Primata Endemik Mentawai di Ujung Senapan dan Tergerusnya Habitat

Mentawai

Hutan Taman Nasional Siberut di Bekemen, Siberut Utara, habitat primata endemik Mentawai. (Foto: Jaka HB/ Roehanaproject.com)

Oleh: Febrianti & Jaka Hendra Baittri

MENTAWAI pada Agustus tahun ini mulai peralihan musim dari kemarau ke hujan. Beruntung saat saya mengikuti peneliti primata Universitas Andalas, Dr Rizaldi, ke pinggiran hutan di Sipora, kaki kami tidak menemukan genangan air dan daun-daun yang basah. Kami melangkah sembari berdiskusi sesekali.

Seekor ular king kobra melintas cepat, masuk ke semak begitu mengetahui kami lewat. Di dekat sungai terlihat seekor biawak. Beberapa burung melintas. Seekor rangkong dan seekor elang terlihat di pohon. Sedangkan burung srigunting kelabu terbang melintas.

Ahli primata di Departemen Biologi itu sesekali menghentikan langkahnya dan meneropong ke pepohonan yang tinggi mencari sesuatu. Dia membawa lima orang mahasiswanya mengamati primata di hutan Berkat pada pagi hari. Selain itu juga ada Mateus Sakaliau, pemandu khusus primata Mentawai yang menemani kami.

Kami melewati jalan tanah merah berlumpur dan tergenang air. Jalan bekas loading kayu di tengah hutan menuju pantai Pukarayat ini masih diperkeras dengan batu dan jembatan dari balok-balok pohon.

Dr Rizaldi membawa lima mahasiswanya pada pagi hari mengamati primata di hutan itu. Mereka dipandu Mateus Sakaliau, yang biasa memandu turis melihat primata Mentawai.

Kami melewati jalan tanah merah yang telah diperkeras kerikil. Jalan itu bekas dilewati truk dan alat berat yang menebang dan membawa kayu gelondongan dari hutan di tengah pulau menuju lokasi logpond di Pantai Pukarayat di pantai barat Sipora.

Pada beberapa bagian jalan terlihat dikeraskan dengan batu dan susunan balok-balok kayu. Tapi tak ada jejak truk dan alat berat di jalan itu, karena sudah tidak digunakan sejak dua tahun  lalu, setelah operasional penebangan berhenti.

Pada beberapa tempat bekas tebangan sudah berubah menjadi kebun pisang dan ladang masyarakat. Sebagian besar masih hutan dengan sisa pohon yang tidak ditebang.

Lampiran Gambar
Bilou (Hylobates klossii) di Pulau Siberut. (Foto: Arif Setiawan/ SwaraOwa)

Dr Rizaldi terus mengamati hutan di sekitarnya, mencoba mendengar suara primata. Sesekali ia mengambil foto burung yang melintas di udara dengan kameranya. Setelah kami berjalan sejauh 5 km dari dusun terdekat masuk ke Hutan Berkat, kami tak juga melihat dan mendengar suara seekor pun primata mentawai.

“Hutan sudah menjadi sangat sunyi, tidak satupun suara primata yang terdengar, apalagi suara Bilou,” kata Rizaldi.

Mateus Sakaliau menduga semua primata yang ada di hutan itu sejak setahun lalu sudah pindah jauh ke arah selatan hutan yang terlindung oleh tebing batu. Ia mengatakan sudah pernah ke lokasi itu dan menyaksikan sejumlah primata di sana.

“Di sana penebangan hutan akan sulit dilakukan karena ada tebing batu, saya pernah melihat primata di sana dari atas bukit, mereka tinggal di hutan di dekat tebing, semoga primata itu bisa selamat di sana,” katanya sambil sesekali melihat kanopi hutan, mencoba keberuntungan mendapat monyet yang lewat.

Hutan Berkat yang sebelumnya habitat penting primata endemik Mentawai di Pulau Sipora ditebang secara masif pada pertengahan 2022 hingga akhir 2023.

Menurut Mateus di Pulau Sipora keempat primata endemik itu semakin sulit dijumpai, kecuali jika masuk lebih jauh ke dalam hutan dan menunggunya beberapa hari.

“Kalau dulu mereka masih sering turun dari hutan ke pantai, terutama Siteut, Atapaipai, dan Simakobu, sedangkan bilou tidak mau turun ke tanah. Tapi sekarang sudah jarang sekali terlihat, ini sangat mengkhawatirkan,” ujarnya.

Mentawai dan Enam Primata Endemiknya

Kepulauan Mentawai memiliki enam jenis primata endemik, yaitu Siteut, Bokkoi, Simakobu, Joja, Atapaipai, dan Bilou.

Sebelumnya dinyatakan hanya memiliki empat spesies primata, yaitu Bilou (Hylobates klossii), Bokkoi (Macaca pagensis), Joja (Presbytis potenziani), dan Simakobu (Simias concolor). Namun dalam perkembangan taksanomi terbaru, Macaca pagensis dan Presbytis potenziani, masing-masing dipisah menjadi dua spesies.

Kedua spesies Macaca adalah Macaca siberu untuk yang hidup di Pulau Siberut dan Macaca pagensis untuk yang hidup di Pulau Pagai Utara, Pulau Pagai Selatan, dan Pulau Sipora. Penyebutan kedua Macaca ini disesuaikan dengan nama lokal, yaitu Bokoi di Siberut dan Siteuit di Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora.

Sedangkan kedua spesies Presbytis Potenziani atau Lutung Mentawai adalah Presbytis potenziani dengan nama lokal atapaipai untuk lutung yang ada di Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora. Kemudian Presbytis siberu atau joja untuk lutung yang ada di Siberut.

Dengan pembagian itu, Pulau Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan memiliki empat spesies primata endemik. Sedangkan Pulau Siberut juga memiliki empat primata endemik dengan dua spesies yang berbeda dari tiga pulau lainnya.

Meski endemik dan dilindungi, namun status konservasi keenam primata ini terancam punah. Bahkan Simakobu sudah masuk dalam daftar 25 primata paling terancam punah di dunia.

Rizaldi mengatakan daftar terebut dikeluarkan IUCN (International Union for Conservation of Nature) dan perhimpunan ahli primata dunia setiap dua tahun.

Lampiran Gambar
Enam primata endemik Mentawai. (Infografis: Uggla.id)

“Artinya dari 500 lebih jenis primata yang ada di dunia kalau ada spesies yang masuk dalam daftar 25 itu seperti Simakobu, sementara lima spesies primate Mentawai lainnya sudah masuk ke daftar tunggu, ini sesuatu yang sangat serius,” katanya.

Karena itu, kata Rizaldi, perlu diberikan perhatian khusus dan aksi yang nyata supaya spesies tersebut bisa dikeluarkan dari daftar paling terancam untuk tahun berikutnya.

Pria berperawakan kurus ini sangat khawatir dengan maraknya pembukaan hutan di Pulau Sipora dalam tiga tahun terakhir. Apalagi ditambah dengan izin baru PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan) untuk PT Sumber Permata Sipora yang sedang diproses.

Menurut alumni perguruan tinggi Jepang ini kondisi primata di Mentawai saat ini sangat mendesak untuk diperhatikan karena primata itu telah kehilangan habitat yang begitu parah.

“Yang paling urgent sekarang adalah primata-primata yang ada di Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, dan Pulau Pagai Selatan, karena tidak ada kawasan perlindungan seperti di Pulau Siberut yang ada taman nasional. Sepanjang tidak ada hutan konservasi, habitat primata di Sipora ini akan hilang,” katanya.

Dua spesies utama yang paling terdampak penebangan hutan di Sipora, kata Rizaldi, adalah  bilou dan simakobu. Selanjutnya berurutan atapaipai, siteut, joja dan bokkoi.

Dampak Penebangan Hutan

Bilou paling terdampak karena mereka sangat tergantung pada tegakan pohon yang paling tinggi, karena tidak pernah turun ke lantai hutan, seperti tiga primata lainnya.

“Bilou hanya memakan buah, terutama buah ara. Kalau tegakan hutan dibuka akan menghambatnya untuk berpindah ke pohon lain mencari makanan,” ujarnya.

Simakobu juga tinggal di pohon yang tinggi, memakan buah dan daun. Tidak seperti atapaipai, joja, siteut dan bokkoi yang pilihan makanannya lebih banyak dan bisa turun ke lantai hutan.

“Siteut dan bokkoi lebih oportunis, karena bisa hidup dekat dengan aktivitas manusia seperti di ladang, mereka bisa mengambil keuntungan, tetapi itu menjadikannya berkonflik dengan manusia karena dianggap hama,” katanya.

Ia mengingatkan, ketika alat berat mulai beroperasi dan masuk ke kawasan primata-primata tersebut, kemudian menebangi pohon-pohon yang besar dan kecil dengan melakukan ‘land clearing’, dalam kurun yang singkat primata tersebut akan kehilangan potensi makanan.

“Sudah terlalu banyak eksploitasi hutan di Mentawai sejak 1970 sampai sekarang, pohon ditebang menjadi kayu log dan dibawa keluar Mentawai, harusnya itu tidak lagi dilakukan, karena Sipora termasuk pulau kecil yang rentan dan rapuh, juga bisa kekurangan air tawar,” ujarnya.

Menurut Rizaldi, dampak penebangan hutan di Kepulauan Mentawai adalah hilangnya biodiversiti hutannya. Ekosistemnya akan terganggu, karena banyak satwa besar seperti rusa, babi hutan, dan primata akan lenyap.

Lampiran Gambar
Simakobu (Simias concolor) di Pulau Siberut. (Foto: Arif Setiawan/ SwaraOwa)

“Kalau ditebang lagi, hutan bisa saja recovery untuk lima puluh tahun ke depannya, tapi faunanya bagaimana mau recovery kalau sudah hilang? Kalau serangga kecil mungkin masih akan kembali, namun hewan besar tidak akan kembali,” katanya.

Padahal, tambahnya, suatu ekosistem membutuhkan hewan besar atau predator.

“Satu saja ada yang hilang, jelas akan ada yang terganggu, bisa menjadi hutan yang ada pohon tapi lahannya kering seperti gurun, seperti di kebun sawit,” katanya.

Penebangan yang pernah dilakuan di Hutan Berkat salah satunya adalah penebangan di kawasan Arel Penggunaan Lain (APL) milik masyarakat melalui hak akses Sistem Informasi Penatausahaan Hasil Hutan (SIPUHH) yang dikeluarkan Balai Pengelolaan Hutan Lestari (BPHL) Wilayah III yang merupakan unit kerja Kementerian Kehutanan.

Masyarakat pemilik lahan sebagai PHAT (Pemegang Hak Atas Tanah) dimodali investor untuk mengajukan hak akses penebangan hutan alam kepada BPHL Wilayah III.

Modus pengambilan kayu oleh investor kayu dengan memanfaatkan akses SIPUHH ini dalam tiga tahun terakhir telah menghabiskan ribuan pohon di Pulau Sipora, Pagai Selatan, dan Pagai Utara.

Terancam Perburuan

Data yang didapatkan dari Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat mencatat pohon yang sudah ditebang melalui akses SIPUHH dari 2022 hingga Juli 2025 di Pulau Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora adalah  216.763 kubik kayu.

Selain deforestasi melalui izin SIPUHH, di Pulau Siberut, Pagai Utara, dan Pagai Selatan juga masih berlangsung penebangan hutan melalui izin HPH (Hak Pengelolaan Hutan) yang diberikan kepada dua perusahaan kayu.

Di Pulau Siberut terdapat HPH PT Salaki Suma Sejahtera seluas 49.440 hektare yang beroperasi sejak 2007. Sedangkan di Pagai Utara dan Pagai Selatan terdapat HPH PT Minas Pagai Lumber seluas 78.000 hektare yang beroperasi sejak 1976. Selain itu juga ada penebangan hutan melalui izin perkebunan untuk minyak atsiri pada 2022 di Pagai Utara.

Produksi kayu bulat di Kepulauan Mentawai selama 2022 hingga Juli 2025 tercatat sebanyak 410.791 meter kubik atau 103.288  batang pohon.                                      

Penebangan hutan skala besar sejak tiga tahun terakhir  itu menyebabkan keenam primata endemik semakin kehilangan habitatnya.

Lampiran Gambar
Joja (Presbytis potenziani) di Pulau Siberut. (Foto: Arif Setiawan/ SwaraOwa)

Di Pulau Sipora ancaman kehilangan hutan yang lebih besar kembali mengintai. Pemerintah pusat telah memberikan izin persetujuan komitmen untuk Perizinan Berusaha Pemanfataan Hutan (PBPH) seluas 20.706 hektare kepada PT Sumber Permata Sipora. Luas konsensi ini sungguh luar biasa, karena hampir sepertiga luas Pulau Sipora.

Saat ini perusahaan tersebut sedang memperbaiki Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) untuk mendapatkan izin beroperasi di lapangan.

“Kalau izin itu dikeluarkan, dampaknya akan sangat parah pada sisa primata yang ada di Pulau Sipora, kemana lagi mereka akan hidup kalau hutan sudah hilang? Tidak ada primata yang bisa bertahan,” ujar Rizaldi.

Meski berstatus dilindungi, keenam primata endemik tersebut juga terancam perburuan. Baik perburuan modern maupun perburuan tradisional. Perburuan terjadi di semua tempat di Kepulauan Mentawai, karena sudah dilakukan sejak lama.

Dulu primata endemik Mentawai menjadi salah satu sumber protein masyarakat tradisional Mentawai. Di rumah-rumah tradisional atau uma orang Mentawai lazim tergantung tengkorak primata. Mereka memburu primata-primata itu dengan panah yang diolesi racun racikan tumbuhan.

Kini senjata untuk berburu sudah diganti dengan senapan angin otomatis dengan peluru yang juga diolesi dengan racun yang biasa dioleskan kepada ujung anak panah.

Selain diburu untuk diambil dagingnya, primata juga diburu karena dianggap hama tanaman,

Di Beriolou, Sipora Selatan, salah satu primata endemik yang sering diburu adalah siteut yang dianggap hama kelapa, karena suka memakan kelapa.

“Di kebun kelapa saya sering datang siteut mengambil kelapa. Kalau saya, saya usir saja, tetapi ada juga pemilik kelapa yang menembaknya. Mereka menangkap Siteut dan mengumpulkannya dalam keranjang, lalu ditembak dengan senapan,” kata seorang warga Beriulou.

Kisah tragis yang dialami Siteut itu juga terjadi di banyak tempat di Kepulauan Mentawai.

Di Pulau Pagai Selatan, seorang pemuda Bungo Rayo, Desa Sinakak mengaku sering berburu primata endemik bersama beberapa temannya.

“Ya, untuk dimakan, sebelumnya kami membuat racun panah di ladang, lalu mengoleskanya ke peluru. Kalau tidak pakai racun, monyet yang ditembak itu tidak mati dan bisa lari,” ujarnya.

Ia berburu jenis primata apa saja yang terlihat, termasuk Bilou. Di Pulau Siberut, Bilou tidak diburu masyarakat karena ada pantangan dalam budaya.

“Tapi budaya itu tidak sampai ke mari (Pagai Selatan), kami tidak pernah tahu, Bilou itu kalau dapat tetap kami buru dan makan,” katanya.

Hutan habitat primata di Pulau Pagai Selatan saat ini juga mengalami deforestasi dengan beroperasinya perusahaan kayu. Pada awal September 2025, pada pukul 8 pagi, dari dalam hutan lokasi penebangan itu masih terdengar suara Bilou.

Di pinggir jalan juga masih terlihat Atapaipai dan Siteut di atas pohon pada sore hari. Namun di Pulau Pagai Utara, hutan sudah semakin menipis. Hutan bekas tebangan perusahaan kayu sudah banyak berganti menjadi perladangan masyarakat, seperti pisang, cengkeh, pinang, jengkol, dan pinang. Di pulau itu tidak terdengar lagi suara primata.

Lampiran Gambar
Bokkoi (Macaca pagensis) di Pulau Pagai. (Foto: Arif Setiawan/ SwaraOwa)

Di Kawasan Taman Nasional Siberut

Di Pulau Siberut, pulau terbesar di Kepulauan Mentawai yang sepertiga pulau di bagian barat telah menjadi Taman Nasional Siberut sejak 1993, kondisi primatanya juga tidak terlalu menggembiraan. Empat primata endemik Mentawai tetap diburu masyarakat, termasuk primata yang berada Bekemen, jantung kawasan Taman Nasional Siberut.

Kami mengunjungi Bekemen yang berada di Desa Bojakan pada 17 September 2025 dengan menyewa perahu selama empat jam dari Sungai Sotboyak dan terus ke Sungai Bekemen di dalam kawasan Taman Nasioal Siberut.

Di sana terlihat asri dan sangat indah. Di kanan dan kiri sungai masih terlihat hutan alami yang lebat. Air sungai juga jernih dengan arus yang kencang.

Kami bermalam di rumah ladang milik Sudirman, mantan kepala Desa Bojakan. Rumah itu terletak tak jauh dari Sungai Bekemen. Ia tinggal bersama istrinya mengolah sagu di anak sungai yang jernih dan memelihara beberapa ekor babi.

“Hutan Siberut harusnya dijaga seperti ini, pohon tidak ditebang, sehingga tidak ada banjir, dan air bersih melimpah,” katanya.

Sudirman mengaku tidak pernah berburu monyet, karena tidak menyukai dagingnya. Tetapi menurutnya perburuan primata Mentawai itu masih terus berlangsung dari dulu hingga sekarang.

“Itu juga terjadi di dalam kawasan taman nasional,” katanya.

 Yohanes Irman, anak Pak Sudirman mengatakan primata di hutan Desa Bojakan dan Bekemen masih banyak. Keempat jenis primata ada, tetapi perburuan juga dilakukan warga.

 “Yang banyak diburu itu Simakobu, itu sekali mereka berburu dalam dua malam bisa dapat beberapa ekor Simakobu yang dibawa dari hasil perburuan, karena hutan ini juga tidak dijaga, petugas taman nasional juga hanya datang sekali sebulan di resor mereka di Bekemen,” katanya.

Yohanes Irman mengatakan tidak pernah berburu primata karena tidak suka memburu primate endemik Mentawai yang dilindungi.

Menurutnya untuk menghentikan perburuan primata di kawaan Taman Nasional Siberut (TNS) salah satunya adalah Balai TNS membuat ekowisata pengamatan primata di dalam kawasan yang melibatkan pemuda di Desa Bojakan.

“Mereka yang biasanya berburu diajak mengelola ekowisata, saya rasa itu jalan keluar yang terbaik, karena kalau masyarakat merasa diuntungkan mereka akan menjaganya,” ujarnya.

Selama ini, katanya, primata sudah dianggap sumber protein sejak zaman nenek moyang.

“Jadi harus ada jalan keluar yang ada nilainya untuk masyarakat,” kata Yohanes Irman yang juga direktur BUMdes (Badan Usaha Milik Desa) Tirik Oinan di Desa Bojakan.

Malinggai Uma adalah lembaga konservasi lokal di Siberut Selatan yang selama ini aktif mengkampanyekan perlindung terhadap primata Mentawai. Ketua Malinggai Uma Damianus Tateburuk mengatakan praktik perburuan liar kian mengancam primata endemik Mentawai.

Lampiran Gambar
Atapaipai (Presbytis potenziani) di Pulau Sipora (Foto: Arif Setiawan/ SwaraOwa)

“Perburuan kini beralih dari alat tradisional ke alat modern, dulu masyarakat Mentawai yang secara turun-temurun berburu untuk subsisten, kini menggunakan senapan angin bertenaga tabung gas, dilengkapi peredam suara dan toropong, yang membawa dampak besar terhadap penurunan populasi primata,” katanya.

Ia mengatakan, dulu secara tradisional masyarakat Mentawai berburu menggunakan panah beracun dan praktik tersebut seringkali terikat pada aturan adat dan ritual yang membatasi jumlah dan jenis hewan yang diburu. Namun, kini penggunaan senapan angin telah mengubah lanskap perburuan secara fundamental.

“Senapan angin dengan tabung gas memungkinkan tembakan yang lebih kuat dan akurat dari jarak jauh, primata yang hidup di puncak pohon tidak lagi aman dari bidikan pemburu,” katanya.

Perburuan juga berlangsung senyap, karena peredam suara membuat perburuan menjadi lebih sulit dideteksi, baik oleh satwa lain maupun oleh pihak berwenang.

“Ini memungkinkan pemburu untuk berburu secara ilegal tanpa khawatir suara tembakannya terdengar,” katanya.

Menurutnya untuk mengatasi perburuan perlu penguatan hukum adat, yaitu mengembalikan dan menghidupkan kembali nilai-nilai adat yang mengatur hubungan antara manusia dan alam.

Selain itu, juga memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang status konservasi primata dan melatih mereka untuk alternatif mata pencarian yang berkelanjutan, seperti ekowisata dan kerajinan tangan.

“Sedangkan untuk penegakan hukum perlu patroli yang efektif serta penindakan tegas perburuan dan perdagangan satwa liar yang menggunakan alat modern,” kata Damianus Tateburuk.

Potret Perburuan dari Mata Pemburu

Pemburu punya perspektif sendiri dalam menaklukkan primata-primata di hutan Mentawai. Beberapa dari mereka mengatakan simakobu paling sering diburu. Mereka perlahan-lahan mempelajarinya.

Jika melihat satu simakobu maka sudah dipastikan empat hektare dari tempat dia ditemukan adalah wilayah jelajahnya. Kami mewawancarai sekitar tiga orang yang berburu primata.

“Yang paling mudah diburu simakobu, atapeipei atau joja dan masepsep,” kata salah satu pemburu di Sipora.

Menurutnya pulau yang jadi pusat pemerintahan Mentawai ini berbeda jauh dengan Siberut yang mudah menemukan primata endemik. Di Siberut dari dermaga Pokai di Sikabaluan saja sudah terdengar kadang kalau pagi atau sore. Sedangkan Sipora tak semudah itu. Sebab perburuan primata di sini adalah hal yang biasa dan dagingnya juga menurutnya enak.

“Memang harus dicari,” katanya.

Suara tembakan mungkin terdengar lebih sering daripada kicau burung di hutan-hutan Mentawai hari ini. Tak tahu musim.

Berbeda dengan perburuan tradisional yang punya jadwal khusus untuk berburu, yaitu setiap akan ada upacara besar saja dan senjatanya pun hanya menggunakan panah dengan racun. Perburuan pun senyap tak menakutkan dan menggeser habitat karena suara-suara keras.

Sekarang senapan angin yang mudah dibeli lewat e-commerce membuat segalanya berubah.

Berbeda dengan Siberut, pulau-pulau seperti Sipora, Pagai Utara dan Selatan tidak ada aturan adat tidak boleh memakan primata tertentu. Semakin sulit owa atau monyet itu didapat, maka semakin tinggi tantangannya bagi mereka. Terutama untuk bilou yang sangat dijaga betul oleh para sikerei atau tabib Mentawai.

Lampiran Gambar
Data jumlah kayu yang ditebang di Kepulauan Mentawai dalam tiga tahun terakhir. (Infografis: Rakhmill/ Roehanaproject.com)

Salah seorang pemburu di Pagai mengatakan jika dulu mata panah yang diberi racun kini peluru-peluru yang diolesi. Itu pun sering melesat. Jika kena bilou yang biasanya di pohon-pohon yang kanopinya bisa sampai 15 sampai 20 meter, bangkaunya bisa nyangkut di dahan. “Ya kita tebang pohonnya agar bisa diambil dan dimakan,” katanya.

Saya dan beberapa rekan menelusuri kampung-kampung di Sipora Selatan dan Sipora Utara. Warga bilang suara-suara primata itu masih ada. Namun jarang terlihat wujudnya. Kalau pun ada hanya joja dan simakobu yang kadang tampak melintas di antara pepohonan.

Sementara di Siberut, simakobu justru menjadi target utama. Selain tidak dilarang, makanannya hanya daun-daun harum sehingga menurut mereka dagingnya lebih enak dan tidak terlalu amis.

Perburuan yang dulu dijalankan dengan pengetahuan dan batas-batas tradisi kini berubah jadi aktivitas yang lebih berisik dengan suara-suara senapan. “Sekarang mungkin sudah bergeser ke tempat yang lebih jauh. Mungkin karena takut suara senapan,” kata Walter, salah seorang sikerei di Rogdok yang masuk administrasi Kecamatan Siberut Selatan.

Bupati Menolak

Bupati Kepulauan Mentawai Rinto Wardana Samaloisa menyatakan dengan tegas menolak masuknya PBPH PT Sumber Permata Sipora karena menurutnya pembabatan hutan akan merugikan masyarakat. Menurutnya hutan I Mentawai lebih baik ditetapkan sebagai hutan adat.

Untuk penyelamatan primata, bupati sudah memiliki rencana untuk membuat ekowisata di hutan Siberut dan Sipora untuk tempat pengamatan satwa Mentawai bagi turis asing yang banyak datang ke Mentawai. Kawasan itu akan dilengkapi dengan jalur treking masuk ke dalam hutan.

“Tidak saja tempat pengamatan primata endemik Mentawai, tetapi juga satwa Mentawai lainnya seperti tupai terbang endemik, burung hantu endemik, burung beo, dan rangkong,” katanya ketika kami bertemu di Tuapeijat pada hari kedua Agustus lalu.

Rinto juga ingin mendorong masyarakat adat untuk membuat ekowisata di hutan adat.

Dalam webinar Primata Mentawai yang diadakan Swara Owa pada 23 September 2025, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Siberut Wilayah 2 Ridho Akbar Ekaputra mengatakan potensi pengamatan primata di hutan Bekemen, Siberut  sangat tinggi. Dalam empat hari pengamatan, bisa 16 kali bertemu Bilou, 13 kali bryemu Simakobu dan 4 kali bertemu Joja.

“Cita-cita kedepan kami pengelola Taman Nasional Siberut, harapannya di TNS itu menjadi wisata terbatas, masyarakat akan dilibatkan untuk menjadi guide dan masyarakat peduli primata, tahun depan akan dimulai membuat road map,” kata Ridho Akbar Ekaputra.

Pulau Siberut, pulau seluas 4.030 meter persegi dan terbesar di Kepulauan Mentawai pernah dijuluki ahli sebagai Galapagos Asia. Pulau itu dianggap mirip dengan Pulau Galapagos di Samudera Pasifik yang terkenal karena keragamanhayatinya yang tinggi. Tingginya keragaman hayati di Pulau Siberut yang berhadapan dengan Samudera Hindia terkait dengan sejarah geologisnya.

Word Wild Fund (WWF) melakukan penelitian komprehensif tahun 1980 dengan judul “Saving Siberut: A Conservation Master Plan”. Pada tahun berikutnya UNESCO menetapkan kawasan seluas 403.300 hektar sebagai cagar biosfer dan pada 1993 bagian Barat Pulau Siberut seluas 1990.500 hektar ditetapkan sebagai Taman Nasional Siberut.

Pulau Siberut dan rangkaian pulau-pulau lain di Kepulauan Mentawai memiliki sejarah geologis yang unik. Pada zaman Pleistocene atau Zaman Es, kira-kira satu juta hingga 10 ribu tahun silam, permukaan laut di kawasan Asia Tenggara lebih rendah 200 meter dari sekarang.

Daratan menghubungkan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, dan Benua Asia. Saat itu terjadi perpindahan bebas jenis-jenis hewan. Tak heran terjadi persamaan fauna ketiga pulau besar tersebut.

Namun pulau-pulau di Kepulauan Mentawai tetap terpisah dari daratan Pulau Sumatera saat pulau lain masih menyatu pada masa Pleistocene Tengah.

Kepulauan Mentawai diperkirakan sudah menjadi pulau-pulau asli sejak 500 ribu tahun silam yang menyebabkan flora-faunanya terpelihara dari perubahan-perubahan evolusi dinamis, seperti yang terjadi pada lempengan daratan Sunda lainnya, Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.

Keterpisahan tersebut menyebabkan Kepulauan Mentawai memiliki keunikan pada flora dan fauna yang menjadikan kepulauan itu kaya dengan keragaman hayati.

Siberut memiliki sekitar 65 persen dari 31 spesies hewan. Paling istimewa adalah empat dari enam spesies primata endemik yang ada di Kepulauan Mentawai terdapat di Siberut.

Dalam catatan penulis di Uggla.Id Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara, dan Pulau Pagai Selatan yang menjadi habitat empat primata endemik telah mengalami kerusakan habitat yang parah dan penurunan populasi yang cukup tajam.

Ia mengatakan, kawasan konservasi di Kepulauan Mentawai ada di Pulau Siberut, yaitu Taman Nasional Siberut seluas 190.500 ha dan Taman Wisata Alam Saibi Sarabua seluas 3.000 ha. Selain itu ada juga Suaka Margasatwa di Pagai Selatan seluas 1.000 ha.

Menurutnya Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dapat mengusulkan ada kawasan konservasi di dalam hutan produksi di Pulau Sipora kepada Menteri KLHK.

“Untuk Pulau Sipora memang belum ada kawasan konservasi, tapi sudah memenuhi syarat untuk diajukan, karena di situ ada empat primata endemik Mentawai dan harus jadi satwa prioritas nasional, karena Kepulauan Mentawai dari segi biodiversitinya sudah dianggap Galapagos Indonesia,” katanya. (*)

*) Liputan ini kolaborasi Uggla.id dan Roehanaproject.com dengan dukungan Trend Asia.

Baca Juga

Siberut
Kekayaan Alam Bojakan, Siberut Terancam Hutan Tanaman Energi
Mentawai
Pengalaman Menjadi Relawan Mentawai Mengajar di Pedalaman Siberut
ASDP KMP Gambolo
Kapal ASDP Andalan Masyarakat di Kepulauan Mentawai
Maninjau
Kini Danau Maninjau Mengalami Krisis Lingkungan
Sampah Mentawai
Sampah di Keindahan Mentawai, Siapa yang Peduli?
Padangpariaman tambak
Menyorot Dampak Ekologis Tambak Udang di Padangpariaman