung, mesin kapalnya kami ambil, penerangnya kami angkat, kapalnya didenda Rp5 juta,” kata Marius.

“ABK-nya tidak kami sakiti, tapi mereka bikin surat perjanjian tidak akan datang lagi. Kalau dulu tidak terhitung kapal yang kami tangkap,” tambahnya.

Setelah peristiwa itu tidak ada lagi kapal dari luar yang datang. Namun beberapa tahun terakhir kapal-kapal dari luar berdatangan kembali mengambil ikan, teripang, dan lobster di depan perairan Mangka Baga.

Kepala Dusun Mangka Baga Natalinus mengatakan sudah mensosialisasikan Perdes pada kapal yang datang, terutama awak kapal pukat cincin dan kapal bagan.

“Kalau pukat cincin sudah jarang datang, kecuali saat ada badai mereka berlindung ke pulau kita, tetapi kapal bagan datang terus, saya jadi dongkol melihatnya,” ujar Natalinus.

Ia juga berharap Si Jago Koat sebagai pengawas laut Desa Sinaka ikut membantu menjaga perairan di Mangka Baga.

Berlalunya Teripang, Lobster, dan Gurita

Desa Sinaka yang terletak paling selatan dan di ujung pulau Pagai Selatan merupakan daerah penghasil gurita terbesar di Kepulauan Mentawai. Di sana populasi gurita tersebar di 20 pulau kecil dan 100 pulau pasir atau gosong. Selain gurita, ada teripang, lobster, ikan karang, dan ikan pelagis.

Lampiran Gambar
Perairan di depan Desa Sinaka, Pulau Pagai Selatan, 16 Maret 2025. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

Di perairan Sinaka terdapat 34 titik lokasi penangkapan perikanan dengan luas perairan 3.125 hektare. Desa ini memiliki 14 dusun dengan 11 di antaranya berada di wilayah pesisir, termasuk Dusun Korit Buah, Dusun Sinaka, Dusun Mangka Baga, dan Dusun Mangka Hulu. Lebih 300 nelayan di Desa Sinaka menggantungkan hidup dari laut dengan mencari gurita, teripang, lobster, dan ikan.

Kondisi geografis Sinaka telah lama menjadikan desa itu sebagai daerah penangkapan ikan yang penting di Kepulauan Mentawai. Dengan sumber daya laut yang melimpah itu pula perairan di Desa Sinaka sejak dulu menjadi target kapal nelayan dari luar. Kapal-kapal itu datang dari Padang dan Pesisir Selatan (Provinsi Sumatera Barat), Bengkulu (Provinsi Bengkulu), serta Sibolga (Provinsi Sumatera Utara).

Kapal-kapal luar yang datang sering mengunakan jaring, bom ikan, dan potas. Aktivitas mereka seringkali merusak lingkungan sehingga sumber daya laut di Sinaka berkurang. Eksploitasi hasil laut di Sinaka dimulai pada 1980-an dengan “demam” teripang. Teripang tidak hanya dicari nelayan Sinakak, tetapi juga oleh nelayan dari Madura, Padang, dan Sibolga.

Lampiran Gambar
Lobster tangkapan nelayan Desa Sinaka, Pulau Pagai Selatan. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

Eliakim Samaloisa , 65 tahun, mantan nelayan Sinaka masih ingat saat musim teripang pada 1980-an. Ia menceritakan setiap hari seorang nelayan bisa mencari teripang hingga ratusan kilogram. Eliakim bahkan bisa membangun rumah yang cukup besar dari hasil hanya menangkap teripang.

Karena terus ditangkap, dalam satu dekade teripang habis dari perairan Sinaka. Penggunaan kompresor yang bisa menjangkau teripang hingga kedalaman 40 meter menguras populasi hewan Invertebrate holothuroidea itu. Akibatnya, masa kejayaan teripang di Sinaka berakhir pada awal 1990-an.

Setelah teripang habis, lobster menjadi andalan berikutnya. Harga lobster yang tinggi membuat nelayan tergiur.

“Lobster juga ditangkap terlalu banyak, bahkan menggunakan potas. Lubang persembunyian lobster disemprot pakai potas sehingga semua lobster yang ada di dalamnya keluar dan ditangkap. Akhirnya lobster juga berkurang,” kata Eliakim kepada Uggla.id.

Setelah era lobster, muncullah gurita pada awal 2000. Gurita akhirnya menjadi sumber ekonomi utama warga Desa Sinaka. Awalnya gurita hanya untuk dimakan sehari-hari, namun sejak kedatangan penampung gurita, semua nelayan di Sinaka fokus menangkap gurita.

Lampiran Gambar
Jertianus Madogaho pengepul gurita di Dusun Sinaka, Desa Sinakak sedang mengolah teripang di pondok depan rumahnya.  (Foto: Febrianti/Uggla.id)

“Saat itu gurita masih banyak, dua hari saja kami menangkap gurita di sini penuh kapal itu, sekali bawa gurita tiga ton ke Padang,” kata Jertianus, nelayan dan pengepul gurita di Dusun Sinaka.

Pada 2007, penjualan gurita hasil tangkapan nelayan tradisional mencapai Rp4 miliar dengan rata-rata pendapatan setiap nelayan per hari Rp1 juta. Namun, dalam lima tahun terakhir hasil tangkapan gurita menurun drastis. Pada 2023 pendapatan dari gurita hanya tinggal Rp600,9 juta. Penangkapan yang terlalu eksploitatif dianggap sebagai satu-satunya penyebab.

“Gurita saat ini tidak terlihat lagi karena terus ditangkap, saya sudah katakan kepada nelayan anggota saya, gurita yang kecil jangan ditangkap, karena dalam waktu sebulan akan besar, tapi tetap saja mereka tangkap dengan alasan kalau tidak ditangkap teman lain yang akan mengambilnya,” ujar Jertianus.

Padahal Jertianus tidak mau membeli gurita dengan berat di bawah 5 ons agar nelayan tidak menangkapnya.

“Masih banyak hasil laut lain, kalau tidak ada gurita masih ada teripang dan ikan, jadi sekarang saya menampung teripang dan ikan karang,” ujarnya.

Lampiran Gambar
Perahu-perahu milik nelayan tertambat di dermaga Dusun Sinaka, Desa Sinaka, 15 Maret 2025. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

Sebuah Perdes untuk Memproteksi Perairan

Untuk melindungi kawasan daerah tangkapan nelayan di Sinaka, Pemerintah Desa Sinaka dibantu Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM), NGO lokal di Mentawai membuat peraturan desa tentang tata kelola wilayah perikanan tradisional berkelanjutan.

Kepala Desa Sinaka Tarsan Samaloisa mengatakan perdes yang disahkan pada 13 Februari 2023 itu mengatur lokasi wilayah perikanan tradisional Desa Sinaka yang hanya boleh digunakan nelayan tradisional Sinaka.

Wilayah perairan itu diukur dari pasang surut terendah pesisir daratan desa dan pulau terluar yang menjadi wilayah administratif desa hingga sejauh 2 mil ke arah laut lepas. Di wilayah ini nelayan dari luar tidak diperbolehkan menangkap ikan.

“Nelayan luar yang kedapatan mencari ikan tanpa izin di sana akan dikenai sanksi sesuai hukum adat yang akan diputuskan oleh kepala desa dan masukan para tokoh masyarakat desa,” ujar Tarsan.

Sanksi bisa berupa denda uang. Uang denda itu akan masuk ke kas desa dan digunakan untuk kepentingan desa.

Lampiran Gambar
Kepala Desa Sinaka Tarsan Samaloisa. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

Perdes juga mengatur pemakaian alat tangkap oleh nelayan Sinaka. Alat tangkap yang diperbolehkan adalah pancing, gancu, jaring, bubu, panah, dan alat lain yang penggunaannya dipastikan tidak akan mengakibatkan pencemaran dan kerusakan habitat, serta terancamnya populasi spesies penting.

“Sekaligus melarang alat tangkap yang berbahaya, yakni potas, sabun atau deterjen, bensin dan bom, serta jaring yang tidak ramah lingkungan,” ujar Tarsan.

Dalam Perdes itu juga diatur penutupan sementara atau jeda tangkap di 34  titik lokasi daerah tangkapan nelayan Sinaka.

Penutupan sementara bertujuan memberi tenggat waktu biota laut untuk berkembang biak. Cara ini untuk menjamin sumber daya perikanan seperti lobster, ikan, dan gurita tidak habis karena diberi tenggat waktu untuk tumbuh.

“Saat masa penutupan setiap orang tidak diperbolehkan melakukan pengelolaan sumber daya pada titik lokasi yang ditutup. Setelah lokasi dibuka nelayan boleh kembali menangkap ikan, gurita atau teripang di tempat itu,” katanya.

Penutupan pertama dilakukan di Pulau Beriulou pada 17 Juni hingga 26 Agustus 2023. Penutupan kedua di Pulau Pacahbalah pada 5 Maret hingga 28 Juni 2024. Tahun ini, penutupan ketiga dilakukan di perairan sekitar Pulau Saumang pada 15 Januari hingga berakhir pada 30 April 2025.

Lampiran Gambar
Bendera penanda jeda tangkap di perairan Desa Sinaka. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

Di setiap pulau yang sedang ditutup ditandai dengan tertancapnya bendera yang bertuliskan “Ditutup Sementara: Dilarang Melakukan Penangkapan Biota di Wilayah Ini”.

Untuk melakukan pengawasan pengelolaan sumber daya perikanan di Desa Sinaka, termasuk mengawasi kapal pencuri ikan dari luar, Pemerintah Desa Sinaka membentuk satuan tugas penjaga laut bernama “Sijago Koat” pada Juli 2023. Sijago Koat berjumlah 11 orang, terdiri dari nelayan, tokoh masyarakat, dan tokoh pemuda.

Tugas Sijago Koat adalah melakukan patroli di kawasan wilayah perikanan Sinaka. Ketua Sijago Koat Nursan Samaloisa mengatakan sejak Sijago Koat terbentuk mereka belum pernah menangkap kapal nelayan dari luar yang mencari ikan di Sinaka.

“Kami baru tahap sosialisasi, ada kapal yang datang seperti kapal bagan dan kapal pukat cincin ke perairan Sinaka, kami datangi dengan boat, kami katakan tidak boleh lagi menangkap ikan di Sinaka karena sudah ada aturannya,” katanya.

Selain melarang kapal dari luar, Si Jago Koat juga pernah melarang kapal yang membawa turis asing yang hendak melakukan surfing di kawasan Pulau Saumang. Kejadiannya pada Maret 2023 ketika pulau itu sedang ditutup sementara.

“Semua aktivitas di perairan sekitar Pulau Saumang selama penutupan harus dihentikan, termasuk surfing. Mereka kami minta tidak bermain surfing di perairan Sinaka tanpa izin dari kepala desa,” ujar Nursan.

Lampiran Gambar
Nelayan di Dusun Boriai, Desa Sinaka hendak melaut pada sore hari, 12 Maret 2025. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

Menurut Nursan, kendala utama Sijago Koat dalam menjalankan tugas adalah tidak memiliki kapal sendiri dan belum memiliki posko. Akibatnya ketika akan melakukan patroli mereka  harus menyewa boat. Mereka juga memerlukan bahan bakar minyak (BBM) untuk operasional.

“Boat kami belum ada, itu yang jadi kendala, padahal Sijago Koat juga harus berpatroli di kawasan pulau yang sedang dilakukan jeda tangkap di perairan agar tidak ada yang masuk dan menangkap biota laut,” katanya.

Keputusan jeda tangkap, kata Nursan, merupakan keputusan bersama yang diambil semua nelayan.

“Jadi harus ditaati, ini juga demi kepentingan nelayan agar ikan, gurita, lobster, dan kepiting punya waktu untuk berkembang biak. Begitu juga terumbu karang  yang sudah hancur kena bom ikan atau potas agar bisa pulih kembali,” ujarnya.

Jertianus Madogaho, 49 tahun, nelayan dan pengepul gurita di Dusun Sinaka mengatakan dampak jeda tangkap dengan penutupan tiga pulau tempat nelayan biasa mencari gurita secara bergantian masing-masing selama tiga bulan, belum begitu terlihat terhadap populasi gurita.

“Pada gurita memang belum terlihat, karena gurita sudah lama terus ditangkap, apalagi pulau yang ditutup juga satu-satu, jadi belum terasa dampaknya pada gurita. Saat ini guritanya masih kecil-kecil, kalau mau bersabar tidak ditangkap dulu dalam waktu beberapa bulan, saya yakin gurita akan muncul kembali,” katanya.

Lampiran Gambar
Sarti Danus, pengepul gurita dari Dusun Korit Buah, memperlihatkan gurita yang baru dijual nelayan kepadanya, 14 Maret 2025. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

Namun dampak dari jeda tangkap, menurut Jertianus, ikan karang terlihat lebih banyak. Begitu juga lobster dan  teripang yang mulai kembali banyak muncul di beberapa pulau di perairan Sinaka. 

“Saya katakan pada nelayan anggota saya, masih banyak hasil laut lain, kalau tidak ada gurita masih ada teripang, ikan, dan lobster, itu saya tampung juga. Saat ini saya tidak mau menampung gurita karena khawatir mereka akan terus menangkap gurita yang kecil-kecil,” kata Jertianus.

Suharjono Samaloisa, nelayan Dusun Boriai mengatakan jeda tangkap sangat perlu untuk mengembalikan perairan di Sinakak seperti dulu yang sangat kaya dengan gurita, teripang, ikan, kepiting, dan lobster.

Suharjono menceritakan pengalamannya pada 2005. Ia pernah selama tiga tahun menjadi anak buah kapal atau ABK pada salah satu kapal Sibolga yang menangkap teripang di laut dengan menggunakan kompresor untuk bantuan pernapasan saat menyelam. 

Di kapal itu teripang yang ditangkap langsung diolah di atas kapal. Mereka berada di tengah laut dan pulau-pulau kecil selama tiga bulan dari Kepulauan Batu hingga Pulau Mego di Samudera Hindia. Dalam tiga bulan pendapatannya hanya Rp1,5 juta, sehingga rata-rata sebulan hanya Rp500 ribu.

Lampiran Gambar
Suharjono Samaloisa, nelayan Dusun Boriai, saat berada di Dusun Sinaka, Desa Sinaka, 15 Maret 2025. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

“Banyak kejadian-kejadian yang telah saya saksikan selama bekerja di kapal itu, bagaimana keras dan kejamnya kehidupan di lautan, sehingga akhirnya saya memilih kembali menjadi nelayan ke Sinaka,” kata Suwarjono di Boriai, 11 Maret 2025.

Ia mengisahkan, dalam satu perjalanan di laut ia menyaksikan mayat yang terapung tanpa kepala. Di lain waktu, ia juga melihat seorang laki-laki dikubur sepinggang dalam posisi tegak di pantai dan kemungkinan sudah meninggal.

“Itu semua ABK, mungkin dia sakit atau kena air kram saat menggunakan kompresor sehingga lumpuh, oleh ABK lain dibuang saja di laut atau ditinggal di pulau,” ujarnya.

Kejahatan di atas kapal sesama ABK yang berasal dari berbagai daerah, menurut Suwarjono juga kerap terjadi.

“Kalau ada ABK yang mendapat teripang lebih banyak, saat dia menyelam menggunakan kompresor, selang kompresornya di atas kapal sengaja dipatahkan ABK lain agar dia tidak bisa bernapas di dalam air. Kalau dia mati teripangnya akan diambil, ini sering saya dengar ceritanya dari teman lain,” katanya.

Ia memilih pulang ke Sinaka pada 2008 dan kembali menangkap gurita dan menyelam mencari teripang.

“Lebih baik mencari gurita dan teripang di kampung sendiri, dekat dengan teman dan keluarga,” ujarnya.

Lampiran Gambar
Peta Wilayah Tangkap di Desa Sinaka, Kecamatan Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai yang dibuat Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) pada 2023. (Dok. Uggla.id)

Kembali kepada dampak jeda tangkap. Menurut Kepala Desa Sinaka Tarsan Samaloisa jeda tangkap yang telah dilakukan di tiga pulau itu dalam dua tahun terakhir sudah membuat kemajuan, terutama melindungi terumbu karang.

“Memang tidak mudah melihat dampak dari jeda tangkap pada peningkatan biota laut, tetapi dari laporan nelayan jumlah ikan kini terlihat semakin banyak, begitu juga kondisi terumbu karang di sekitar pulau yang ditutup semakin membaik,” katanya.

Agar hasilnya lebih maksimal, rencananya jeda tangkap akan terus dilakukan. Bahkan dengan memperpanjang waktu dari tiga bulan menjadi enam bulan.

“Pada 31 April 2025 kami akan menutup Pulau Berikopet dan Pulau Berikuret yang bersebelahan selama enam bulan agar hasilnya nanti kelihatan, seperti gurita yang bisa berkembang lagi di sana,” ujarnya.

Tarsan berharap ke depan 11 nelayan dan tokoh masyarakat yang diangkat menjadi “Sijago Koat” yang bertugas menjaga perairan bisa lebih aktif memantau.

Lampiran Gambar
Lokasi Desa Sinaka dan Desa Beriulou di Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat. (Uggla.id)

“Boat untuk mereka sudah ada, tinggal mesin perahu 15 PK yang akan segera dilengkapi. Pos Sijago Koat juga akan dibuat di Dusun Boriai yang memudahkan pemantauan perairan Sinaka,” katanya.

Ditiru Desa di Pulau Lain

Apa yang dilakukan di Desa Sinaka di Pulau Pagai Selatan, akan ditiru Desa Beriulou di Pulau Sipora yang juga terletak di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Desa nelayan itu juga bersiap membuat peraturan yang sama untuk mengelola wilayah tangkap tradisional mereka.

Nelayan di Desa Beriulou juga menghadapi persoalan yang sama dengan nelayan di Desa Sinaka. Sumber daya alam di Pulau Ruamata yang terletak di depan desa mereka selalu dijarah nelayan dari luar.

Puncak konflik nelayan Beriulou dengan nelayan luar terjadi pada 10 November 2023. Mereka menangkap sembilan kapal tundo dari Padang yang menangkap ikan di sana dan menggiring kapal-kapal itu ke pantai desa.

Para nelayan luar yang ada di kapal tundo dibawa ke Kantor Desa Beriulou. Kepala desa meminta mereka menandatangani surat perjanjian untuk tidak datang lagi menangkap ikan di depan Pulau Ruamata dan di depan pantai Desa Beriulou.

Lampiran Gambar
Kepala Desa Beriulou Gedalius Saogo, Februari 2025. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

Pada 24 Februari 2025, Pemerintah Desa Beriulou merancang peraturan desa tentang tata kelola perikanan tradisional seperti yang ada di Desa Sinakak. Persiapan pembuatan perdes ini juga didampingi Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM).

Kepala Desa Beriulou Gedalius Saogo mengatakan sejak dulu marak kapal nelayan luar datang menangkap ikan. Mereka menggunakan potas dan bom ikan.

“Dulu saat terdengar suara bom dari laut, kami kejar kapal mereka besama-sama, karena di depan mata kita mereka mengebom, suaranya terdengar seperti ada yang meledak. Kami kejar kapalnya, kami bawa ABK-nya ke kantor kepala desa, bahkan ada dua kapal yang masih tertahan di pulau dan rusak,” ujarnya kepada Uggla.id di Kantor Desa Beriulou pada 24 Februari 2025.

Masyarakat desa, kata Gedalius, hanya mengusir nelayan luar yang mencari ikan di sekiar Pulau Ruamata karena lokasi itu menjadi tempat masyarakat mencari ikan sehari-hari.

“Nelayan di sini bahkan banyak yang menggunakan perahu dayung, tidak banyak yang punya mesin perahu, mereka mencari ikan untuk dimakan dan dijual, kasihan kalau tempat mereka mencari penghidupan di laut juga diambil nelayan dari luar,” katanya.

Lampiran Gambar
Nelayan Desa Beriulou di Pulau Ruamata di Sipora Selatan, Kepulauan Mentawai memperlihatkan ikan kerapu merah hasil pancingannya, 26 Februari 2025. (Foto: Febrianti/Uggla.id)

Gedalius berharap dengan adanya perdes pemerintah desa dan nelayan Beriulou punya kekuatan hukum untuk melindungi wilayah perairan di Desa Beriulou.

Manager Program Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan YCM Mentawai Yuafriza mengatakan yang akan dibantu lembaganya di Desa Beriulou adalah memfasilitasi  pemerintahan desa membuat perdes pengelolaan perikanan berbasis masyarakat.

Menurutnya masalah yang dihadapi Desa Beriulou hampir sama dengan desa di wilayah pesisir lainnya di Mentawai.

“Laut dan kawasan pesisirnya menghadapi tekanan karena pemanfaatan perikanan, penurunan hasil tangkap nelayan, dan mulai rusaknya habitat perikanan.

Padahal laut tidak saja menjadi sumber ekonomi masyarakat, juga jadi sumber pangan local masyarakat, kalau ini tidak dikelola secara berkelanjutan, sumber ekonomi dan pangan masyarakat akan terancam,” katanya. (Febrianti/Uggla.id)

*) Liputan ini didukung oleh Environmental Justice Foundation (EJF).

Baca Juga

KKI Warsi
KKI Warsi Telah Salurkan Dana Hibah Rp2,3 Miliar untuk Komunitas Perhutanan Sosial
Nelayan Todak
Kisah Para Nelayan Mentawai Korban Ikan Todak
Mentawai
Melihat Satwa Endemik Mentawai di Pulau Siberut
Mentawai
Komunitas ‘Sinuruk Mattaoi’, Cara Anak Muda Mengangkat Budaya dan Produk Mentawai
Sekolah Adat
Siswa dari 5 Sekolah Adat di Siberut Tampilkan Seni Budaya Mentawai
primata
Pemuda Adat Mentawai Berusaha Selamatkan 6 Primata Endemik