SAYA menyaksikan seorang pemburu meramu racun panah dalam perjalanan ke sebuah uma di Sangong yang terletak di Dusun Salapak, di kawasan tepi Sungai Silaoinan, Siberut.
Di Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, kaum laki-laki masih memiliki keterampilan memanah, berburu secara tradisioanal, sebuah budaya yang diwariskan turun-temurun.
Lelaki anggota suku Sangong juga gemar berburu. Suatu pagi saya mendatangi salah seorang pemburu paling terampil di sana bernama Koi Kojik, 38 tahun. Ia tinggal di pondok ladangnya bersama istri dan anaknya.
Begitu memasuki pondoknya, di depan pintu masuknya berjejer tengkorak rusa, monyet, babi hutan, burung, dan kelelawar. Itu bukti pria bertubuh ramping dan kekar itu pemburu ulung.
Sedangkan di dinding pondoknya tergantung busur dan panah yang biasa ia gunakan.
Koi Kojik setiap minggu selalu berburu. Terkadang ia berburu hanya berdua dengan sepupunya dan terkadang berburu bersama-sama dalam kelompok besar dengan saudara lelakinya yang lain. Mereka berburu di hutan milik mereka yang tidak jauh dari pemukiman.
“Dalam satu bulan saya pernah mendapat tiga ekor rusa dan puluhan monyet, itu buruan paling banyak,” kata Koi Kojik.

Hasil buruan itu untuk dimakan bersama anggota suku mereka. Sisanya, potongan daging buruan akan dibagi rata dengan semua anggota suku Sangong di sana.
Jika mendapat hasil buruan, maka di uma Sangong yang besar milik saudara laki-lakinya akan dibunyikan tudukat, gendang khas Mentawai.
”Itu pertanda kami mendapat hasil buruan untuk memanggil semua kerabat datang ke uma memakan bersama hasil buruan,” ujarnya.
Mahir Meramu Racun
Sebagai seorang pemburu, Koi Kojik juga mahir meramu racun panah. Ramuan itu dioleskan kepada anak panah yang akan digunakan untuk melumpuhkan hewan buruan.
”Kalau tidak memakai racun, walaupun sudah kena panah, binatang yang diburu akan lari dan bersembunyi, tidak bisa kita menangkapnya,” katanya.
Keterampilan meramu racun itu ia peroleh dari ayahnya saat ia remaja.
Sebelum berburu, pagi-pagi Koi Kojik membuat ramuan racun tak jauh dari rumahnya. Ia menunjukkan kepada saya ramuan itu. Ternyata semua bahannya dari tanaman yang tumbuh di sekitar pondoknya.
Ramuan untuk racun itu adalah daun raggi dan cabe rawit. Cabe rawit terlihat berukuran kecil, lebih kecil dari ukuran cabe rawit biasa. Ia mengambil beberapa buah cabe rawit dan memetik beberapa lembar daun raggi.

Tumbuhan raggi seperti perdu. Pohonnya setinggi dua meter dan daunnya selebar daun melinjo. Bahan tambahannya adalah akar atau kulit kayu laingi yang sudah ia simpan di pondoknya. Pohon laingi tumbuh di hutan.
Koi Kojik mengatakan, masing-masing tumbuhan itu jika digunakan satu-satu tidak akan berbahaya.
”Tetapi kalau dijadikan ramuan, itu bisa menjadi racun yang mematikan. Jadi, saat membuatnya harus berhati-hati, harus jauh dari anak-anak,” ujarnya.
Pagi itu di beranda, ia membuat ramuan untuk anak panahnya. Ia menggiling beberapa cabe rawit, daun raggi, dan kulit kayu laingi sampai halus. Setelah itu ia memerasnya dengan penjepit kayu dan rotan yang dibuat khusus.
Cairan itu dioleskannya ke beberapa anak panah dengan bulu ayam.
”Tidak boleh terkena tangan kalau tak ingin bernasib sama dengan binatang buruan yang terkena racun panah. Terkena sedikit saja lama penyembuhannya,” kata Koi Kojik.
Anak panah yang sudah diolesi racun itu dijemurnya di bawah cahaya matahari. Terkadang ia mengeringkannya di dekat api. Jika sudah kering, panah itu siap digunakan.
”Dengan racun ini binatang buruan mudah dilumpuhkan, karena tidak ada yang dapat hidup bertahan lama setelah terkena racun panah itu meskipun hanya ekornya yang terkena,” ujarnya.
Namun tidak ada jaminan seratus persen, seperti pengalaman Koi Kojik. Suatu hari ia memanah seekor rusa jantan yang besar. Rusa itu tidak mati, tapi mengejarnya dan hampir menubruknya. Rusa itu lalu lari ke hutan dan tidak terlihat lagi.

”Cepat atau lambat, rusa itu juga akan mati, tapi mati sia-sia di dalam hutan, tidak mungkin juga saya mengikuti rusa itu berhari-hari di dalam hutan,” katanya menyesali.
Jika berburu bersama anggota sukunya, biasanya berburu babi hutan, Koi Kojik dan laki-laki lainnya membawa anjing-anjing mereka.
”Karena babi hutan walaupun kena panah tetap bisa melarikan diri. Anjing yang nanti mencari jejak babi hutan yang lari itu,” ujarnya.
Perburuan tradisional di Siberut tidak hanya untuk memperoleh daging hewan untuk dikonsumsi, tetapi juga sebagai kelengkapan ritual adat.
Setiap penutupan punen (pesta adat) selalu ditutup dengan acara berburu bersama ke dalam hutan. Semua hasil buruan itu akan dimakan dan tengkoraknya akan digantung menjadi hiasan uma.
Seorang suami yang baru mendapatkan seorang anak laki-laki juga harus berburu monyet untuk ritual menyambut kelahiran sang anak laki-laki.
Meski masyarakat tradisional Mentawai di pedalaman Siberut seperti Koi Kojik masih berburu hewan, namun perburuan menggunakan panah tradisional yang beracun itu masih terikat pada aturan adat dan ritual. Salah satu aturan itu adalah membatasi jumlah dan jenis hewan yang diburu. (Febrianti/Uggla.id)











