SUARA gajeuma dan gong bergaung dari Balai Desa Matotonan, Siberut Selatan, Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai. Itu pertanda punen atau pesta Lia Eeruk dimulai.
Warga Matotonan yang datang ke Balai Desa berdandan dengan aksesori yang menarik. Para sikalabai, istri sikerei, mengenakan atasan kaos putih tanpa lengan dengan bawahan kain merah selutut.
Di leher mereka tergantung kalung manik-manik berwarna merah dan kuning dalam tumpukan besar. Rambut diikat dan digulung di puncak kepala. Kepala memakai luat, ikat kepala dari manik-manik yang disisipi bunga kembang sepatu berwarna merah. Juga kembang sikauinauk berwarna kuning dan putih.
Mereka menyandang keranjang rotan di punggung membawa buluh bambu yang berisi sagu yang akan dibakar untuk hidangan pesta. Juga membawa keladi untuk membuat subet.
Jalan menuju Balai Desa dihiasi bambu yang di atasnya terdapat pucuk enau dan burung kayu. Ada 14 tiang bambu yang dipasang di jalan hingga ke dermaga pinggir sungai.
“Jumlah bambu itu menandakan jumlah ‘sainak’ atau babi untuk pesta. Selain 14 ekor babi, juga ada tambahan seekor sapi untuk warga kita yang muslim,” kata Zaidin Samoan Muttei, sikebukat uma atau pemimpin acara Lia Eeruk.
Balai Desa juga dihias dengan indah. Di depannya ada gapura dari kayu yang dihiasi pucuk daun enau. Di atasnya terpasang burung kayu sebagai mainan bagi roh.
Pagi itu Lia Eeruk akan dimulai. Para sikerei dan istri mereka duduk di atas, berseberangan di dalam ruangan. Tampilan mereka sangat menarik dengan aksesori penuh warna.
Pesta besar Lia Eeruk di Matotonan ini adalah pesta untuk merayakan hari jadi Desa Matotonan yang ke-44 tahun yang diperingati 12 Agustus 2024. Pesta diikuti 12 suku besar yang ada di Matotonan. Lia Eeruk juga melibatkan 20 sikerei Matotonan, ahli pengobatan dan pemimpin acara ritual.
“Di sini adat Mentawai masih kuat, banyak sekali pesta adat, semua tahapan dalam kehidupan ada punennya, kalau yang ini ritualnya sama dengan punen antar suku, namanya Lia Eeruk, artinya pesta besar untuk mendapatkan kebaikan,” kata Ali Umran Sarubei, kepala Desa Matotonan.
Enam tahun terakhir, ulang tahun desa dirayakan dengan Lia Eeruk dari dana desa. Tujuannya agar semua tahapan pesta bisa diikuti semua warga.
“Biasanya tiap suku mengadakan pestanya sendiri, tetapi itu tidak bisa dilihat semua acaranya oleh suku lain, hanya keluarga mereka saja. Kalau sekarang bisa disaksikan semua, ini juga untuk pelajaran budaya bagi anak-anak ,” kata Ali.
Puncak Lia Eeruk dimulai pada Minggu pagi, 11 Agustus 2024. Lia Eeruk 2024 digelar di Balai Desa, karena uma Matotonan yang ada di atas bukit, tempat lia biasa diadakan lantainya perlu diperbaiki.
Pagi itu semua peserta punen berpawai keliling desa dengan berjalan kaki. Usai pawai beberapa ritual punen dilakukan di balai desa.
Seorang sikerei memimpin ritual untuk memulai Lia Eeruk. Beberapa kerei mulai merapalkan mantra-mantra Arat Sabulungan kepada roh-roh. Ia membawa piring berisi daun-daun dan bunga ke sekeliling ruangan mengitari orang yang hadir.
Seorang sikerei kemudian melakukan ritual Lia Gouk-Gouk (ritual ayam). Sekor ayam dimantrai dengan urai atau nyanyian sikerei.
“Engkau ayam jauhkanlah kami dari penyakit dan jauhkan pula kami dari mara bahaya,” kata sikerei itu dalam bahasa Mentawai.
Ayam itu dibawa berkeliling dan dihadapkan kepada tiap-tiap orang yang hadir sambil mengucapkan mantra. Para sikerei duduk melakukan ritual di depan babi yang sudah diikat dan direbahkan. Sikerei bernyanyi sambil mengibaskan daun boblo ke arah babi, diiringi dentingan genta di tangan, meminta izin kepada yang menghidupkan babi untuk mempersembahkan babi bagi roh leluhur yang datang.
Usai ritual orang-orang kembali sibuk bekerja. Ada yang mempersiapkan makanan dan ada yang melanjutkan muturuk atau menari. Menjelang siang hidangan pesta hampir siap. Daging babi di dalam kuali-kuali besar direbus dengan kuah, terlihat menggelegak.
Sagu dalam buluh bambu dibakar. Keladi juga direbus dan dihancurkan, lalu dibulatkan bersama daging kelapa parut menjadi makanan khas bernama subet. Makan siang dihidangkan dalam piring-piring kayu yang panjang.
Acara punen berlanjut hingga tengah malam. Para sikerei bergantian muturuk atau menar. Sikalabai, istri sikerei juga ikut menari. Acara muturuk sangat meriah, menghibur warga Matotonan yang memenuhi Balai Desa.
Acara pesta hari kedua lebih sakral, karena puncak pesta akan dilangsungkan. Di dalam Balai Desa para sikerei dan istri mereka berdandan ‘habis-habisan’. Mengenakan aksesori yang lebih lengkap.
Para istri kerei mengenakan hiasan kepala dari bulu ayam, bulu burung, dan manik-manik. Mereka mengenakan kaos putih tanpa lengan. Di punggung mereka terlihat tato motif titik geillat berupa garis-garis melengkung hingga ke lengan. Roknya belang-belang, merah, hijau dan kuning.
***
Daun pisang dibentang di lantai uma. Daging babi yang sudah dipotong-potong dan dibakar ditaruh di daun. Ayam yang sudah dibersihkan dan dibakar bulunya juga ditumpuk. Begitu juga sepotong besar paha sapi juga ikut diletakkan.
Para sikerei mengelilingi tumpukan daging. Menyanyikan urai dengan lirih untuk memanggil roh leluhur. Suasana hening, hanya ada lagu sikerei.
Lia Eeruk dilanjutkan dengan acara pukalaibok, makan siang bersama suami-istri sikerei yang berhadap-hadapan. Kerei dan seluruh anggota suku pulang membawa otcai atau daging babi dalam tabung bambu.
Kepala Desa Matotonan Ali Umran Sarubei mengatakan untuk mempertahankan budaya dan mengenalkan budaya Mentawai ke generasi muda di Matotonan, sejak empat tahun lalu diperingati ulang tahun desa dengan menggelar pesta adat besar Lia Eeruk setiap 10 Agustus.
“Ini salah satu upaya kita untuk mempertahankan budaya,” ujarnya
Di Matotonan, kata Ali, adat Mentawai masih kuat. Banyak sekali pesta adat. Semua tahapan dalam kehidupan ada punennya.
“Kalau yang diadakan sekarang ritualnya sama dengan punen antar suku, namanya Lia Eeruk, pesta besar untuk mendapatkan kebaikan,” katanya. (Febrianti/Uggla.id)