HAMA pisang menyerang ladang pisang milik masyarakat di kawasan Sarereiket, Siberut Selatan, Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Serangan hama yang terjadi sejak Desember 2024 dan masih berlangsung hingga kini, merepotkan dalam penanganan dan membuat petani rugi jutaan rupiah.
Hama tidak hanya menyerang pisang kepok (pisang medan) yang bibitnya didatangkan dari luar pulau, tetapi juga menyerang pisang lokal, seperti pisang janang.
Di Desa Mailepet, Siberut Selatan semua pohon pisang terlihat tumbuh merana. Beberapa rumpun pisang daunnya menguning. Sebagian pangkal daun layu dan patah, bergantung di batangnya. Hanya pucuk daun yang masih terlihat hijau.
Jika setandan pisang batu yang terlihat masih muda dan hijau, buahnya ditebas dengan parang maka isinya tidak putih seperti biasa, namun berwarna kuning kecokelatan dan cair.
Dalam satu rumpun pisang terdapat dua jenis penyakit berbeda, yaitu penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum dan penyakit darah yang disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum.

Yohanes Doyla Samalelet, warga Dusun Rogdok, Desa Madobak, Siberut Selatan yang pertama kali mengetahui penyakit pisang itu juga menyerang pisang lokal pada pertengahan April 2025. Hal itu diketahuinya saat ia menebang satu tandan pisang janang di kebunnya.
“Saat saya buka isinya, ternyata pisang janang sudah kena juga, padahal ini makanan favorit kami sehari-hari untuk direbus,” ujarnya.
Sebelumnya, pada Maret 2025 ratusan rumpun pisang batu milik Yohanes juga terkena penyakit layu fusarium. Ia menanam pisang janang di antara pisang batu.
“Awalnya pisang janang tidak tertular penyakit, tetapi sebulan kemudian pisang janang juga ikut tertular,” katanya.
Bagaimana cara mengatasi penyakit yang merusak pisang secara massal ini? Berikut saran tiga ahli pertanian.
Ir Djoni: Jika Tidak Diatasi Pisang Mentawai Bisa Punah
Ir Djoni adalah mantan kepala Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Barat dan insinyur pertanian Universitas Andalas. Aktivis pertanian organik ini mengelola pertanian “Dangau Inspirasi” di Padang dan pernah mendapat penghargaan Kalpataru.
Menurut Ir Djoni serangan penyakit pisang seperti di Mentawai sudah melanda hampir semua kabupaten di Sumatera Barat sejak 20 tahun terakhir, namun baru sekarang sampai ke Kepulauan Mentawai.

“Penyakit darah dan layu fusarium ini satu paket datangnya dan sangat berbahaya. Harus cepat diatasi, karena penularannya juga sangat cepat, kalau tidak, pisang di Mentawai bisa punah,” ujarnya.
Sumber penyebaran penyakit ini, jelas Djoni, bisa dari bibit yang dibawa petani ke Mentawai, lalu menular melalui penggunaan alat seperti parang dan cangkul atau bisa juga perantara serangga.
“Buah pisang yang kena penyakit darah itu kalau cairannya dibuang ke ladang saja, itu bisa tertular semua tanaman pisang di sana, karena cairan kuning kemerahan dalam pisang itu berisi bakteri semua,” katanya kepada Uggla.id.
Djoni mengingatkan bahwa pohon pisang yang terkena kedua penyakit itu tidak boleh ditebang, apalagi dicincang, sebab akan semakin menyebarkan bakteri dan jamur ke tanah.
“Yang paling efektif itu dengan membunuh rumpun pisang yang sakit dengan cara memasukkan minyak tanah di setiap rumpun pisang. Tusuk bonggolnya dengan kayu, lalu tuangkan 15 sampai 20 mililiter minyak tanah. Batang pisangnya akan mati dan bakteri serta jamurnya juga ikut mati,” ujarnya.
Ia melanjutkan petunjuk, rumpun pisang yang mati dibiarkan, kemudian tanahnya diolah dengan pemberian trikoderma untuk menyehatkan tanah.
“Setelah itu lahan bisa ditanam dengan tanaman lain dulu, baru setelah aman bisa ditanami kembali dengan pisang,” katanya.
Untuk mengatasi penyebaran penyakit pisang melalui serangga, menurut Djoni, bisa diatasi dengan membungkus buah pisang di pohonnya dengan plastik khusus agar buah pisang tidak ditusuk serangga.
“Cara mengatasi dengan minyak tanah ini paling murah untuuk mematikan rumpun pisang, kalau dengan pestisida biayanya akan sangat mahal bagi petani,” ujar Djoni.
Prof Widodo: Harus Banyak Diberi Pupuk Organik
Profesor Widodo adalah guru besar pada Fakultas Pertanian IPB (Institut Pertanian Bogor). Ia menangani Klinik Tanaman di Departemen Proteksi Tanaman IPB.
Setelah dikirimi foto-foto pisang dari Mentawai, ia mengatakan pisang di Mentawai tersebut kena bakteri dan kemungkinan juga jamur fusharium.

“Dari foto-foto yang saya lihat, itu semua gejala penyakit darah, dari bakteri. Seperti buah pisang yang di dalamnya hancur dan cair kemerahan, daunnya yang kering berjuntai seperti rok (pakaian), daunnya yang layu, itu semua kena bakteri,” katanya via telepon.
Menurutnya ada peluang pisang di Mentawai seperti itu terkena fusarium , karena penyakit pada pisang itu bersamaan, kena bakteri dan kena fusarium.
Peluang fusarium, tambahnya, ada di dalam tanah. Jika petani memiliki ternak seperti sapi atau babi, ia menyarankan agar tanah pisang tersebut sering diberi pupuk kandang yang matang. Pupuk kendang dimasukkan ke sekitar rumpun pisang.
“Karena cendawan atau fusarium yang ada di dalam tanah itu, jika banyak bahan organik dia akan kalah. Karena itu ladang tersebut perbanyak diberi pupuk organik,” ujarnya.
Apalagi, tambah Prof Widodo, jika petani di Mentawai belum memakai pupuk kimia atau pestisida maka akan baik sekali.
“Kalau mereka mau mengganti tanaman pisangnya dulu, coba ganti dengan tanaman satu musim seperti jagung. Cukup ditanam sekali, lalu bisa menanam pisang kembali,” ujarnya.
Pilihan Jagung, karena berdasarkan penelitian bimbingannya, pada jagung terdapat banyak bakteri ynag antagonis terhadap fusarium.
“Tetapi nanti akar jagungnya jangan dicabut, langsung saja tanam pisang, insya Allah bisa baik kembali, asal bibit pisangnya cari yang sehat, bukan dari indukan yang sakit,” katanya
Sedangkan penyakit dari bakteri, penular utamanya adalah serangga. Untuk itu, ia menyarankan jantung pisang itu segera dipotong begitu pisangnya sudah penuh. Setelah dipotong bekas potongannya ditutup. Jantung pisang tidak boleh dibiarkan sampai pisang runtuh.
“Kebun pisang juga jangan terlalu bersih sampai tanahnya kelihatan. Harus tetap ada rumput dan gulma di bawahnya. Itu untuk memberi ruang pada serangga mencari nektar bunga di gulma atau tanaman liar di sekitar rumpun pisang,” ujarnya.
Profesor Widodo menceritakan dulu ia pernah memiliki pengalaman di Aceh, ketika di bawah kebun itu bersih sekali malah penyakit banyak, karena serangga mungkin tidak tersalurkan ke bunga yang lain.
“Jadi sebaiknya memelihara tanaman liar seperti gulma atau rumput di sekitar rumpun, itu nggak akan banyak pengaruh pada produksi pisang, asal pupuk kandangnya rajin diberikan,” katanya.
Selain itu, tambah Prof Widodo, parang yang digunakan juga harus dibersihkan dengan desinfektan seperti bayclin atau lainnya.
“Obat untuk dua penyakit pisang ini tidak ada sama sekali, pestisida untuk itu sama sekali tidak ada,” katanya.
Ia menyampaikan tahun ini di Flores juga terjadi ledakan penyakit yang sama. Paling banyak pisang di sana terkena bakteri dan juga fusarium.
Dr Giyanto: Penyakit yang Sudah Ada Sejak 1920-an
Dr Ir Giyanto, MSi adalah dosen di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB. Ia juga dikirimi foto-foto pisang dari Mentawai yang terkena penyakit.
“Yang terjadi di Mentawai itu saya lihat dari fotonya adalah gejala penyakit darah atau sering juga masyarakat menyebutnya penyakit muntaber,” katanya melalui telepon.

Tanda-tandanya, lanjutnya, pada pangkal batang setelah dipotong beberapa lama biasanya akan muncul titik-titik seperti tetesan air warna kemerahan. Itu merupakan massa atau kumpulan sel bakteri.
“Begitu juga di dalam buahnya. Buahnya hancur, warnanya kemerahan sehingga disebut penyakit darah,” ujarnya.
Dalam satu buah pisang yang kemerahan itu, tambah Dr Giyanto, penuh dengan triliunan bakteri. Karena itu sangat menular terhadap tanaman pisang. Penyakit tersebut disebabkan oleh bakteri Ralstonia syzygii subsp. celebesensis.
Sebenanya, kata Dr Giyanto, penyakit ini sudah lama, yakni sejak zaman Kolonial Belanda atau pada awal 1920-an. Namun penyakit tersebut terlokalisasi di Sulawesi, yaitu di Pulau Selayar. Karena itu nama bakterinya “Celebes”. Kemudian menyebar ke seluruh wilayah Indonesia.
“Dua tahun lalu di Nusa Tenggara Timur serangannya terhadap pisang seperti angin topan, habis semuanya,” katanya.
Tahun ini terjadi di Sorong (Provinsi Papua Barat Daya) dan sekarang di Mentawai. Jadi serangannya berpindah-pindah.
“Penyakit ini juga seperti badai saja, datang kemudian hilang lagi, kita bahkan masih bingung mamahaminya seperti apa. Jadi menyerang dalam waktu singkat setahun dua tahun, habis, setelah itu nggak muncul lagi,” katanya.
Penyebab penyakit ini, kata Dr Giyanto, bisa terbawa serangga pengunjung. Tanaman pisang kalau berbunga bisa dikunjungi berbagai jenis serangga yang disebut serangga pengunjung. Bisa serangga penyerbuk seperti trigona, lebah yang melakukan penyerbukan, hinggap pada tanaman sakit, lalu pindah ke tanaman yang sehat.
“Lalu berpindah ke tanaman pisang yang lain, membawa bakteri lewat kakinya. Karena sifat bakteri itu akan muncul di permukaan kalau populasinya sudah besar, memang secara alaminya menyebar seperti itu,” katanya.

Penyebaran, menurutnya, juga bisa berawal dari anakan pisang yang dibawa dari luar masuk ke Kepulauan Mentawai. Anakan yang sakit lalu ditanam sehingga di dalamnya sudah ada bakteri dan berkembang serta menular ke pisang lain.
“Yang diserang oleh bakteri ini pangkal batang, batang semu dan buah, di daun tidak. Buahnya kadang kelihatan mulus sehat, tapi kalau dibelah itu sudah merah, hancur, makanya dikatakan penyalit darah, sebab warnanya merah seperti darah,” ujarnya.
Salah satu penular lainnya, kata Dr Giyanto, bisa lewat parang. Parang yang dipakai petani salah satu penularan yang sangat efektif. Dengan menebaskan parang dari pohon yang sakit ke pohon yang sehat bisa tertular. Karena itu salah satu pengendalian adalah dengan membersihkan parang dengan desinfektan.
Lamanya bakteri menyerang, kata Dr Giyanto, tergantung lingkungan. Kalau lingkungannya mendukung akan cepat sekali. Tapi kalau lingkungannya tidak mendukung kadang-kadang seolah berhenti, padahal bakterinya ada di situ.
“Jadi kadang pengaruh suhu, kelembaban, dan curah hujan, juga berpengaruh. Bakteri ini berkembang di musim hujan, lembab, dan panas,” ujarnya.
Berbeda dengan bakteri yang menyebar lewat serangga, penyakit fusarium menyebar murni dari tanah, air, dan bibit.
“Penyakit bakteri dan fusarium ini memang bisa berbarengan pada pisang. Pisang juga seperti manusia dan tumbuhan lainnya, penyakitnya tidak hanya satu,” katanya.
Pengendaliannya, kata Dr Giyanto, kalau pisang sudah terkena semua satu kebun akan sulit untuk menyembuhkannya.
“Boleh dikatakan ya kita ‘give up’ [menyerah], kalau teorinya radikasi, tapi nggak mungkin memusnahkan semua supaya sumber penyakitnya hilang, dalam praktiknya itu akan amat sulit,” ujarnya.
Namun, tambahnya, kalau petani rajin, misalnya tanaman yang sakit mulai satu dua dimusnahkan dengan baik akan mengurangi sumber penyakitnya.
“Itu bisa, lama-lama akan terkendali juga. Masalahnya di masyarakat ini kadang-kadang tanaman pisangmya sudah sakit dibiarkan tumbuh, jadi penyakinya akan menyebar ke mana-mana,” katanya.
Kalau mematikan rumpun pisangnya bisa secara mekanik. Juga bisa disuntik dengan herbisida, minyak tanah, atau solar. Namun, menurutnya, itu juga bisa tidak efektif karena bakterinya tetap tertinggal di tanah dan terbawa air, karena bakteri juga bisa bertahan di tanah.
“Jadi setelah dimusnahkan, dalam beberapa waktu tanahnya diolah dulu, termasuk sanitasi, harus ‘break’ dulu dari pisang, ganti tanaman lainnya, setelah itu baru tanam dengan pisang lagi, tidak boleh bibit lama yang membawa penyakit,” katanya. (Febrianti/ Uggla.id)