Belasan petugas Pemadam Kebakaran Kota Sungai Penuh membantu membersihkan halaman SMA Negeri 5 Sungai Penuh, Provinsi Jambi di Desa Paling Serumpun, Hamparan Rawang pada 8 Februari 2024. Mereka menyemprot lumpur yang menutupi seluruh halaman sekolah. Juga lapangan basket dan lapangan voli yang tertutup lumpur setinggi mata kaki akibat banjir selama sebulan empat hari, 31 Desember-4 Februari 2024.
Siswa sekolah itu masih diliburkan, karena banjir hingga sedada orang dewasa merusak semua peralatan sekolah sehingga tidak bisa digunakan. “Selain itu siswa bersama orang tua mereka juga baru kembali ke rumah masing-masing dari pengungsian akibat banjir,” kata Hadi Sutrisno, kepala SMA Negeri 5 Sungai Penuh.
Sofa di ruang guru sudah dibersihkan, namun masih basah. Menurut Hadi semua peralatan tidak bisa dipakai. Kursi, meja, lemari, buku, televisi, komputer, semuanya rusak terendam air.
“Saya bahkan belum bisa menghitung berapa kerugian sekolah yang harus saya laporkan ke pemerintah,” kata Hadi yang mengawasi pembersihan sekolah hari itu.
Rumah Hadi luput dari banjir, karena berada di pusat kota Sungai Penuh yang berjarak 3 kilometer dari sekolah. Banjir terjadi saat sekolah sedang liburan semester.
Hadi tidak menyaksikan banjir yang melanda sekolah pada malam tahun baru itu. Tapi penjaga sekolah Febrizal, yang tinggal dekat sekolah, melihatnya. Menurut Febrizal sekolah itu memang langganan banjir jika terjadi hujan lebat, namun biasanya air hanya menggenangi halaman, paling tinggi hanya selutut.
Sekolah itu memang terletak dekat Sungai Batang Merao. Batasnya hanya jalan raya yang bersisian dengan sungai utama di kota itu. Lebar sungai dalam kondisi normal hanya 11 meter.
Febrizal mengisahkan, sore pada pengujung tahun itu hujan mengguyur kota. Pada malam hari air masuk ke rumahnya yang berjarak 200 meter dari sekolah. Mula-mula air hanya sampai di halaman, tapi kemudian terus meninggi hingga masuk ke rumahnya.
Karena itu, ia sekeluarga segera mengemasi pakaian yang bisa dibawa dan mengungsi ke kantor Desa Paling Serumpun yang terletak di ketinggian. Di sana ternyata sudah banyak warga yang mengungsi.
“Besoknya masih hujan dan saya pergi melihat rumah. Rumah saya masih terendam setinggi dada, tidak ada barang di rumah saya yang bisa diselamatkan, yang penting jiwa kami selamat,” ujarnya.
Ia mencoba mendekati sekolah. Kondisi sudah seperti kolam dengan air setinggi dada. Kelas dan ruangan guru dipenuhi air. Meja terbalik, televisi terlihat terapung bersama belasan komputer.
Banjir Paling Besar
Karena banjir masih menggenangi rumahnya, ia memutuskan mengungsi ke rumah kerabatnya yang tidak terkena banjir. Selama mengungsi, keluarganya mendapat bantuan makanan dari dapur umum yang dibuat Pemerintah Kota Sungai Penuh untuk korban banjir selama masa tanggap darurat. Namun ia mengaku tidak mendapat bantuan lainnya, seperti sembako.
“Ada warga yang dapat bantuan, ada yang tidak, padahal yang kena banjir di desa saya ini banyak,” katanya.
Febrizal sekeluarga mengungsi selama sebulan empat hari. Selama itulah banjir menggenangi desanya. Ketika air surut pada awal Februari 2024, ia kembali ke rumahnya.
Ia menemukan lantai dan dinding rumahnya sudah banyak yang keropos, karena terendam air selama lebih satu bulan. Peralatan rumah tangganya tidak ada yang selamat.
“Ini banjir paling besar dan paling lama yang pernah saya saksikan seumur hidup saya,” kata pria berusia 50 tahun itu.
Sungai Batang Merao yang terletak dekat sekolah dan rumah Febrizal itu kembali normal pada 4 Februari 2024. Airnya masih keruh. Pohon-pohon yang tumbuh di sepanjang sungai, seperti bambu, nangka, dan pisang mati karena lama tergenang air.
Hamparan sawah yang terendam banjir tampak masih ditimbuni lumpur dan sebagian masih tergenang air kecokelatan.
Beberapa petani terlihat berusaha menyelamatkan tanaman padi yang tersisa dengan segera memanennya. Sebagian gabah dijemur terlihat berwarna hitam karena lama terendam air lumpur. Walau beras di dalammya sudah mereka periksa berwarna kekuningan, mereka tetap memanen dan menjemur padinya.
Pusdalop BNPB mencatat banjir telah merendam 10 kecamatan di Kabupaten Kerinci dan 6 Kecamatan di Kota Sungai Penuh yang berdmpak pada 40.700 jiwa.
Akibat Deforestasi di Kawasan TNKS
Sungai Batang Merao yang menjadi penyebab banjir berasal dari sisi barat Gunung Kerinci. Sungai itu mengalir sepanjang 51 kilometer melewati Kabupaten Kerinci dan pinggir Kota Sungai Penuh, lalu bermuara ke bagian barat Danau Kerinci.
Direktur KKI (Komunitas Konservasi Indonesia) Warsi Adi Junaedi memastikan penyebab utama banjir di Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci itu adalah deforestasi yang terjadi di kawasan hulu Batang Merao.
Kawasan hulu itu masuk dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Di kawasan itu bertahun-tahun terjadi perambahan hutan oleh masyarakat untuk perladangan.
“Hutan itu telah beralih fungsi menjadi ladang yang terbuka dengan pertanian intensif yang memakai plastik mulsa, membuat air hujan tidak masuk ke dalam tanah, tapi terus mengalir ke sungai,” jelasnya.
Adi mengatakan Tim GIS (Geographic Information System) KKI Warsi telah melakukan analisis hilangnya tutupan hutan dan perubahan fungsi lahan di lanskap Kerinci. Analisis menggunakan citra satelit Sentinel dipadukan dengan pengamatan dari Google Earth, Citra Spot 6, dan SAS Planet.
"Kami melakukan analisis 50 tahun dari 1973 sampai 2023, hasilnya terlihat perubahan tutupan hutan sekitar 67.000 hektare di lanskap Kerinci. Sebagian besar di kawasan TNKS," katanya.
Kawasan hutan TNKS yang paling banyak hilang berada di Gunung Kerinci dan sekitarnya, seperti Danau Belibis dan kawasan Gunung Tujuh. Kawasan itu dijadikan ladang oleh masyarakat secara masif dalam 25 tahun terakhir.
Deforestasi, kata Adi, juga diperparah oleh pendangkalan Batang Merao karena aktivitas penambangan pasir di Siulak. Pendangkalan ini menyebabkan debit air akibat curah hujan yang tinggi tak mampu ditampung badan sungai.
Hulu Batang Merao di lereng Danau Belibis berada di Desa Kebun Baru Kayu Aro Barat. Usai banjir pada 5 Februari 2024, hulu sungai itu terlihat seperti sebelumnya, airnya yang mengalir hanya kecil seperti anak sungai.
Hulu sungai itu berada di lereng bukit Danau Belibis bagian barat. Danau kecil seluas 2,45 hektare itu terletak di atas bukit pada ketinggian 2.082 mdpl dan berhadapan puncak Gunung Kerinci.
Di lereng Gunung Kerinci hingga di punggung Danau Belibis yang dulunya tersambung oleh hutan, kini sudah berubah menjadi bentangan ladang sayur intensif seperti kentang, cabe, bawang, dan kol. Plastik mulsa berwarna keperakan berjejer memanjang menutupi tanah perladangan.
Aktivitas perambahan hutan di kawasan Gunung Kerinci terus berlangsung. Dari pantauan 5 Februari 2024, ladang yang baru dibuka oleh perambah terlihat dekat dengan jalur pendakian Gunung Kerinci. Ini ditandai dengan beberapa pohon besar yang sengaja dimatikan dengan membuka kulitnya dan lahan dibawahnya sebagian sudah dibersihkan dan ditanami sayuran dan kopi arabika.
Aktivitas alih fungsi lahan di kawasan TNKS pada sisi barat dan timur Gunung Kerinci terlihat semakin jauh mendekati puncak. Perambahan telah mendekati hutan montana dan sub alpin Gunung Kerinci pada ketinggian 2.000 mdpl.
Seorang peladang yang enggan menyebutkan nama mengatakan ia membeli lahan yang telah dibuka pada tahun lalu (2023) seluas 1 hektare kepada seorang perambah dengan harga Rp25 juta. Lahan itu sudah dibersihkan oleh si perambah. Pohon-pohon di sana sudah tumbang dan ia tinggal membersihkan serta membakar kayu-kayu yang telah tumbang.
“Saya tahu itu kawasan TNKS, tetapi lahan untuk berladang di bawah sudah tidak ada lagi. Perambah yang menjual mengatakan tidak masalah menggarap lahan ladang di TNKS asal nanti ditanami dengan pohon kulit kayu manis,” ujarnya.
Di lahan itu ia kini menanam cabe. Hanya saja transportasi ke ladangnya sangat sulit, karena hanya ada jalan setapak yang menanjak dan sangat sulit dilewati sepeda motor.
Potensi Banjir Lebih Besar
Kepala Desa Batang Sangir Basuki, yang wilayah desanya berada di depan Gunung Kerinci, mencemaskan perambahan liar yang terus terjadi akan menyebabkan banjir makin sering melanda desanya dan desa-desa sepanjang aliran sungai.
“Dulunya nggak pernah ada banjir. Tetapi beberapa tahun terakhir, lima belas menit saja hujan lebat langsung turun air dari lahan yang telah terbuka di Gunung Kerinci maupun dari Danau Belibis,” ujar Basuki.
Banjir itu menghancurkan lahan pertanian dan mengalir ke jalan raya. Apalagi kalau hujan turun sehari-semalam, rumah warga di kawasan yang rendah sepanjang aliran sungai Batang Marao hingga ke Danau Kerinci akan kebanjiran. Itu artinya banjir terjadi di beberapa titik di sepanjang DAS Batang Marao yang melintasi Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh.
Basuki menceritakan, hulu Batang Merao yang berada di Desa Kebun Baru sudah meluap sejak pertengahan Desember 2023 ketika intensitas hujan meningkat.
“Pada 31 Januari intensitas hujan tinggi dan merata di seluruh kawasan lereng Gunung Kerinci dan sekitarnya yang menyebabkan terjadinya banjir besar,” kata dia.
Di desanya, banjir tersebut menyebabkan tiga jembatan penghubung antar-dusun putus karena luapan sungai. Ia memperkirakan tahun depan banjirnya akan lebih parah.
“Bencana akan semakin besar karena tidak ada lagi hutan yang mampu menyerap air hujan. Saya berharap TNKS sebagai pengelola kawasan hutan dapat menindak perambah hutan” ujarnya.
Menurut Basuki, perambahan untuk perladangan dimulai pada tahun 2000-an dan semakin masif sejak lima tahun terakhir. “Warga juga tidak bisa berbuat apa-apa, karena tidak punya kewenangan untuk menghentikannya,” katanya.
Polisi Hutan Kesulitan
Polisi hutan TNKS kesulitan menghentkan kegiatan perambah hutan karena jumlah personel kalah dibanding jumlah perambah. Menurut seorang petugas mitra polisi hutan TNKS di Resort Gunung Kerinci, perambah hutan semakin banyak dan sulit dihentikan. Ia mengatakan perambah berasal dari Desa Siulak dan Semurup, Kabupaten Kerinci, yang berjarak sekitar 20 kilometer dari kawasan perambahan.
“Mereka diam-diam membuka hutan Gunung Kerinci dengan cara sekeliling kulit pohon dikupas sehingga pohonnya mati, lalu ditebang dan kayunya dibiarkan membusuk. Ladangnya ditempati sebentar, lalu dijual seharga Rp25 juta hingga Rp40 juta satu hektare kepada warga sekitar," kata petugas yang meminta identitasnya dirahasiakan itu.
Ia adalah petugas Masyarakat Mitra Polhut (MMP) dari masyarakat setempat yang dipekerjakan untuk membantu menjaga kawasan TNKS.
“Saya pernah ikut menangkap perambah hutan di Gunung Kerinci bersama tim. Lalu, setelah itu, keluarga saya ditandai, ibu saya ditandai, dan saya juga ditandai, serta diancam,” katanya.
Taman Nasional Kerinci Seblat yang ditetapkan pemerintah dengan luas 1.386 juta hektare pada 1996 mencakup empat provinsi, Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Sumatra Selatan.
Kawasan TNKS menjadi habitat bagi satwa penting, seperti harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis), kijang sumatera (Muntiacus montanus), kelinci sumatera (Nesolagus natscheri), tapir asia (Tapirus indicus), dan lebih dari 372 jenis burung. Selain itu juga menjadi tempat tumbuhnya padma raksasa (Rafflesia arnoldii) dan cemara sumatera (Taxus sumatrana).
Di Provinsi Jambi TNKS berada di wilayah Kerinci (Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh) seluas 215 ribu hekatre.
Kepala Seksi TNKS Wilayah Kerinci dan Sungai Penuh Nurhamidi mengatakan jumlah polisi hutan yang menjaga kawasan itu hanya 18 orang dan itu sangat kurang. Untuk menjaga kawasan di wilayah utara, seperti Gunung Kerinci dan sekitarnya hanya ada lima orang polisi hutan. Mereka juga sekaligus mengelola kegiatan wisata, pemberdayaan masyarakat, dan patroli.
TNKS juga merekrut 15 mitra polisi hutan dari masyarakat untuk membantu di lapangan. “Tetapi itu sangat kurang, sedangkan saat patroli itu yang kami hadapi adalah perambah yang jumlahnya banyak dan mereka bersenjata,” katanya.
Menurut Nurhamidi jumlah polisi hutan yang ideal di TNKS kawasan Kerinci sekitar 30 orang. “Sekali patrol di satu kawasan kita bisa mengerahkan semuanya, jumlah itu menutut saya baru memadai,” ujarnya.
Kerja Sama dengan Petani
Nurhamidi mengatakan, saat ini pengelola TNKS juga sedang bekerja sama dengan petani yang sudah lama berladang di zona rehabilitasi TNKS, seperti di lereng Danau Belibis arah selatan, di depan Desa Girimulyo dan di lereng Gunung Kerinci.
Ada enam kelompok tani dengan anggota masing-masing 25 orang yang terikat kerja sama dengan TNKS sebagai kelompok tani hutan. Tiap kelompok tani diberi dana Rp50 juta untuk berbagai kegiatan, di antaranya membuat pembibitan pohon dari hutan untuk ditanam di lahan mereka. Juga ada bantuan sapi dan pembuatan homestay untuk kegiatan ekowisata.
“Mereka diminta menanam kembali lahannya dengan bibit pohon yang diambil dari hutan di sela tanaman hortikultura mereka. Nanti secara perlahan mereka bisa keluar dari lokasi itu dan alternatifnya bisa mengembangkan wisata ekologi di sana untuk mata pencarian,” katanya.
Sedangkan bagian selatan bukit di Danau Belibis hingga lereng Gunung Kerinci di depannya yang baru dirambah akan tetap dijadikan zona rimba. “Zona rimba itu nggak bisa dijadikan ladang baru. Menegakkan hukum berdasarkan undang-undang tetap harus dilakukan,” ujarnya.
Namun, kata Nurhamidi, kepada para perambah yang beroperasi setelah Undang-Undang Cipta Kerja diberlakukan akan diambil tindakan hukum.
"Untuk yang merambah sebelum UU Cipta Kerja disahkan itu bisa dikategorikan keterlanjuran. (Mereka) Itu yang bisa kita ajak untuk bekerja sama memulihkan ekosistem. Namun untuk yang merambah setelah Undang-Undang Cipta Kerja berlaku akan diberlakukan sanksi hukum,” tegasnya.
Polisi hutan yang melakukan patroli untuk menangkap perambah juga sering terkecoh. Saat datang ke lokasi, perambah sudah tidak ada di tempat.
"Mereka seperti main kucing-kucingan dengan kami, saat ke sana mereka lari dan bersembunyi, entah kenapa operasi yang kita lakukan untuk menangkap perambah sering bocor," kata Nurhamidi.
Direktur KKI Warsi Adi Junaedi menghimbau agar ada upaya bersama mengatasi penyebab banjir di Kerinci.
"Selama ini orang di Kerinci merasa TNKS itu tidak ada gunananya, nah sekarang inilah gunanya menjaga kawasan hutan TNKS, berapa kerugian yang ditumbulkan oleh banjir lebih sebulan lamanya akibat hilangnya hutan," katanya. (Febrianti/Uggla.id)
Liputan ini merupakan bagian dari “Story Grant Bencana Akibat Kerusakan Ekologis” yang diadakan The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) dan Ekuatorial. Terbit pertama kali di JurnalisTravel.com pada Selasa, 27 Februari 2024.
BACA JUGA: KKI Warsi: Sejumlah Daerah di Jambi Terendam Banjir Dampak Degradasi Hutan