Oleh: Tim Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Padang
Perjalanan kami menuju Danau Maninjau di Sumatera Barat pagi itu berawal dari serangkaian komunikasi daring dan mengatur janji. Ketika sampai di lokasi dan mengitari danau, pemandangan yang tertangkap mata adalah Danau Maninjau seakan terbelah menjadi dua dunia.
Dunia pertama di sisi area dekat Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Maninjau yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam. Di sini air danau masih terlihat segar, jernih, dan memantulkan kilau cahaya pagi.
Dunia kedua, di sisi lain danau, tapi masih di kecamatan yang sama, ribuan unit keramba jala apung memenuhi tepi danau. Di satu sudut kecil yang memiliki sepetak keramba jala apung saja air danau terlihat keruh dan bau amis menyeruak hidung.

Mak Sahar, seorang nelayan menceritakan dulu sebelum usaha keramba berkembang tanpa kendali, Danau Maninjau adalah sumber air bersih dan surga ikan bagi warga sekitar.
“Kalau dulu kami bisa berharap dari hasil tani dan hasil tangkapan ikan, sekarang tidak sepenuhnya lagi,” ujarnya.
Musim angin darat yang dulu membawa pesta ikan karena banyak ikan danau yang bisa ditangkap, kata Mak Sahar, kini berubah menjadi musim kematian massal ikan dan merugikan nelayan hingga ratusan juta.
Meski budi daya ikan keramba jala apung sempat mengangkat perekonomian warga, kerusakan lingkungan akibat sisa pakan yang menumpuk dan pencemaran membuat danau kehilangan kejernihannya.

Pemerintah, lanjut Mak Sahar, mulai berupaya memulihkan air danau dengan menabur tawas, namun perjalanan Danau Maninjau untuk kembali jernih masih panjang.
Kerusakan Akibat Aktivitas Legal
Inilah kenyataan pahit yang kini harus ditelan masyarakat di sekitar Danau Maninjau. Danau yang dahulu menjadi tumpuan hidup dan ruang batin, kini berubah menjadi sumber krisis lingkungan.
Ironisnya, kerusakan ini bukan dari aktivitas ilegal, melainkan legal karena terjadi atas izin pemerintah. Ekosistem danau runtuh pelan-pelan, sementara tata kelola kehilangan arah. Keramba Jaring Apung (KJA) menjadi biang utama.

Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Agam mencatat lebih dari 23.000 unit KJA beroperasi di Danau Maninjau, angka yang jauh melampaui kapasitas ekologis. Anehnya, sebagian besar dari keramba ini memiliki izin. Izin yang semestinya dibatasi karena pertimbangan lingkungan.
Penegakan hukum nyaris tak terdengar. Bahkan setelah peringatan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, praktik overproduksi terus berlangsung tanpa hambatan.
Desember 2021 menjadi titik genting di Danau Maninjua. Lebih dari 1.700 ton ikan mati mendadak akibat anjloknya kadar oksigen. Sejak saat itu, bencana ekologis serupa terus berulang setiap empat bulan sekali.

Fenomena tubo, pembalikan lapisan air danau yang membawa racun dari dasar ke permukaan, bukan lagi gejala sesekali, melainkan rutinitas yang mematikan.
Data dari produksi pun menunjukkan kejatuhan. Pada 2023, produksi perikanan budi daya di Danau Maninjau justru anjlok -33,82 persen. Bahkan hingga Januari 2025, kematian massal ikan terus terjadi sebanyak 75 ton hanya dalam waktu sepekan.
Data dari LIPI dan Bappeda Agam menunjukkan perairan Danau Maninjau telah memasuki kategori eutrofik berat, atau kondisi perairan yang tercemar berat dengan peningkatan kandungan fosfor dan nitrogen. Limbah dari KJA, terutama pakan ikan, menyumbang lonjakan kadar fosfat dan amonia.
Kombinasi ini menaikkan suhu air, mematikan spesies endemik seperti ikan rinuak, dan menimbulkan bau busuk yang mengusir wisatawan. Kerugian ekonomi pariwisata ditaksir mencapai Rp14,9 miliar per tahun.
Pendapat Kami
Kerusakan Danau Maninjau bukan sekadar persoalan pencemaran air. Izin yang seharusnya menjadi pagar perlindungan, justru digunakan sebagai dalih untuk membenarkan perusakan. Ini menunjukkan bahwa kita sedang berhadapan dengan krisis perspektif ekologis yang jauh lebih dalam.

Praktik serupa terjadi di Patagonia, Chili. Dalam laporan Pulitzer Center berjudul “Patagonian Paradise Lost? The Environmental Hazards of Farming Fish in a Warming World”, disebutkan bahwa legalitas budi daya ikan di wilayah itu justru menjadi pintu masuk kerusakan ekologis mulai dari limbah pakan hingga penyebaran penyakit ikan akibat kepadatan keramba.
Ini menunjukkan ketika regulasi abai terhadap prinsip ekologis, dampaknya bersifat lintas batas dan lintas benua.
Danau Maninjau bukan hanya ruang ekonomi, tetapi rumah kehidupan bagi manusia, bagi ikan rinuak, bagi seluruh ekosistem yang hidup di dalam dan sekitarnya. Sudah saatnya kita menyelamatkan Danau Maninjau. (*)
(Kiriman: Tim Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Padang. Tim terdiri dari Ilma Wulandari, Ibrahim Akbar, Fathurrizqi, Olivia Marlius Ananta, dan Yurifan Emeral Imam. Tulisan ini hasil kegiatan Workshop Penulisan Opini Editorial (Op-Ed) “Green Voice Matter” yang terselenggara berkat kerja sama Program Studi Ilmu Komunikasi UNP dengan Pulitzer Center. Tulisan ini telah diedit oleh editor Uggla.id)