Oleh: Yohanes Irman
Di Desa Bojakan, Siberut Utara, Kepulauan Mentawai, sampan bukan sekadar alat transportasi. Ia adalah bagian dari identitas, tradisi, dan kearifan lokal yang diwariskan.
Perahu tidak bisa dibuat dari sembarang kayu. Orang Bojakan memilih jenis kayu tertentu yang dikenal tahan air, kuat, dan tidak mudah pecah, seperti katuka, ataran, kaboi, macemen, garau, dan menegan. Pohon-pohon ini tumbuh di hutan dan yang dipakai untuk perahu berukuran besar karena lebih berkualitas.
Salah satu pembuat sampan di Bojakan adalah Pak Martinus. Keterapilannya diwarisi dari orang tuanya yang juga mahir membuat sampan. Menurut Pak Martinus pembuatan sampan meliputi keterampilan tangan, pemilihan kayu, serta mengikuti aturan adat.
Sebelum menebang pohon, pemilik sampan dilarang memakan pucuk nibung karena dipercaya kayu yang ditebang bisa retak. Selain itu, ada pantangan umum sebelum bekerja berat dan harus menahan diri dari aktivitas tertentu demi menjaga keselamatan dan kelancaran pekerjaan.

Setelah pohon ditebang, penebang kayu akan menancapkan tunas kayu kecil pada pangkal bekas tebangan sebagai simbol pengganti pohon yang telah diambil.
Di Bojakan peralatan membuat perahu sudah mengalami perkembangan. Dulu hanya memakai onggut (kaonggutan), semacam kapak tipis sepanjang satu jengkal dengan lebar bilah sekitar 7 cm. Mata onggut dibuat runcing agar bisa ditancapkan ke gagang kayu yang dianyam khusus.
Setelah itu, selain onggut, masyarakat mulai memakai kapak. Kapak dianggap lebih praktis karena tidak perlu anyaman gagang seperti onggut.
Saat ini pembuatan perahu mulai menggunakan alat modern seperti sinso (gergaji mesin), mesin katam, dan bor mesin. Meski begitu, onggut dan kapak tetap dipakai untuk detail yang tidak bisa dijangkau mesin.

Proses pembuatan sampan tidak pernah dilakukan sendiri. Minimal dibutuhkan lima orang, yang terdiri dari keluarga dekat serta sinurung atau orang-orang yang biasa terlibat dalam pembuatan sampan.
Pemilik sampan bertanggung jawab menyediakan balit, yaitu bekal makanan berupa babi, ayam, sagu, keladi, dan lainnya.
Dulu jika pemilik sampan mampu, satu ekor babi bisa disediakan untuk setiap hari pengerjaan. Namun sekarang, jumlah balit cenderung lebih sederhana. Hal ini bukan mengurangi tradisi, melainkan karena kesadaran masyarakat bahwa semangat gotong royong jauh lebih penting.
Orang Bojakan sama-sama sadar bahwa mereka saling membutuhkan. Jadi kerja membantu membuat sampan tidak lagi semata-mata dihitung dari besar kecilnya balit, melainkan sebagai wujud kebersamaan dan solidaritas antarwarga.

Lama pengerjaan berbeda-beda tergantung zaman dan alat yang digunakan. Dulu saat mengunakan peralatan tradisional bisa sampai 12 hari, tetapi kini hanya butuh 3-5 hari untuk pengerjaan sampan yang kasar di hutan.
Menarik Sampan dari Hutan
Setelah sampan selesai dibuat di hutan, tantangan berikutnya adalah menarik sampan menuju sungai atau pemukiman.
Hari itu kami gotong royong membantu Pak Martinus menarik sampan yang telah dibuatnya dari hutan. Sampan itu sudah jadi, pengerjaannya masih kasar, sepanjang 4 meter terbuat dari kayu katuka.
Sampan itu akan digunakan Pak Martinus untuk keperluannya sendiri. Sampai di desa, baru sampan itu akan diperhalus lagi engan ketam dan dicat untuk mengantisipasi serangan teritip, moluska sungai dan laut yang bisa melubangi sampan.

Tahap menarik sampan dari hutan ini melibatkan banyak orang, karena ukuran dan bobot sampan yang besar dan berat. Kami mengangkatnya dari tengah hutan hingga ke pemukiman sejauh 3 kilometer.
Suasana penarikan sampan sangat ramai, diikuti dengan gembira oleh warga desa. Setelah itu Pak Martinus mengadakan punen, syukuran, dan makan-makan di rumahnya menjamu semua warga yang ikut bergotong royong mengangkat sampannya hari itu.
Dahulu punen dilakukan dengan ritual lengkap bersama sikerei. Namun sekarang cukup dengan berdoa sebagai ungkapan terima kasih atas berkat kayu besar yang sudah ditebang dan berhasil dibentuk menjadi sampan baru.
Setelah punen, kegiatan biasanya dilanjutkan dengan berburu di hutan sebagai tanda bahwa seluruh rangkaian proses pembuatan sampan telah tuntas.

Pada acara punen sampan baru, Pak Martinus sebagai pemilik sampan memasang daun-daun yang biasa digunakan oleh sikerei, yaitu mumunen, surak, dan sailempen di sampan baru.
Daun-daun ini sebagai penanda bahwa sampan tersebut baru dibuat dan sebagai simbol rasa syukur. Daun akan dibiarkan tetap menempel hingga layu.
Samoan yang telah selesai akan digunakan sebagai alat transportasi sehari-hari oleh masyarakat. Biasanya, untuk memudahkan perjalanan, masyarakat memasang mesin pompong sebagai penggerak utama sampan. (Kiriman: Yohanes Irman, Direktur BUMDes Tirik Oinan Desa Bojakan, Kecamatan Siberut Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai/ Editor: Febrianti)











