Banjir Bandang di Kota Padang: Daratan Sengsara, Laut Turut Menderita

banjir bandang padang

Perahu nelayan rusak dihantam kayu-kayu gelondongan yang dihanyutkan banjir bandang sungai Batang Kuranji di Kota Padang. (Foto: Muhammad Hanif Aziz/ mahasiswa UNP)

Oleh: Anisa Silvina Putri, Muhammad Afghan Arrazy, Muhammad Hanif Aziz, Olivia Marlius Ananta dan Jenny Aulia (Mahasiswa UNP Padang)

CURAH hujan dengan intensitas tinggi pada minggu terakhir November 2025 mendatangkan bencana yang tak pernah diterka, yaitu banjir bandang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Kota Padang diterjang banjir bandang yang terparah dalam beberapa tahun terakhir.

Arus air dari lima Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kota Padang membawa lumpur pekat dan gelondongan kayu dalam jumlah besar hingga ke muara dan terdapar di pantai. Salah satu pantai yang paling banyak dipenuhi potongan kayu adalah Pantai Parkit di belakang Universitas Negeri Padang.

Kayu itu hanyut dari Sungai Batang Kuranji yang bermuara ke laut yang bersebelahan dengan Pantai Parkit dan Pantai Ulak Karang. Sungai Batang Kuranji salah satu sungai yang mengalami banjir bandang dari hulunya di Batu Busuk dan kawasan Bukit Barisan di sekitarnya.

Pada Senin, 1 Desember 2025, di Pantai Parkit petugas Dinas Lingkungan Hidup Sumatera Barat terlihat  mulai membersihkan kayu-kayu gelondongan di Pantai Parkit. Air laut di tepi pantai tampak keruh, walaupun di tengah laut airnya masih biru. Saat itu petugas berbaju oranye sedang membersihkan kayu-kayu. Sejumlah warga turut menyaksikan pembersihan pantai itu. Truk pengangkut kayu datang silih berganti. 

“Selama saya hidup dan tinggal di sini, ini banjir terparah yang pernah ada, kayu datang sejak hari Jumat, 28 November,” ujar Rosmalita, warga yang sedang duduk di tepi Pantai Parkit. 

Ia mengatakan, sebelum menumpuk di tepian pantai, ribuan potongan kayu yang dibawa air sungai itu datang dari arah muara sungai Batang Kuranji.

Lampiran Gambar
Petugas Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Barat membersihkan kayu yang menumpuk banjir bandang di Pantai Parkir, Air Tawar, muara sungai Batang Kuranji, Kota Padang. (Foto: Muhammad Hanif Aziz/ mahasiswa UNP)

Bagi masyarakat pesisir di Pantai Parkit, banjir bandang juga berdampak pada keberlangsungan hidup sehari-hari. Nelayan sangat kewalahan, mereka tidak hanya menyelamatkan rumah dan jiwa, namun juga kapal sebagai alat mata pencaharian sehari-hari. 

Seorang nelayan bernama Rozali mengaku melihat dan mendengar langsung air bah datang membawa kayu-kayu gelondongan masuk ke laut dan terdampar di pantai.

“Suara air bah dari muara sungai sangat kuat, kapal saya yang tertambat di muara pecah dihantam kayu gelondongan, tidak bisa saya selamatkan,” kata Rozali.

Ia mengaku belum bisa melaut sejak bencana terjadi, karena kapalnya sudah rusak. Ia hanya pasrah.

“Kalau mau diperbaiki butuh banyak biaya, kalau beli baru apalagi,” kata Rozali memandang kapal-kapal lain yang sedang diperbaiki nelayan pemilik kapal lainnya di Pantai Parkit agar kapal mereka bisa digunakan.

Ia mengatakan, kayu-kayu yang terdampar di pantai itu juga membuat kapal nelayan sulit keluar-masuk muara. Tidak hanya kayu-kayu saja yang menghalangi, tapi juga tumpukan lumpur di dasar muara yang kian meninggi.

“Salah satu dampak banjir, ikan juga semakin jauh ditangkap, mungkn ikan itu sudah menghindar jauh ke tengah laut sehingga nelayan harus mencari ikan ke tempat yang jauh, bahkan bisa sampai ke laut Tiku,” kata Rozali.

Lampiran Gambar
Kondisi kapal Rozali, nelayan di muara sungai Batang Kuranji, Kota Padang yang rusak dihantam kayu gelondongan saat banjir bandang. (Foto: Muhammad Afghan Arrazy/ mahasiswa UNP)

Dr. Harfiandri Damanhuri, ahli perikanan dan kelautan dari Universitas Bung Hatta yang diwawancarai pada 6 Desember 2025 mengatakan tumpukan gelondongan kayu akan  menghambat aktivitas nelayan tradisional dan merusak habitat organisme laut yang menjadi sumber tangkapan nelayan.

“Kondisi sedimen akibat banjir yang masuk ke laut ini akan memengaruhi kualitas air di kawasan pesisir selama satu hingga tiga bulan ke depan," ujarnya.

Perubahan kualitas air tersebut mencakup aspek fisika, kimia, dan biologi yang mengakibatkan terganggunya penetrasi cahaya yang menghambat proses fotosintesis organisme laut.

Dampak ini mengancam ekosistem pantai yang selama ini menjadi daya tarik wisata lokal, nasional, bahkan internasional.

Harfiandri mengatakan, material sedimen yang masuk ke laut memicu peningkatan signifikan total “suspended solids” atau total padatan tersuspensi. Total Suspended Solid sebuah istilah dari sedimen yang menyebar dan menyatu dengan air.

“Akibatnya air menjadi keruh dan dapat menutup cahaya matahari yang masuk. Kalau cahaya terhalang, plankton tidak bisa fotosintesis, plankton yang tidak bisa berfotosintesis akan mempengaruhi ekosistem, karena plankton merupakan sumber makanan bagi berbagai makhluk hidup,” ujarnya.

Menurut Harfiandri dampak lainnya adalah kepada terumbu karang, karena terumbu karang sangat sensitif terhadap sedimentasi. Kalau sedimen menutupi terumbu karang terlalu lama, karang bisa mati. Padahal terumbu karang adalah tempat ikan mencari makan, berkembang biak, dan berlindung.

Lampiran Gambar
Tangkapan layar Google Earth kondisi salah satu lokasi di hulu DAS Air Dingin Lubuk Minturun pada Juni 2021 yang diambil Walhi Sumbar. Kondisi hutan masih asri. (Dok. Walhi Sumbar)
Lampiran Gambar
Kondisi hutan yang sudah rusak akibat penebangan skala besar di lokasi yang sama di hulu DAS Air Dingin yang diambil Walhi Sumbar dari Google Earth pada Juli 2025. (Dok. Walhi Sumbar)

Kemudian terkait dampak pada ikan pasca banjir, menurutnya ikan-ikan di laut masih aman untuk dikonsumsi selama tidak berbau lumpur, karena ikan punya mekanisme osmosis yang membuat  sedimen tidak masuk ke tubuh ikan.

Berdampak pada Pergeseran Rantai Makan Ikan

Namun, ia mengingatkan bahwa persoalan yang lebih besar bukan soal keamanan konsumsi, melainkan pergeseran rantai makanan.

“Kalau plankton terganggu, ikan akan pergi ke perairan yang lebih jernih. Itu membuat daerah tangkap nelayan pesisir berkurang,” ujar Harfiandi.

Ia menambahkan bau amoniak yang mulai tercium di bibir pantai pasca banjir bandang menunjukkan kayu sedang terurai. Pembusukan kayu bisa menurunkan oksigen di air sehingga memicu pertumbuhan bakteri.

“Pemulihan laut bisa membutuhkan waktu tiga bulan hingga setengah tahun, tergantung pada seberapa cepat kayu dan lumpur dibersihkan,” katanya.

Selain itu, menurutnya, selama Daerah Aliran Sungai (DAS) tidak dipulihkan, sungai akan terus mengalirkan sedimen ke laut.

Tommy Adam, Divisi Penguatan Kelembagaan dan Hukum Lingkungan Walhi Sumatera Barat mengatakan penyebab banjir bandang di Kota Padang terjadi akibat kerusakan hulu sungai yang sudah terjadi sejak lama.

Lampiran Gambar
Sedimentasi yang tebal di muara sungai Batang Kuranji pasca banjir bandang pada 25 November 2025. (Foto: Muhammad Hanif Aziz/ mahasiswa UNP)

Ia mencontohkan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Air Dingin di Lubuk Minturun, salah satu DAS yag mengaklami banjir bandang. Tommy memperlihatkan deforestai yang telah terjadi di hulu DAS Air Dingin dari perbandingan hasil tangkapan gambar dari citra satelit antara 2021 dengan 2025.

Pada gambar citra satelit pertama yang diambil pada Juni 2021, tutupan hutan tampak tebal menghijau, rapat, dan tanpa celah terbuka. Namun pada gambar citra satelit yang diambl pada Juli 2025 menunjukkan area yang sama telah berubah menjadi lahan terbuka bercabang, dengan pola yang menyerupai jalur alat berat.

Tumpukan sisa batang kayu tampak berserakan, warna tanah cokelat melebar ke berbagai arah yang menunjukkan pembukaan lahan yang dilakukan secara sistematis. 

“Apa yang tampak di citra satelit tidak mungkin terjadi tanpa aktivitas penebangan besar-besaran, lahan yang terbuka selebar itu tidak mungkin dibuat tanpa alat berat, ini bukan kerja masyarakat kecil, ini terorganisir,” katanya.

Tommy menyoroti lemahnya pengawasan pemerintah, padahal pemerintah memiliki kewenangan dan anggaran untuk mengawasi hutan.

“Sampai sekarang belum ada laporan resmi dari pemerintah mengenai jumlah kayu yang tersisa di hulu, saat hujan kembali mengguyur, sisa-sisa kayu tersebut bisa kembali terbawa arus air dan kejadian yang sama akan terulang kembali, banjir bandang,” ujarnya.

Ia menekankan perlunya tindakan segera dari pemerintah, mulai dari penegakan hukum di kawasan hulu, pembersihan kayu secara terencana, survei kualitas air, hingga penataan ulang sempadan sungai dan pantai.

“Negara tidak boleh membiarkan masyarakat sendiri menanggung risiko. Ini tanggung jawab pemerintah,” kata Tommy. (Editor: Febrintai/Uggla.id)

(Liputan ini dikerjakan mahasiswa Anisa Silvina Putri, Muhammad Afghan Arrazy, Muhammad Hanif Aziz, Olivia Marlius Ananta, dan Jenny Aulia untuk tugas Mata Kuliah Jurnalisme Lingkungan, kolaborasi Pulitzer Center dengan Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Padang).

Baca Juga

metawai panah
Menyaksikan Pemburu Mentawai Meramu Racun Panah
sikerei siberut
Arat Sabulungan dan Gempuran Agama dalam Kenangan Sikerei
babi siberut
Babi-Babi yang Dimantra di Hutan Siberut
siberut
Keistimewaan Kuali Nomor 30 di Siberut
sampan bojakan
Tradisi Membuat Sampan di Bojakan, Siberut
Mentawai
Sikerei Mentawai yang Berdamai dengan Agama