Oleh: Yohanes Irman
DESA kami, Bojakan, salah satu desa yang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Siberut (TNS) sejak taman nasional itu berdiri pada 1993.
Desa Bojakan yang dikelilingi hutan, sungai, dan bukit, bagi masyarakatnya bukan sekadar bentangan alam, melainkan sumber kehidupan dan identitas. Di sanalah masyarakat hidup turun-temurun, bertani, memancing di sungai, dan menjaga keseimbangan dengan alam sebagaimana dianjurkan leluhur.
Ironisnya, Bojakan sebagai desa yang hidup di bawah bayangan taman nasional kini makin tertinggal dibandingkan desa lainnya di Mentawai.
Bojakan tanpa listrik, tanpa jalan yang layak, dan berbagai pembangunan yang tidak bisa dilakukan di sana. Bahkan juga tak ada program seperti bedah rumah atau membangun fasilitas MCK (Mandi Cuci Kakus) untuk penduduk. Ini semua karena Desa Bojakan berada dalam kawasan taman nasional yang tidak boleh ada pembangunan modern.
Masyarakat diingatkan untuk menjaga hutan dengan alasan konservasi, tetapi di sisi lain masyarakat justru dilarang menghidupi diri di tanah yang telah mereka rawat selama puluhan tahun.
Ketika masyarakat mengusulkan kepada pemerintah daerah untuk membuat jalan penghubung desa, pembangunan perumahan, pembukaan sawah baru, atau membuat fasilitas sederhana, semua ditolak pemerintah hanya karena satu alasan, Bojaka berada di Kawasan Taman Nasional.
Pembangunan di Bojakan seolah selalu berakhir di jalan buntu.

Pernah ada rencana Pemerintahan Desa Bojakan membuat listrik tenaga hidro dengan memanfaatkan air terjun yang mengalir tak jauh dari dusun. Tim teknis sudah turun, masyarakat bersedia memberi lahan, bahkan surat hibah telah ditandatangani masyarakat. Namun, proyek itu berhenti begitu saja, terkubur oleh alasan klasik: wilayah taman nasional.
Hal serupa terulang ketika ada rencana program Tenaga Surya Terpusat. Petugas PLN datang, melakukan pengukuran, semua warga mendukung, tetapi ujungnya tetap sama, tidak bisa dilanjutkan karena berada di dalam kawasan taman nasional.
Program pembangunan rumah untuk Desa Bojakan, seperti yang dilakukan di desa lainnya di Kepulauan Mentawai, juga sempat menggugah harapan. Lokasi sudah diukur, administrasi rampung, masyarakat patuh kepada semua prosedur. Namun pada akhirnya juga tidak bisa dilanjutkan, karena berada di dalam Kawasan Taman Nasional.
Dengan alasan-alasan seperti itulah, masyarakat Desa Bojakan akhirnya mengundang pihak Taman Nasional Siberut untuk mendengar tuntutan kami. Ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan tentang masyarakat yang kehilangan arah dan harapan.
Proses Menuju Dialog
Berawal dari berbagai kegelisahan masyarakat, saya sebagai generasi muda di Bojakan merasa perlu membantu agar aspirasi masyarakat bisa didengar secara langsung oleh TNS.
Bersama Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Bojakan, kami mengajak masyarakat berdiskusi dan menyepakati sejumlah poin penting yang akan menjadi tuntutan resmi kepada Taman Nasional Siberut.
Setelah seluruhnya dirumuskan dan disetujui bersama, Pemerintah Desa Bojakan mengirimkan surat resmi kepada Kepala Balai Taman Nasional Siberut berisi permohonan dialog langsung dengan masyarakat.
Surat tersebut ditandatangani Kepala Desa Bojakan Paulus Ngauk pada 20 Oktober 2025, dan ditembuskan kepada Camat Siberut Utara sebagai laporan dan koordinasi.

Menanggapi surat tersebut, pihak Balai Taman Nasional Siberut menyatakan kesediaanya untuk hadir dalam dialog terbuka bersama masyarakat. Akhirnya, pertemuan terlaksana di Balai Desa Bojakan pada Rabu, 29 Oktober 2025.
Dalam pertemuan itu, Taman Nasional Siberut diwakili Kepala SPTN Wilayah II Ridho Akbar. Juga hadir petugas dari Polsek Sikabaluan untuk memastikan kegiatan berjalan aman dan tertib. Dalam pertemuan itu banyak masyarakat Bojakan hadir ingin mendengarkan dialog.
Dialog dibuka secara resmi oleh Kepala Desa Bojakan Paulus Ngauk. Dalam sambutannya, kepala desa menyampaikan ucapan selamat datang kepada pihak Taman Nasional Siberut dan mengimbau seluruh masyarakat agar menjaga suasana dialog tetap kondusif dan berimbang.
Pihak Taman Nasional Siberut memberikan sambutan balasan yang pada intinya menyatakan bahwa mereka terbuka berkomunikasi dan berdialog dengan masyarakat.
Setelah sesi pembukaan, saya diberi kesempatan untuk membacakan seluruh tuntutan masyarakat Desa Bojakan kepada pihak Taman Nasional Siberut. Ini sebuah momen penting yang menandai langkah awal masyarakat Desa Bojakan dalam menyuarakan hak dan harapan secara langsung.
Tuntutan Desa Bojakan: Hutan Kami, Rumah Kami
Kami mengundang pihak Balai Taman Nasional Siberut untuk hadir di desa kami bukan untuk melawan hukum. Kami ingin menegakkan keadilan yang sudah dijamin negara ini, namun selamaini tidak dirasakan oleh masyarakat Bojakan yang lahir dan hidup di dalam kawasan hutan itu sendiri.
Kami ingin menyampaikan satu hal sederhana namun tegas: Hutan yang kami rawat turun-temurun bukan milik siapapun, tapi bagian dari hidup kami sendiri.
Masyarakat berkewajiban ikut menjaga dan melestarikan hutan. Kami sudah melakukannya, bahkan sebelum negara ini berdiri. Tapi mengapa, ketika negara hadir melalui taman nasional, justru kami merasa peran kami terhadap hutan kami perlahan menghilang. Tentu hal ini menjadi ketakutan bagi kami, kelak kami akan sepenuhnya kehilangan ruang hidup kami sendiri.
Selama bertahun-tahun, masyarakat Bojakan telah menahan diri untuk tidak membuka lahan sembarangan, tidak menebang liar, dan tidak merusak sungai. Tapi ketika taman nasional hadir, peran serta ruang gerak kami mulai terbatas. Bahkan beberapa program pemerintah sulit untuk kami peroleh. Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar bagi kami.
Ada 11 tuntutan masyarakat Desa Bojakan yang saya wakili menyampaikannya dalam pertemuan itu.
Pertama, pengakuan dan pemutihan seluruh kawasan pemukiman masyarakat serta kemungkinan pembukaan kawasan pemukiman baru dan lahan pemanfaatan hutan oleh masyarakat Bojakan, seperti pertanian dan perkebunan di waktu mendatang.

Kedua, peninjauan dan penyesuaian kembali Tata Batas Kawasan Taman Nasional dan proses peninjauan dilakukan secara transparan, partisipatif, dan berbasis data lapangan dengan melibatkan pemerintah desa, tokoh adat, dan masyarakat Bojakan.
Ketiga, pemberian hak atas pembangunan dasar seperti pembangunan jalan, listrik, perumahan, pendidikan, dan ekonomi ramah lingkungan.
Keempat, kemitraan sejajar antara masyarakat dan pihak Taman Nasional (bukan hubungan atas-bawah, melainkan kerja sama yang saling menghormati dan saling menjaga).
Kelima, melibatkan lembaga adat, masyarakat, dan lembaga desa dalam setiap kegiatan, perencanaan, dan program yang berlangsung di dalam Kawasan Taman Nasional.
Keenam, Taman Nasional dapat memastikan setiap program yang berlangsung bersifat berkelanjutan dan mempunyai dampak positif bagi masyarakat.
Ketujuh, pemindahan Gedung Resort Bojakan ke Wilayah Dusun Bojakan atau Pembangunan Gedung Resort Bojakan yang baru di wilayah Bojakan sehingga fungsi pengawasan, koordinasi, dan pelayanan masyarakat dapat berjalan sesuai nama dan tanggung jawab wilayahnya.
Kedelapan, pemberian akses kelola kemitraan konservasi untuk penghidupan berkelanjutan.
Kesembilan, jaminan tidak adanya tindakan represif terhadap aktivitas masyarakat adat Bojakan.
Kesepuluh, memastikan masyarakat Bojakan memiliki pemahaman yang kuat tentang konservasi melalui penyediaan literatur, edukasi, dan kegiatan sosialisasi secara berkelanjutan.
Kesebelas, program pemberdayaan berbasis potensi lokal yang berkelanjutan seperti: agroforestri, ekowisata, dan kegiatan ekonomi ramah lingkungan lainnya.
Semua tuntutan kami berdasarkan hukum. Kami bukan ancaman bagi hutan. Kami adalah penjaga hutan yang sejati.
Selain tuntutan resmi masyarakat yang saya bacakan, beberapa tokoh masyarakat yang hadir juga menyampaikan keluh-kesahnya.
Suara dari Warga Desa Bojakan
Dalam pertemuan itu, Sudirman Amon, tokoh masyarakat Desa Bojakan menyampaikan pendapatnya.

“Kami tidak pernah menolak hutan dijaga, tapi kenapa patok batas dipasang tanpa pemberitahuan? Kenapa semua usulan kami selalu ditolak? Bahkan untuk membangun WC masyarakat pun dilarang. Seolah-olah kami bukan warga negara di tanah kami sendiri,” katanya.
Sedangkan Martinus, ketua Pemuda Bojakan, menyoroti masalah keterbukaan.
“Kami ingin tahu apa yang sebenarnya dilakukan taman nasional di hutan kami. Tidak ada sosialisasi, tidak ada laporan kegiatan. Kami hanya tahu dari kabar burung kalau ada proyek atau penelitian. Kalau memang untuk konservasi, kenapa tidak melibatkan kami?” katanya.
Sandro Sapotuk, guru SD di Bojakan, melihatnya dari sudut pendidikan.
“Anak-anak kami tumbuh tanpa tahu bahwa tempat tinggal mereka disebut kawasan taman nasional. Tidak ada nuansa bahwa Bojakan bagian dari kawasan itu. Orang taman nasional datang sesekali, tapi tidak pernah mendekat. Kalau begitu, bagaimana kami bisa merasa dilibatkan,” katanya.
Tanggapan dari Pihak Taman Nasional Siberut
Setelah pembacaan tuntutan dan beberapa pandangan dari masyarakat Bojakan dalam dialog tersebut, pewakilan Taman Nasional Siberut, yaitu Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah II Ridho Akbar memberikan penjelasan dan tanggapan terhadap tuntutan masyarakat.
Ia menyampaikan bahwa secara administrasi Desa Bojakan berada di luar Kawasan Taman Nasional, tepatnya di area hutan produksi, sehingga kewenangan pengelolaan di wilayah tersebut bukan sepenuhnya berada di bawah Taman Nasional Siberut.
Namun, ia juga mengakui bahwa ada sebagian pemukiman masyarakat yang masuk dalam kawasan taman nasional dan area tersebut telah ditetapkan sebagai zona khusus. Zona khusus adalah cona yang diatur untuk memenuhi hajat hidup masyarakat, termasuk untuk sarana pendidikan, perumahan, kesehatan, dan rumah ibadah.
Lebih lanjut, Ridho Akbar menegaskan bahwa konservasi bukan berarti larangan total, melainkan upaya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.
“Dalam konservasi, bapak-ibu sekalian adalah subjek, bukan objek. Kami tidak ingin melarang, tapi mengajak bersama,” ujarnya di hadapan peserta dialog.

Terkait pengembangan ekonomi masyarakat, ia menyebutkan bahwa Taman Nasional pada dasarnya terbuka untuk bermitra dengan masyarakat, namun diakui bahwa keterbatasan anggaran dan kebutuhan riset pasar masih menjadi tantangan utama.
“Kalau untuk ekowisata, kita perlu meneliti dulu lokasi-lokasi yang potensial, misalnya area pengamatan primata,” ujarnya.
Ridho Akbar juga menyampaikan bahwa perburuan satwa liar secara masif tetap dilarang. Namun kegiatan berburu untuk keperluan adat dan budaya tetap diperbolehkan selama sesuai aturan.
Terkait permintaan masyarakat untuk pemutihan kawasan, ia menjelaskan proses tersebut tidak mudah karena harus melalui mekanisme hingga tingkat DPR RI.
Untuk pemberian akses pembangunan fasilitas masyarakat, Ridho Akbar menyarankan agar hal tersebut dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah Kepulauan Mentawai atau dinas terkait, mengingat tidak semua hal menjadi kewenangan taman nasional.
Sementara mengenai gedung resort Taman Nasional yang bernama Resort Bojakan yang berada di wilayah Desa Sotboyak, Ridho Akbar menyampaikan komitmennya untuk menunda sementara semua kegiatan sampai ada keputusan resmi lebih lanjut terkait permintaan masyarakat.
Namun, dari seluruh penjelasan pihak Taman Nasional Siberut, masyarakat Bojakan merasa belum mendapatkan jawaban yang memuaskan. Berbagai tuntutan yang membutuhkan tindakan nyata, mulai dari penetapan batas wilayah, akses pembangunan, hingga langkah kongkret kolaborasi ekonomi, tidak satupun dijawab secara langsung.
Masyarakat menilai bahwa tanggapan yang diberikan masih sebatas penjelasan administratif, belum menyentuh inti persoalan yang mereka hadapi sehari-hari.
Namun, bagi warga Bojakan, dialog hari itu penting sebagai awal dari keterbukaan, meski belum cukup sebagai jawaban atas persoalan yang telah mereka rasakan selama bertahun-tahun. (*)
(Kiriman: Yohanes Irman, Direktur BUMDes Tirik Oinan Desa Bojakan, Kecamatan Siberut Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai/ Editor: Febrianti)











